Belajar Kesungguhan Hidup dari Hajar dan Ismail (bagian 1 dari 2)

Belajar Kesungguhan Hidup dari Hajar dan Ismail (bagian 1 dari 2)

Kisah Hajar dan Ismail memberi pelajaran kepada kita. Hajar selalu berpikir positif, bahwa Allah pasti akan membantunya. Ia pasrah, namun tetap semangat berusaha sekuat tenaga, dan Tuhan pun memberi hadiah dan karunia, yang besarnya (kadangkala) tidak mesti sebanding dengan usaha (kecil) yang kita lakukan.

Oleh: Bahrus Surur-Iyunk

Meski atas perintah Allah dengan dasar keyakinan dan kepasrahan yang kuat, namun Hajar juga seorang manusia biasa. Saat bekal makanan dan air sudah habis, sementara lembah itu tidak menyediakan apapun yang bisa dimakan dan diminum, Hajar pun kebingungan. Awalnya, ia berlari menuju bukit yang oleh Al-Qur’an dinamai bukit “Shafa”.

Shafa” artinya jernih atau kejernihan. Proses penjernihannya disebut “tashfiyah”. Pelakunya disebut “shufi” atau “shafiya” (perempuan). Dalam konteks ini, proses penjernihan yang dilakukan oleh Hajar dimulai sejak bertemu dengan Nabi Ibrahim dan mencapai puncaknya ketika hendak ditinggalkan berdua di lembah Makkah yang tandus. Maka, ketika Hajar berada di bukit Shafa, sesungguhnya ia berada dalam kejernihan pikiran yang luar biasa. Kejernihan itu terpancar dalam keyakinannya akan pertolongan Allah dan tidak akan menyia-siakannya. Ia berbaik sangka dan berpikiran positif kepada Allah seraya berusaha sekuat tenaga.

Berprasangka Baik Kepada Allah

Optimisme Etis

Dari bukit Shafa ia melihat ke bukit yang oleh Al-Qur’an disebut bukit “Marwah”. Marwah artinya harapan yang kuat. Saat Hajar melihat ke bukit Marwah, ia melihat ada harapan yang kuat bahwa di sana ada air. Karena saking kuatnya harapan itu, ia kemudian berlari. Dalam prosesi sa’i, kita biasanya diperintahkan untuk berlari di antara tanda lampu yang telah disediakan. Setelah itu, harapan itu sedikit meredup. Namun, ia tidak berhenti begitu saja. Ia tetap berjalan menuju bukit Marwah.

Rupanya apa yang disangkanya air itu hanya bayangan fatamorgana saja. Tujuh kali dilakukan oleh Hajar hingga berakhir di Marwah. Bayangan fatamorgana seperti air itu bisa dilihat saat kita berada di tengah padang pasir atau (kalau kita ya) jalan raya aspal. Tampak dari jauh akan ada bayangan seperti ada air. Tapi, saat kita dekati dan datangi, bayangan air itu tidak ada. Dan seperti itulah yang dialami oleh Hajar.

Hajar berusaha sekuat tenaga untuk memenuhi kebutuhan puteranya Ismail. Ia pasrah, namun tetap semangat berusaha sekuat tenaga. Tuhan memberikan “hadiah” dan karunia besarnya (kadangkala) tidak mesti sebanding dengan usaha (kecil) yang kita lakukan. Manusia hanya punya kewajiban untuk berusaha dan berupaya dengan serius. Jika manusia mau bergerak, maka Allah akan memberikan karunia-Nya.

Hajar ingin memberi pelajaran kepada kita betapa Hajar selalu berpikir positif kepada Tuhannya bahwa Allah pasti akan membantunya. Selain itu, Hajar juga berusaha dengan optimisme bahwa di bukit Shafa ada air, lalu berlari ke Marwah karena di sana (dalam benaknya) ada air. Dia berusaha dengan optimisme, tidak dengan pesimisme. Shafa adalah “tempat yang bersih dan bening”, layaknya perasaan dan pikiran Hajar saat itu.

Layaknya Hajar yang berlari-lari dari Bukit Shafa ke Bukit Marwah. Saat sudah tujuh kali dan berhenti di Marwah, tangisan Ismail semakin kuat. Begitu pula dengan hentakan kakinya. Dari hentakan kaki Ismail inilah keluar air. Allah justru memberikan karunia airnya dari jejakan kaki Ismail. Bukan dari pencarian Hajar. Ini artinya bahwa rejeki seorang anak itu bisa muncul dari kesungguhan usaha orang tuanya. Air muncul pada hitungan ketujuh. Dan keenam langkah sebelumnya adalah cara Allah untuk memberikan pahala atas langkah yang telah ditempuh. (bersambung)

Bahrus Surur-Iyunk adalah guru SMA Muhammadiyah I Sumenep, penulis buku Agar Imanku Semanis Madu (Quanta EMK, 2017), Nikmatnya Bersyukur (Quanta EMK, 2018), Indahnya Bersabar (2019) dan 10 Langkah Menembus Batas Meraih Mimpi (SPK, 2020).

Exit mobile version