Di antara berbagai apresiasi positif terhadap Muhammadiyah di media massa tanah Melayu terselip harapan agar kaum Muslim di sana juga meniru Muhammadiyah
Oleh: Muhammad Yuanda Zara
Di antara sejarah panjang transnasionalisme Muhammadiyah, perkembangan Muhammadiyah di dunia Melayu adalah salah satu yang paling menarik. Namun, ada satu elemen yang belum banyak dikupas perihal tema ini, yakni representasi Muhammadiyah di media cetak Melayu. Padahal, media cetak berperan krusial dalam mengarahkan dan membentuk opini publik dunia Melayu tentang Muhammadiyah selama berdekade-dekade.
Salah satu media massa Melayu yang paling awal menunjukkan simpati pada Muhammadiyah adalah majalah Islam Qalam. Majalah ini diterbitkan di Singapura sejak tahun 1950, dengan pembaca yang tersebar di berbagai wilayah di dunia Melayu. Qalam menekankan pada penyebarluasan ilmu pengetahuan demi kemajuan agama Islam dan bangsa Melayu. Dus, majalah yang menggunakan tulisan Arab Melayu ini sesuai dengan orientasi modernisnya Muhammadiyah.
Kehadiran Muhammadiyah sudah tampak sejak Qalam edisi pertama. Edisi perdana Qalam pada Juli 1950 menempatkan Fatmawati, istri Presiden Soekarno, sebagai cover depannya. Fatmawati digambarkan berkerudung, dan ini ada kaitannya dengan fakta bahwa “ia terkenal pada masa dahulu sebagai seorang ahli Muhammadiyah”. Latar belakang ini dianggap membuat Fatmawati menjadi sosok yang teguh dalam menjalankan ajaran agama, namun tidak berarti menjadi penghalang baginya untuk berstatus tinggi—istri Presiden
Satu hal yang amat menarik minat publik dunia Melayu di awal 1950an adalah peranan Muhammadiyah di bidang pendidikan. Jasa besar Muhammadiyah, menurut media Melayu, adalah via sekolah-sekolahnya yang memperkuat Islamisasi masyarakat Indonesia.
Kontribusi lain Muhammadiyah di bidang pendidikan adalah pendirian Universitas Islam Indonesia di Yogyakarta, di mana tokohnya, Abdul Kahar Muzakkir (“Tuan Abdul Kahar Mazkar” dalam istilah Melayu), menjadi salah satu pendirinya. Qalam memuji Muzakkir karena sebagai orang terpelajar ia seharusnya bisa menduduki posisi penting di pemerintahan, namun justru memilih fokus pada pendidikan Islam. Menurut Muzakkir, tugas mendidik pemuda-pemudi Muslim adalah tugas yang amat besar dan tidak bisa ditinggalkan karena tanpa pendidikan yang bermutu kaum Muslim akan mengalami ketertinggalan.
Di luar soal pendidikan, Muhammadiyah dilukiskan pula sebagai organisasi yang turut menyumbang nama besar dalam pentas politik Indonesia. Ini tampak dalam reportase tentang “Engineer Djuanda” pada September 1950, saat Qalam memberitakan tentang lima tahun kemerdekaan Indonesia. Qalam menceritakan profil beberapa pejabat penting RIS, salah satunya Menteri Kemakmuran Djuanda. Ia digambarkan pernah menjadi “Direktor Sekolah Muhammadiyah di Jakarta”. Di antara beberapa pejabat RIS ini, Juanda merupakan satu-satunya yang berafiliasi dengan Muhammadiyah, sehingga memberi kesan bahwa posisi Juanda di Muhammadiyah merupakan pengalaman penting yang membantunya untuk masuk ke birokrasi.
Sumbangan Muhammadiyah ke lapangan militer juga diakui oleh publik Melayu. Muhammadiyah diperkenalkan ke dunia Melayu sebagai organisasi dari mana Jenderal Sudirman berasal. Pada Desember 1952, Qalam menerbitkan laporan mengenai peresmian Masjid Syuhada di Yogyakarta. Disebutkan bahwa masjid ini dibuka oleh istri almarhum Jenderal Sudirman.
