Prospek Masyarakat Utama Indonesia (1)

Prospek Masyarakat Utama Indonesia (1)

Madinah

Prof. Dr. H. Dadang Kahmad, M.Si

Tidak bisa dipungkiri, negara-bangsa Indonesia terdiri dari berbagai etnis, budaya, agama dan lainnya sehingga bisa disebut sebagai “masyarakat Majemuk”. Bahkan, dapat dikatakan, Indonesia adalah salah satu negara majemuk terbesar di dunia. Hal ini dapat dilihat dari kondisi sosio-kultural maupun geografis Indonesia yang begitu beragam dan luas. Jumlah pulaunya sekitar 13.000 buah. Populasi penduduknya lebih 220 juta jiwa, terdiri dari 300 suku yang menggunakan hampir 200 bahasa berbeda, menganut agama dan aliran kepercayaan yang beragam.

Konsep Masyarakat utama yang ditawarkan Muhammadiyah bisa menjadi alternatif bagi proses pembentukan masyarakat yang lebih baik untuk kondisi sosiologis masyarakat Indonesia seperti tersebut di atas. Untuk upaya tersebut sempat bermunculan konsep dan sebutan yang mengacu pada konsep masyarakat utama diantaranya istilah masyarakat madani. Di mana peran masyarakat jauh lebih besar dalam menentukan kualitas dirinya sendiri. Konsep masyarakat inilah yang melahirkan sistem demokrasi ala Islam, khususnya di Indonesia, di mana semua elemen masyarakat bisa hidup berdampingan di tengah sikap toleran umat Islam itu sendiri.

Demokrasi diyakini sebagai mekanisme yang bisa mengelola keragaman masyarakat dimana terdapat rule of law, a separation of power, dan the protection of basic liberties of speech, assembly, religion, dan pemerintah yang terkontrol. Maka menjadi relevan apabila demokrasi hanya memiliki makna sebagai pemerintahan yang baik: di mana ada pemerintahan yang baik, di situlah demokrasi berada. Dengan demikian, demokrasi menjadi sebuah konsep yang tidak kaku. Islam memiliki konsep demokrasinya sendiri, yang mungkin berbeda dengan konsep demokrasi di dunia lain, termasuk dengan dunia Barat.

Jika konsep masyarakat madani sebagai bentuk konstruksi masyarakat Islam. Demikian juga konsep masyarakat utama yang ditawarkan Muhammadiyah menjadi bentuk solusi dari kekeringan konseptual yang berbasiskan nilai-nilai Islam. Inilah konstruksi sosial yang relevan dengan masyarakat Islam di tengah pluralitas agama di Indonesia. Umat Islam sebagai mayoritas tentu mempunyai fanatisme keagamaan yang tinggi. Tapi hal itu bukan masalah apabila kehidupan praksis demokratis sudah berjalan dengan baik.

Dalam hubungan itu, Islam yang dianut oleh mayoritas penduduk Indonesia berpotensi menjadi aktor sosial politik yang strategis. Apalagi kalau didukung oleh kesadaran yang tinggi dari kalangan umat Islam itu sendiri. Minimal umat Islam bisa bersatu dalam gagasan walaupun berlainan dalam kelompok. Hipotesis tersebut bisa diungkap dari salah satu gagasan dalam ajaran Islam tentang kemasyarakatan, sebagaimana secara substansi ajaran Islam tentang masyarakat itu, dapat ditemukan konsep masyarakat utama wahidah dalam Al-Qur’an.

Misalnya dalam salah satu ayat: “Manusia itu adalah umat yang satu. (Setelah timbul perselisihan), maka Allah mengutus para nabi sebagai pemberi kabar gembira dan pemberi peringatan, dan Allah menurunkan bersama mereka Kitab dengan benar, untuk memberi keputusan di antara manusia tentang perkara yang mereka perselisihkan. Tidaklah berselisih tentang Kitab itu melainkan orang yang telah didatangkan kepada mereka Kitab, yaitu setelah datang kepada mereka keterangan-keterangan yang nyata, karena dengki antara mereka sendiri. Maka Allah memberi petunjuk orang-orang yang beriman kepada kebenaran tentang hal yang mereka perselisihkan itu dengan kehendak-Nya. Dan Allah selalu memberi petunjuk orang yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus.”

Lepas dari pengertian lainnya, konsep di atas mengandung elemen ideologis. Kendati pun secara harfiah masyarakat utama bisa diterjemahkan sebagai “kesatuan komunitas” atau “komunitas yang satu” secara konseptual gagasan tersebut bermakna lebih dalam dari pada hanya kumpulan fisik. Melalui konsep ummatan wahidah struktur fisik komunitas masyarakat Islam secara spiritual mengalami peneguhan teologis: bahwa kesatuan yang dimaksud harus didasarkan pada persamaan akidah, bukan didasarkan pada persamaan kepentingan material (material interest). (IM)

Sumber: Majalah SM Edisi 24 Tahun 2019

Exit mobile version