Farah baru saja sampai ke kamarnya yang berukuran cukup besar dan lega itu. Dirinya baru saja pulang berbelanja di salah satu mini market di New South Wales. Tidak biasanya, belanjaannya terbungkus rapi di dalam tas kain yang belakangan sering dibawanya kemana-mana. “Lagi diet plastik!” katanya ketika ditanya. Farah sudah sebulanan berusaha untuk mengontrol penggunaan plastik sekali pakainya.
“Awalnya susah, tapi lama-lama terbiasa.” Farah yang sedang menunaikan studinya di negara Kanguru tersebut mengaku bahwa memang akhir-akhir dirinya ikut-ikutan resah melihat dampak sampah plastik yang tidak hanya mencemari lingkungan sekitar saja, namun juga menghancurkan habitat mahluk hidup lainnya baik di daratan ataupun di lautan.
Sesekali Farah mengunggah foto yang bercerita tentang pengalaman hidup bebas plastik sekali pakainya dengan tagar #plasticfreejuly. Farah mengaku bahwa dampak kampanye pengurangan sampah plastik dan sustainable living melalui media sosial sangat menggugahnya. Di bulan Juli, gerakan global Plastic Free July dengan tagar #plasticfreejuly memberikan tantangan kepada warganet untuk mempraktikkan pengurangan penggunaan plastik sekali pakai selama sebulan penuh.
Bukan sekedar tagar saja, inisiatif yang dimulai oleh sebuah organisasi nirlaba yang bebasis di Australia bernama Plastic Free July Foundation turut menginspirasi masyarakat dunia untuk melakukan pengurangan sampah plastik di berbagai komunitas masyarakat akar rumput sejak 2011.
Kesadaran Lingkungan
Pada Juli 2018, dilansir dari laman plasticfreejuly.org, berdasarkan riset yang dilakukan oleh organisasi tersebut bekerjasama dengan Ipsos kurang lebih ada 120 juta orang yang terlibat dalam kampanye pengurangan sampah plastik #plasticfreejuly di 177 negara. Kampanye ini memprediksikan pengurangan 76 kg sampah pertahun di setiap keluarga, mengurangi penggunaan kemasan sekali pakai rata-rata sejumlah 28 kg per keluarga setiap tahunnya, dan mampu berkontribusi dalam membebaskan lingkungan dari 490 juta kg sampah plastik setiap tahunnya.
Upaya pengurangan sampah plastik ini sejalan dengan visi SDGs milik PBB yang meliputi sustainable cities and communities, responsible production and consumption, life below water, dan life on land.
Di Washington DC, Amerika Serikat, organisasi nirlaba bernama Green Muslims juga aktif dalam menggalang kesadaran lingkungan, khususnya menggunakan ajaran Islam sebagai landasannya. Salah satu kegiatannya dalam mengurangi sampah plastik adalah mengadakan zero waste iftar atau buka bersama bebas sampah sejak 2007. Kegiatan ini kemudian menuai sambutan dan berkembang meliputi program edukasi bagi pemuda lokal, kegiatan bersih lingkungan sembari melakukan berbagai kegiatan outdoor oleh komunitas masyarakat, menyediakan materi edukasi untuk berbagai Islamic Center dan kelompok pemuda di Washington DC.
Di Indonesia, kampanye pengurangan penggunaan plastik sekali pakai sebagai bagian dari isu lingkungan yang lebih besar juga menuai perhatian dalam setahun terakhir. Dari kebijakan pengenaan tambahan biaya untuk penggunaan plastik di sejumlah pusat perbelanjaan hingga penyediaan kantong belanja non-plastik turut digalakkan. Gerakan masyarakat dalam pengurangan penggunaan plastik sekali pakai hingga mempromosikan gaya hidup minimalis nan ramah lingkungan pun mulai banyak ditemui di media sosial.
Anak muda, atau populernya ‘generasi milenial’ menjadi kelompok yang secara masif turut serta menyebarkan pesan ini. Dari membawa wadah belanja sendiri serta penggantian sedotan plastik menjadi sedotan stainless atau bambu, hingga praktik pengolahan sampah rumah tangga menjadi pupuk kompos yang sederhana. Berbagai tempat ‘nongkrong’ kaum millenial pun tak sedikit yang sudah tidak menggunakan plastik sekali pakai. Segala kampanye tersebut mengarah kepada tujuan responsible production dan responsible consumption.