Sang jenderal digambarkan sebagai “seorang panglima tentera Indonesia yang berjasa yang berasal daripada guru Muhammadiyah”. Menyandingkan posisi tertinggi dalam ketentaraan (jenderal) dengan latar belakang Muhammadiyah sang jenderal menandakan bahwa Muhammadiyah dianggap memiliki andil besar dalam karier militer sang jenderal. Bagi publik Melayu ini adalah bukti lain bahwa Muhammadiyah tak hanya melahirkan para birokrat seperti Juanda, atau first lady seperti Fatmawati, tapi juga petinggi militer. Ini memperlihatkan luasnya cakrawala para alumni Muhammadiyah dan baiknya kompetensi mereka di berbagai profesi.
Di antara berbagai apresiasi positif terhadap Muhammadiyah di media massa tanah Melayu terselip harapan agar kaum Muslim di sana juga meniru Muhammadiyah. Ini tampak saat Muhammadiyah memperingati ulang tahunnya yang ke-40 pada 18 November 1952. Majalah Qalam meninjau ulang sejarah dan pengaruh Muhammadiyah di Indonesia serta berharap agar Muhammadiyah dijadikan teladan. Muhammadiyah diilustrasikan sebagai “sebuah pertubuhan yang sangat berjasa sehingga bagi Pulau Jawa ia dipandang sebagai pertubuhan ‘yang mengislamkan semula’ orang-orang di situ”. Oleh sebab itu, pantas kiranya gerakan Muhammadiyah dijadikan teladan di Malaya
Pengaruh Muhammadiyah juga ditampilkan lewat foto. Foto merupakan representasi visual yang menangkap realitas yang dianggap penting untuk diabadikan. Dan, foto-foto yang berkaitan dengan Muhammadiyah banyak dipublikasikan di media cetak di dunia Melayu. Majalah Qalam berkali-kali menerbitkan foto dimaksud, mulai dari foto Fatmawati, Juanda, Masjid Syuhada, pelajar Muallimat, Haji Agus Salim (dalam perayaan HUT ke-40 Muhammadiyah), dan satu foto berisi beberapa orang yang digambarkan sebagai mereka “yang telah berjihad mengembangkan agama Islam di Yogyakarta” (yakni: Abdul Kahar Muzakkir, Yunus Anis, Haji Shaja’a, dan dua mantan tentara Hizbullah dan Sabilillah). Foto-foto ini menambah ekspos terhadap Muhammadiyah di ruang publik Dunia Melayu.
Selain Qalam, Muhammadiyah juga hadir di ruang publik Melayu melalui koran berbahasa Melayu dan beraksara latin yang terbit sejak tahun 1958 dan kini merupakan salah satu koran terbesar di Malaysia, Berita Harian. Berbeda dengan Qalam, Berita Harian tidak terlalu menekankan pada peran penting Muhammadiyah Indonesia dalam memajukan Islam di Indonesia, melainkan pada dinamika sister organization-nya di Singapura, yang bernama Persatuan Muhammadiyah Singapura.
Muhammadiyah Singapura digambarkan aktif dalam melakukan aktivitas Islam bersama-sama degan lembaga Islam lain di sana, seperti PERGAS, PAS dan Jamiah. Namun, di awal 1960an itu terjadi pula konflik internal dan krisis di tubuh berbagai organisasi Islam di sana, termasuk Muhammadiyah Singapura. Di luar soal-soal ini, Berita Harian kerap menurunkan laporan dalam soal yang berkaitan dengan ibadah, seperti penentuan awal bulan Ramadhan oleh Muhammadiyah dan jadwal shalat Hari Raya yang diselenggarakan Muhammadiyah di Singapura.
Mengingat uraian di atas, nama “Muhammadiyah” sesungguhnya mencerminkan visi organisasi ini sebagai organisasi yang tidak dibatasi oleh teritori atau masyarakat tertentu. Muhammadiyah menggambarkan sebuah spirit transnasionalisme, ketika yang menyatukan umat bukanlah nasion atau batas negara, melainkan gagasan kemajuan dan kosmopolitanisme yang dibawa Nabi Muhammad. Citra Muhammadiyah (Indonesia) tampak sangat positif di dunia Melayu beberapa dekade silam, dan ini terbantu oleh berbagai laporan simpatik tentang Muhammadiyah di media cetak Melayu. Imej ini merupakan bekal bagus ketika di tahun-tahun terakhir PCIM bermunculan di dunia Melayu dan Muhammadiyah semakin aktif untuk memajukan pendidikan di kawasan ini.
Muhammad Yuanda Zara, Sejarawan
Sumber: Majalah SM Edisi 16 Tahun 2017