Ada tiga status bagi manusia. Sosiologi menjelaskan, ketiganya adalah ascribed status, achieved status, dan assigned status.
Ascribed status kita bawa sejak lahir. Tidak bisa kita minta, apalagi pilih. Di mana kita lahir, dari rahim siapa, kapan, dan apa jenis kelamin kita, adalah contoh ascribed status. Fisik kita: jelek, ganteng, cantik, juga ascribed status. Dalam status ini, manusia tidak berdaya, kecuali sepenuh syukur menerima.
Berbeda dengan achieved status. Status ini tercapai setelah kita berpayah-payah. Tidak ada manusia lahir ke dunia langsung hebat, namun setiap kita dapat menjadi dosen, dokter, penulis, presenter, menteri, bahkan presiden. Itulah achieved status, yang dapat kita tentukan, rancang, dan sandang. Gelar pendidikan juga achieved status. Karena, pencapaiannya berkat kesungguhan kita menempuh pendidikan formal.
Status yang ketiga lebih keren lagi. Diberikan bukan karena maksud dan tujuan kita. Tentu juga bukan bawaan manusia dari sono-nya. Sebagaimana namanya, assigned status kita sandang lebih karena jasa atau pengorbanan kita. Yang memberikan adalah orang lain. Dan, biasanya, setelah kita meninggal. Misalnya, gelar pahlawan yang disematkan kepada Kiai Dahlan, Nyai Walidah, dan tokoh bangsa lainnya. Kendati begitu, assigned status tidak mustahil diberikan kepada seseorang yang masih hidup. Contohnya, sebutan Bapak Reformasi untuk Prof M Amien Rais.
Sekali lagi, ruang usaha manusia bukan di wilayah ascribed status. Kita wajib memeras daya di ranah achieved status dan assigned status. Kita tidak berharap menjadi anak raja, namun kita dapat berjuang sampai menjadi presiden. Mustahil bercita-cita menjadi Gus, tetapi kita dapat berkiprah untuk agama dan umat ini hingga disebut kiai. Tidak ada jalan bagi hasrat kita menjadi anak konglomerat, kendati sangat masuk akal, kelak kita sendiri berhasil menjadi hartawan kondang.
Di era kini, terbentang jalan untuk menjadi apa saja dan siapa saja. Tidak amat sulit membangun achieved status dan assigned status. Kuncinya adalah terus melangkah, sebab diam tidak pernah mengubah. Tiada pribadi sukses tanpa usaha keras dan lama. Jutawan terpandang, usahawan mapan, ilmuwan ternama, ulama karismatik, dan seterusnya, pasti melalui peluh keringat, bahkan simbah darah.
Islam menyuruh kita agar tidak diam: fa idza faraghta fanshab. Jika kamu telah usai dari suatu urusan, kerjakan urusan lain. Begitu kata Allah dalam surah Asy-Syarh [94]: 7. Islam juga tidak memerintahkan kita melulu beribadah, lalu menyerahkan nasib kepada takdir. Makanya, tiga tahap pencapaian sesuatu, dalam Islam, dimulai dari ikhtiar, doa, kemudian dipungkasi dengan tawakal. Tidak boleh dibalik. Ikhtiar maksudnya usaha lahir-badani. Kemudian usaha batin-rohani ialah doa. Baru hasil akhirnya diserahkan kepada Allah. Itulah tawakal.
Kesuksesan instan bukan dari Islam. Karena, yang dinilai oleh Islam itu prosesnya, bukan hasilnya. “Apabila tekadmu telah bulat, serahkan semuanya (tawakal) kepada Allah” (Qs Ali Imran [3]: 159). Dan, benar, kenyataan sehari-hari membuktikan, paket instan sering hanya berasal dari muslihat setan. Ingin tampak pintar, lalu membeli gelar. Ingin naik haji tanpa antre, lalu menyerobot lewat negara tetangga. Ingin meraih jabatan politik, lalu menyuap pemilih. Ingin karier moncer, lalu pergi ke dukun. Yang paling gres, ingin kaya mendadak, lalu menjadi pengikut Dimas Kanjeng.
Aneka praktik serupa itu, kian hari tidak kian surut. Modernitas rupanya tidak selalu diimbangi kecerdasan manusia dalam menempuh hidup secara halal dan masuk akal. Masih saja muncul orang atau aliran yang aneh-aneh. Banyak orang zaman sekarang, bukan ulama atau orang shalih, tetapi karena punya kemampuan yang tidak dimampui orang banyak, segera dianggap punya karamah.
Di sini pentingnya memahami tiga jenis status di atas, bagaimana cara dan proses mencapainya. Penting dicamkan, segala kenikmatan, kebahagiaan, bahkan keajaiban yang dialami manusia, harus diukur dari kesalehan orang bersangkutan. Apa indikator kesalehan? Tidak lain adalah kemampuan memahami serta mengamalkan Al-Qur’an dan Hadits. Dan, bukti yang paling nyata adalah ketaatan menjalankan ibadah wajib dan ibadah sunah, juga melakukan kebaikan secara tulus sebagaimana dianjurkan Islam.
Kalau ada orang yang ibadahnya tidak jangkep, tidak paham dan tidak mengamalkan Al-Qur’an, nafsu dunianya meluap, kerap melakukan maksiat, lantas punya kemampuan luar biasa, benarkah itu karamah dari Allah? Bahkan, achieved status dan assigned status pun sukar diraih orang model begitu.
M Husnaini, Ketua Majelis Pustaka dan Informasi PCM Solokuro, Penulis Buku Allah Pun “Tertawa” Melihat Kita
Sumber: Majalah SM Edisi 21 Tahun 2016