Setengah abad mengalami destruktivikasi lingkungan hidup seharusnya sudah cukup bagi umat Islam untuk bangkit dan serius membangun etika lingkungan hidup Islami
Oleh: Aprizal Sulthon Rosyid
Bayangkan sebuah mobil melaju di jalanan kota, membawa keluarga muslim taat. Keluaga itu saling bercanda dan tertawa, sambil santap camilan yang dibeli di sebuah minimarket. Keluarga bahagia, dan semua tampak wajar, sampai salah satu dari mereka mengeluarkan tangan dari jendela dan membuang tisu. Disusul beberapa menit kemudian tangan lain membuang bungkus kacang.
Pemandangan buang sampah dari jendela mobil (atau pengendara motor yang menjentikkan abu rokok nya) bisa dengan sering kita temukan. Tidak jarang pelakunya justru orang-orang berpendidikan dan relijius. Betapa gelar akademik, atau bahkan relijiusitas, tidak secara otomatis mendorong seseorang berperilaku ramah lingkungan. Sebab, selera ilmu tiap orang berbeda, tidak selalu tentang isu keselamatan ekosistem. Karena itulah kesadaran pro lingkungan hidup tidak selalu tumbuh. Terlebih lagi, isu lingkungan hidup belum benar-benar menjadi tren, baik dalam dakwah maupun dalam perbincangan sehari-hari.
Maka ketika rakyat sipil sedang gonjang-ganjing menghadapi rencana pengesahan RUU Omnibus Law, yang akan memberi keleluasaan pada industri kapitalis untuk melakukan destruktifikasi atawa penghancuran ekosistem, adalah wajar bila kita mendapati sebagian besar umat Islam tidak tergerak untuk melakukan perlawanan. Pun elitnya.
Sesungguhnya ajaran Islam amat penuh dengan muatan isu integritas ekosistem, serta penghormatan, pemeliharaan dan penyelamatan terhadapnya. Hanya saja, refleksi atas ajaran Islam lebih subur di ranah sosial budaya dan hukum. Hal ini wajar, sebab umat Islam baru berhadapan dengan destruktivikasi lingkungan di sekitar separuh abad ke belakang saja. Saat industrialisasi menyebabkan gonjang-ganjing di Eropa 200 tahun lalu, umat Islam sedang berhadapan dengan imperialisme.
Meski kerja imperialisme bersifat destruktif, perhatian elit agama adalah melindungi kedaulatan manusia, bukan kedaulatan ekosistem. Baru setelah memasuki 50 tahun terakhir, setelah dunia Islam dan imperialisme menjelma kapitalisme, umat Islam bertemu dengan industrialisasi dan praktek eksploitasi ekosistem atas nama pertumbuhan ekonomi dan agenda pembangunan.
Setengah abad mengalami destruktivikasi lingkungan hidup seharusnya sudah cukup bagi umat Islam untuk bangkit dan serius membangun etika lingkungan hidup Islami. Etika ini bukan sekadar himbauan untuk melakukan program-program rehabilitasi-konservasi; etika adalah sesuatu yang lebih berkonsekuensi pada perubahan paradigmatik, seperti: (a) perubahan relasi antara manusia dan alam menjadi ekosentris alih-alih antroposentris; (b) perubahan rasa hormat pada bio-diversitas menjadi lebih terasa sakral; atau (c) perubahan jangkauan “jihad ekosistem” hingga menyentuh ke perlawanan terhadap kebijakan-kebijakan yang pro kapitalis.
Tantangan Membangun Ajaran Lingkungan Hidup Islami
Untuk membangun etika lingkungan hidup Islami tidaklah terlalu sulit karena yang diperlukan hanyalah kesungguhan mengeksplorasi ayat-ayat al-Qur’an dan hadits, dan menarik dimensi etika darinya. Mengapa etika? Karena teologi dan fikih akan timpang bila tanpa disangga oleh etika. Mari mengurai tantangan yang dihadapi teologi dan fikih.
