Nabi Muhammad dikenal uswah hasanah. Menjadi suri teladan terbaik dalam seluruh kehidupannya. Allah SwT yang memberi predikat mulia itu (Qs Al-Ahzab: 21), bukan Muhammad sendiri. Allah bahkan menyebut Rasul akhir zaman itu berakhlaq yang agung (Qs Al-Qalam: 4). Martabat keadabannya yang mulia berada di puncak tertinggi.
Di antara sifat Nabi yang mulia itu ialah al-hilm, halus budi. Halus dalam sikap, lisan, dan tindakan. Beliau berperangai sempurna dan utama. Dari diri Nabi segala kebajikan terbaik lahir, yang menyebarkan rahmat bagi semesta. ‘Aisyah, istri tercintanya, bahkan mengidentifikasikan akhlaq baginda Rasul adalah akhlaq Al-Qur’an.
Padahal Muhammad lahir dalam lingkungan budaya Arab Jahiliyah yang kasar dan keras. Mereka terbiasa menyelasaikan masalah dengan kekerasan, bahkan sering bertumpah darah. Kekerasan dan pertumpahan darah melekat dalam tabiat masyarakat Arab kala itu, yang bagi mereka lambang dari kedigdayaan dan kehebatan diri.
Ketika hendak meletakkan hajar Aswad pada renovasi Kabah, nyaris saling mengalirkan darah antarkabilah. Banyak hal diselesaikan dengan pedang. Maka datanglah sosok Al-Amin, yang terpercaya yang memberi solusi damai. Anak perempuan pun dihinakan, bahkan ada yang dibunuh karena dipandang makhluk yang lemah, hingga datang risalah Islam yang memuliakannya.
Ketika sudah masuk Islam pun, sebagian masih berperangai kasar dan keras. Termasuk dalam bertutur kata dan bersuara. Di antara mereka sempat berteriak-teriak memanggil Nabi dari balik kamar beliau, hingga turun Al-Qur’an Surat Al-Hujarat yang mengajarkan keadaban kata dan tindakan.
Adakah muslim dan umat Islam yang menjadi pengikut Nabi akhir zaman mau meneladani sifat-sifat utama itu? Pasti. Lebih-lebih bagi mereka yang merasa atau mengaku paling Islami. Merasa setia dan pembela Al-Qur’an dan Sunnah Nabi. Akhlak mulia yang diteladankan Rasulullah itu mestinya menjadi pakaian sehari-hari, baik yang dhahir maupun batin.
Kebiasaan bertutur kata yang vulgar, kasar, keras, dan lancang bukanlah cermin akhlak mulia Islami. Termasuk kasar kata melalui media sosial dan relasi apapun, baik lisan maupun tulisan. Apalah artinya menjadi pengikut Nabi manakala perangai masih jauh panggang dari api.
Muslim jangan menjadi pemarah dan penghasut. Perangai semacam itu bukanlah cermin uswah hasanah seorang muslim. Termasuk di lingkungan jamaah persyarikatan. “Berkatalah yang baik atau diam”, demikian pesan emas dari Nabi akhir zaman kepada umatnya. Manakala kita tidak suka orang lain berkata nista, kasar, keras, dan ujaran yang tak berkeadaban maka jangan lakukan hal yang sama, lebih-lebih dengan sesama.
Wajar ada marah, lebih-lebih ketika menyangkut urusan keyakinan agama. Tetapi marahnya orang beriman harus berbeda dengan mereka yang sekuler dan jauh dari api iman. Apalagi ketika kemarahan itu ditumpahkan kepada sesama seiman seperjuangan hanya karena berbeda cara dan jalan yang ditempuh, yang masih dalam koridor ijtihad di jalan mu’amalah duniawiyah.
Sungguh tidak ada satu jalan mutlak dalam cara berdakwah dan berjuang menegakkan ajaran Islam. Lebih-lebih manakala jalan dakwah dan perjuangan itu ditempuh secara sah, terorganisasi, dan didukung mayoritas. Ketika di antara sebagian kecil tak bersetuju dengan cara mayoritas itu, maka tak perlu memaksakan kehendak dengan cara-cara yang kurang mencerminkan akhlak mulia. Bahkan mereka yang banyak pun harus belajar menghormati yang sedikit, ketika ada berbeda cara dan jalan perjuangan.
Maka, menjadi sangat luhur dan mulia manakala baik dalam hubungan sehari-hari maupun dalam menempuh jalan perjuangan dakwah, setiap insan muslim menegakkan keadaban akhlak karimah. Termasuk keadaban kata dan ujaran. Itulah keadaban utama yang diteladankan Nabi akhir zaman, yang berakhlak agung dan sosok uswah hasanah nan sejati. A. Nuha
Sumber: Majalah SM Edisi 23 Tahun 2016