SEMARANG, Suara Muhammadiyah – Berbicara tentang dakwah. Ia bukanlah sesuatu yang mudah di tengah masyarakat yang demokratis dan majemuk. Hal ini dikarenakan tidak sedikit masyarakat yang gagal paham terhadap dakwah, demokrasi serta adab kemajemukan yang relative terbatas. Segala sesuatu apa pun jika terbatas dalam memahaminya maka hasil yang didapat juga akan terbatas. Begitu pula sebaliknya.
Dalam hal ini Haedar Nashir mengibaratkan seperti orang buta yang mendeskripsikan tentang gajah. Saat orang buta tersebut memegang belalainya maka ia menggambarkan gajah adalah sebuah belalai. Tetapi ketika ia memegang ekornya, bisa jadi ia akan menyampaikan bahwa gajah itu panjang dan lain sebagainya.
Maka yang dibutuhkan adalah suatu pemahaman yang komprehensif dengan cara melihat gajah tersebut secara keseluruhan. Mulai dari anatomi tubuh hingga habitat hidupnya yang unik dan menarik.
“Jika yang dipahami hanya sebagian saja, maka tidak heran banyak orang bertengkar. Masing-masing memiliki cara pandang yang berbeda,” ujar Haedar dalam acara pengajian virtual yang diselenggarakan oleh Pimpinan Cabang Muhammadiyah Bawean, Kabupaten Semarang (22/7).
Informasi datang secara bertubi-tubi setiap detiknya, mulai bangun tidur hingga tidur kembali. Tidak jarang masuknya berbagai macam informasi tanpa ada penyaringan dan kemudian kita sebarkan kembali. Sehingga banyak terjadi distorsi dalam cara kita memperoleh informasi. Maka yang akhirnya terjadi adalah gagal paham.
“Yang diperlukan dalam menghadapi masalah ini adalah sikap dan jiwa ulil albab. Kita harus menjadi manusia yang menghidupkan hati dan pikiran agar mampu membaca serta menerima informasi, pemikiran, pengetahuan, pandangan, paradigma, dan perspektif yang bermacam-macam. Dan kemudian mengambal yang terbaik,” pesan Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah tersebut.
“Untuk sampai kepada sesuatu yang terbaik, perlu mengolah, mengkaji, taffakur, tazakkur, tadabbur, tanazar, dan segala kegiatan berpikir lainnya.”
Dakwah merupakan suatu bagian penting dari kegiatan untuk menyebar luaskan agama Islam. Intinya adalah menyeru manusia kepada jalan yang benar. Menyeru, mengajak, dan menjamu merupakan tiga makna dasar dari kata “dakwah”. (Menyeru, mengajak, menjamu) tiga kata yang paling representatif dalam memaknai dakwah. Dari ketiga kata tersebut sudah menunjukkan betapa terbuka dan demokrasinya kata dakwah.
“Jika kita ingin menyeru dan seruan kita dapat didengar orang tentu cara menyerunya harus empatik, simpatik, dan demokratis. Mengajak itu lebih partisipatif. Dan menjamu adalah sesuatu yang paling disenangi orang. Kesimpulannya, kata dakwah itu sendiri mengandung jiwa demokratis,” ungkapnya.
QS. An-Nahl ayat 125, “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.”
Ayat ini sering kali terlewatkan dalam memaknai dakwah. Dalam pemahaman dan aplikasinya sering terkalahkan oleh diksi amar makruf nahi mungkar. “Ayat ini sangat populer namun dalam pengaplikasiannya selalu berhenti pada dakwah amar makruf nahi mungkar. Kadang juga dakwahnya yang hilang, tinggal amar makruf nahi mungkarnya yang kuat,” jelasnya.
Subtansi dari dakwah adalah menyeru kepada kebaikan, mencegah dari yang mungkar, dan mengajak kepada jalan Tuhan. Haedar menambahkan, demokrasi dalam konteks Islam bersenyawa dengan musyawarah. Soal sistem merupakan hasil dari musyawarah dan pilihan. Negara Pancasila sejalan dengan Islam. Urusan pengelolaan negara yang masih bermasalah, dimana pun dan apa pun bentuk negaranya akan selalu terjadi masalah dan itulah kehidupan.
“Muhammadiyah telah menetapkan bahwa negara Indonesia adalah negara pancasila, Darul Ahdi wa Syahadah. Maka orang Muhammadiyah dan anak muda jangan berpikir lain tentang bentuk negara, entah negara khilafah apalagi negara sekuler,” tegas Haedar.
Tugas kita dalam berdakwah adalah meluruskan kiblat bangsa dengan cara hikmah, dialog, dan juga edukasi. Kita (Muhammadiyah) tidak menggunakan cara-cara politik atau gerakan politik. Muhammadiyah mengambil peran sebagai gerakan dakwah, kemasyarakatan. Koridor ini sangat penting bagi Muhammadiyah. “Dengan demikian maka dalam cara membaca realitas perlu bayani, irfani, dan burhani. Cara ini tidak hanya dipakai untuk membaca hal-hal keagamaan, namun juga dipakai dalam membaca realitas keumatan, kebangsaan, dan kemanusiaan semesta,” paparnya.
Menanggapi hal tersebut maka warga Muhammadiyah harus memperkaya literatur dakwah, demokrasi serta literatur keumatan dan kebangsaan. Agar kita dapat menggunakan tradisi iqra’ untuk membaca realitas kehidupan. Di situlah inti kita membuka perspektif baru dalam berdakwah, berdemokrasi, dan menghadapi kemajemukan. “Jika kita tidak terus belajar, kita akan ketinggalan,” tutupnya.
Shamsi Ali, Ulama sekaligus Aktivis Dakwah di Amerika Serikat menyampaikan, new normal adalah konsep yang harus disikapi secara kritis. Sebab ada yang mendefinisikan bahwa new normal adalah jalan untuk kembali kepada kehidupan yang lama. Jika kita memasuki new normal maka harus ada sesuatu yang baru untuk dibangun. Karena Muhammadiyah adalah gerakan pembaharuan atau tajdid.
Al-Qur’an menjelaskan, setiap kali Allah Swt mengirim para Nabi lalu mendapatkan penentangan yang tinggi dari suatu kaum, maka kemudian Allah menghancurkan kaum tersebut dan kemudian Allah datangkan generasi yang baru (qornan akharin). “Mudah-mudahan setelah corona berlalu kita menjadi generasi yang baru bukan secara fisik, tapi dari mindset intelektualitas dan keruhanian kita,” ujarnya. (diko)