YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah – Muhammadiyah melalui Majelis Dikdasmen menyatakan mundur dari Program Organisasi Penggerak (POP). Setelah itu Nahdlatul Ulama melalui Lembaga Pendidikan Maarif NU memutuskan mundur dari program yang sama.
Ketua Lembaga Pendidikan Maarif NU Arifin Junaidi menyebut ada sesuatu yang mengganjal dalam Program Organisasi Penggerak. “Banyak sekali organisasi/yayasan yang tidak jelas ditetapkan sebagai penerima POP,” tutur Arifin, Rabu (22/7).
Menurutnya LP Maarif NU mengelola sekolah – madrasah di berbagai daerah. Begitu juga pengembangan kompetensi kepala sekolah dan guru.
Sementara itu, Majelis Pendidikan Dasar Menengah (Dikdasmen) Pimpinan Pusat Muhammadiyah menilai dalam seleksi Program Organisasi Penggerak tidak transparan.
Wakil Ketua Majelis Dikdasmen Pimpinan Pusat Muhammadiyah Bidang Kerja Sama Dr Kasiyarno, MHum menyampaikan bahwa awalnya Majelis Dikdasmen turut mengajukan proposal untuk mengikuti program ini.
Namun, setelah mengikuti proses seleksi dalam Program Organisasi Penggerak Direktorat Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan (GTK) Kemdikbud RI, dan mempertimbangkan beberapa hal maka dengan ini Muhammadiyah menyatakan mundur dari keikutsertaan program tersebut.
Baca juga: Majelis Dikdasmen: Seleksi Program Organisasi Penggerak Tidak Transparan
Dalam pernyataan sikap yang ditandatangani Ketua dan Sekretaris Majelis Pendidikan Dasar dan Menengah PP Muhammadiyah, Dr H Kasiyarno dan Maulana Ishak MPd tersebut ada tiga pertimbangan mengapa Muhammadiyah memilih undur diri:
Pertama, Muhammadiyah memiliki 30.000 satuan pendidikan yang tersebar di seluruh Indonesia. Persyarikatan Muhammadiyah sudah banyak membantu pemerintah dalam menyelenggarakan pendidikan sejak sebelum Indonesia merdeka, sehingga tidak sepatutnya diperbandingkan dengan organisasi masyarakat yang sebagian besar baru muncul beberapa tahun terakhir dan terpilih dalam Program Organisasi Penggerak Kemdikbud RI sesuai surat Dirjen GTK tanggal 17 Juli Tahun 2020 Nomer 2314/B.B2/GT/2020.
Kedua, Kriteria pemilihan organisasi masyarakat yang ditetapkan lolos evaluasi proposal sangat tidak jelas, karena tidak membedakan antara lembaga CSR yang sepatutnya membantu dana pendidikan dengan organisasi masyarakat yang berhak mendapatkan bantuan dari pemerintah.
Ketiga, Muhammadiyah akan tetap berkomitmen membantu pemerintah dalam meningkatkan pendidikan dengan berbagai pelatihan, kompetensi kepala sekolah dan guru melalui program-program yang dilaksanakan Muhammadiyah sekalipun tanpa keikutsertaan kami dalam Program Organisasi Penggerak ini.
“Harapan kita dari Majelis Dikdasmen agar Kemendikbud meninjau ulang tentang keputusan hasil proposal program organisasi penggerak ini,” ungkap Kasiyarno. (Riz)