Impor Sampah
Bali, menjadi salah satu yang mencanangkan pelarangan penggunaan plastik sekali pakai, styrofoam, dan sedotan plastik. Sebelumnya, Bogor dan Banjarmasin juga menjadi dua kota yang telah memiliki aturan tentang penggunaan plastik. Meskipun baru belakangan kampanye ini nyaring di telinga, berbagai negara telah menerapkan aturan yang berani terkait pengurangan sampah plastik.
Di tengah maraknya kampanye pengurangan sampah plastik, masyarakat Indonesia dikejutkan dengan adanya kabar ‘Impor Plastik’ oleh Indonesia. Praktik impor dengan dalih pendauran ulang ini sesungguhnya telah lama berlangsung. Sampah plastik yang diimpor oleh Indonesia dan beberapa negara yang tidak memiliki kebijakan yang ketat akan perihal impor sampah ini berasal dari Amerika Serikat dan sejumlah negara industri lainnya untuk menghindari tumpukan sampah di negara asalnya.
Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh Green Peace terkait perdagangan sampah plastik global sejak 2015 hingga 2018, AS, Jerman, Inggris dan Jepang menjadi negara pengekspor sampah terbesar. 10 negara terbesar dengan impor sampah terbesar di antaranya Tionghoa Daratan, Malaysia, Indonesia, India, Taiwan, Thailand, Vietnam, Hongkong, Korea Selatan, dan Turki. Di antara 10 negara tersebut negara-negara yang tidak memiliki aturan yang jelas mengenai kiriman sampah pastik di antaranya adalah Hongkong, Korea Selatan, dan Turki.
Pada 2018, Tiongkok memberlakukan kebijakan National Sword Policy yang memberlakukan aturan pelarangan impor sampah ke negaranya. Indonesia dan Turki menjadi dua negara dengan jumlah impor terbesar setelah Tiongkok memberlakukan kebijakan tersebut. Pada 2017, jumlah impor Indonesia mengalami kenaikan dari 10 ribu ton per bulan di akhir 2017, hingga 35 ribu ton per bulan di akhir 2018.
Konvensi Basel 1989
Belum lama, 180 negara terkecuali Amerika Serikat telah setuju dengan kesepakatan pengurangan polusi sampah plastik yang dilakukan di Jenewa dalam pertemuan United Nations Environmental Program. Pada 1990, Amerika Serikat telah menandatangani Konvensi Basel 1989 yang merupakan sebuah kesepakatan yang akan mengatur pergerakan dan mencegah pengiriman sampah dari negara-negara industrialis ke negara-negara berkembang. Namun hingga kini belum kunjung meratifikasi konvensi tersebut.
Di antara nama-nama negara yang tergabung dalam kesepakatan Basel, beberapa negara di Afrika dianggap menjadi contoh dalam pemberlakukan kebijakan tegas mengenai sampah khususnya sampah plastik. Sebut saja Rwanda, Kenya, dan Uganda.
Rwanda sendiri yang dikenal sebagai negara dengan sejarah kelam kemanusiaan kini berani memberlakukan pelarangan penggunaan plastik sekali pakai hingga pemberian hukuman penjara bagi pelanggarnya. Dilansir dari New York Times, Rwanda hari ini telah memberlakukan pelarangan impor, produksi, penggunaan serta penjualan plastik sekali pakai kecuali untuk industri farmasi dan rumah sakit.
Pelanggar yang tertangkap basah mengabaikan aturan tersebut dapat diancam hukuman setidaknya 6 bulan penjara, denda, atau hukuman dengan membuat pernyataan di muka publik. Kesungguhan Rwanda dalam pemberlakuan kebijakan pelarangan plastik ini bahkan melibatkan upaya sweeping di area bandara.
Negara yang terletak di bagian Timur benua Afrika ini mulai memberlakukan kebijakan ini sejak 2008. Di kantor imigrasi, barang-barang diperiksa untuk memastikan tidak ada plastik sekali pakai yang terselip di antaranya. Berbagai industri di Rwanda mengganti plastik dengan kertas sebagai alternatifnya.
Alih-alih memberikan pengurangan pajak kepada industri yang memproduksi plastik sekali pakai, pemerintah mendorong untuk melakukan pendauran ulang yang kemudian menciptakan pasar baru untuk tastas belanja yang lebih ramah lingkungan. Nampaknya Indonesia kelak harus meniru langkah besar Rwanda dalam pengurangan limbah plastik. (Th)