Teologi menyingkap hakikat di balik setiap “yang-ada”, yakni Allah yang muhith (melingkupi, memenuhi) di segala sesuatu. Idealnya, seorang muslim tidak diperkenankan merusak ekosistem, sebab ekosistem adalah tajalli Allah. Tapi pengetahuan itu tidak otomatis melahirkan kesadaran bela lingkungan karena porsi besar perhatian teologi adalah Tuhan dan manusia, sedangkan alam hanyalah subordinat bagi keduanya. Hal ini berimbas dalam perdebatan ilmu kalam. Asy‘ariyah berpendapat bahwa, “Sesuatu bernilai karena teks menyatakannya.” Nilai alam ditentukan teks, dan al-Qur’an tidak mengurai nilai alam secara rinci karena al-Qur’an bukan kitab sains. Manusia harus melakukan menafsir, dan akhirnya alam menjadi subordnat tafsir linguistik. Muktazilah berpendapat sebaliknya: “nilai ada di luar teks, manusia bisa mengeksplorasinya dengan akal sehat; teks hanya memberi informasi.” Argumen ini seolah membebaskan nilai alam dari kuasa teks, tapi sesungguhnya mensubordinasi nilai alam dalam kuasa rasio.
Fikih memiliki kelebihan: ia praktis, terperinci, dan padanya sudah ada “terma-terma hijau”, seperti iḥyā al-mawāt (praktek menghidupkan tanah mati), himā’ (praktek konservasi kawasan hijau), atau al-ṣayd wa al-dhabā’ih (etiket perburuan dan penyembelihan). Tapi ada tantangannya. Pertama, fikih cenderung tekstual dan tertutup dari disiplin ilmu lain, hingga terkesan lambat merespon isu kontemporer. Kedua, kaidah fikih kadang kontradiktif. Kaidah “Mencegah mafsadat didahulukan dari memeroleh manfaat” bertabrakan dengan kaidah “keharaman bisa dibatalkan bila ada maslahat.” Akan ada adu tafsir (baca: adu kepentingan). Ketiga, tidak semua isu lingkungan dalam fikih benar-benar bermotif kemaslahatan lingkungan. Iḥyā al-mawāt misalnya, hanya ingin agar tanah tak produktif segera didayagunakan, namun “menggarap” di sini termasuk juga mendirikan bangunan di atasnya. Mungkin himā’ bisa digunakan sebagai pijakan: sebuah upaya konservasi untuk mengadang monopoli lahan berburu. Sedangkan al-ṣayd wa al-dhabā’ih hanya melekat di benak umat sebagai prosedur penyembelihan, tidak sampai menjadi etika pro hewan.
Maqāṣid Syarī’ah Sebagai Basis Etika Lingkungan Islami
Seperti tersebut di atas, kebutuhan kita adalah membangun etika. Etika adalah bidang kajian yang mengandalkan eksplorasi rasional (harus masuk akal), berorientasi pada prinsip-prinsip etis (bukan hukum terperinci), lentur menghadapi perubahan zaman (karena komitmen diletakkan pada prinsip etis, bukan hukum yang kaku), serta bersifat mendesak secara maksimal (tidak seperti fikih, seperti tampak dalam fikih zakat, yang menuntut distribusi minimal). Kebutuhan membangun etika bisa dipenuhi dengan maqāṣid syarī’ah.
Maqāṣid syarī’ah adalah bidang kajian yang mengkonstruk nilai-nilai prioritas dalam Islam. Nilai-nilai prioritas itu disebut sebagai ḍaruriyyat; setiap hukum, fatwa, ijtihad politik, sosial ekonomi, dan budaya harus memuat dan/atau tidak melanggar ḍaruriyyat. Salah satu nilai dalam ḍaruriyyat adalah hifẓ al-bī’ah, atau perlindungan terhadap ekosistem. Dari mana hifẓ al-bī’ah didapatkan? Dari eksplorasi teks-teks suci (al-Qur’an dan hadis), lalu mengambil kesimpulan induktif berupa prinsip etis (bukan berupa hukum).
Gambaran kerjanya sebagai berikut: Rasulullah Saw. menyebut bumi sebagai masjid yang suci dan sakral (al-arḍu kulluhā masjidun) yang suci dan sakral, dan sebagai ibu yang harus dijaga (tahāfaẓu min al-ardhi fa innahā ummukum). Prinsip kesucian dan kebermanfaatan kolektif bumi kemudian disimpulkan darinya. Konsekuensinya, segala kebijakan yang mengancam kesucian dan kebermanfaatan kolektif tersebut harus dilawan, dan perlawanan terhadapnya akan dipandang kerja-kerja dakwah Islamiyah.
Umat harus didorong untuk bertransformasi, dari peka keadilan sosial, menjadi peka keadilan ekosistem. Transformasi itu harus dimulai dari para cendekiawannya: ulama dan intelektual, baik angkatan lama dan baru. Mengulik maqāṣid syarī’ah bisa menjadi titik tolaknya.
AS Rosyid, direktur Reading Group for Social Transformation (RGST), peneliti di JIMM Malang