Duo Krisis dan Perilaku Otak Hewan atau Otak Manusia
Oleh: Wildan dan Nurcholid Umam Kurniawan
Kata Din dalam bahasa Al-Qur’an, seringkali dipersamakan dengan kata agama. Kata tersebut terdiri tiga huruf, yaitu dal, ya’, dan nun. Bagaimanapun cara membacanya, maknanya selalu menggambarkan hubungan antara dua pihak, yang satu lebih tinggi kedudukannya dari yang lain. Seperti dain yang berarti utang, atau din yang berarti balasan dan kepatuhan, serta hubungan antara manusia dengan Allah Swt. Dalam hubungan dengan Tuhan, tentu saja Dia-lah Yang Maha Tinggi dan manusia di tempat yang rendah (Shihab, 2006).
Kata agama berasal dari Bahasa Sansekerta gam yang artinya pergi, seperti hal bahasa Inggris go yang artinya juga sama pergi, karena kedua cabang bahasa itu berasal dari pohon bahasa yang sama Proto-Eropa. Kata gam dapat awalan dan akhiran a, menjadikannya kata benda, sehingga agama adalah “jalan” menuju Tuhan (road to Allah) yang mengantar pemeluknya menuju kebahagiaan duniawi dan ukhrawi.
Di Indonesia, secara umum kita mengenal kata “Agama”, walau di Bali dikenal istilah“Agama”, “Igama”, dan “Ugama”. Agama menurut istilah ini mencerminkan peraturan yang mengatur hubungan manusia dengan Penguasa, Igama adalah yang mengatur hubungan dengan tuhan/dewa-dewa, misalnya sembahyang. Sedang Ugama adalah ketentuan yang mengatur hubungan manusia dengan sesamanya. Di Singapura dan Malaysia, kata yang digunakan adalah Ugama dalam arti agama dalam Bahasa Indonesia.
Menurut Prof. Dr. dr. M Syamsulhadi, Sp. KJ (K), Gurubesar Ilmu Kedokteran Jiwa, FK- UNS, (2020), via WhatsApp, bahwa orang beragama tidak memisahkan agama dengan spiritualitas. Berbeda dengan orang tidak beragama (atheis, sekuler, dan materialist) selalu mengagung-agungkan spiritualitas dan menganggap semua agama itu sama. Bahkan menyebut agama memecah belah manusia dan persatuan. Karena agama itu berbeda-beda, maka spiritualitas masing-masing agama juga berbeda. Maka, untuk orang yang memeluk (bukan dipeluk) Agama Islam yang sehat spiritual, adalah apabila aqidah, syariah dan akhlak-nya baik dan benar !
Kata spiritualitas dari Bahasa Yunani, spiritus yang artinya, menyalakan, membuat terang. Dalam kehidupan, spiritualitas mewujudkan dari dalam upaya mencari makna hidup (the meaning of life). Melalui upaya mencari makna hidup dapat dijejaki hubungan antara kesehatan dan spiritualitas.. Makna hidup merupakan inti dari spiritualitas. Dorongan positip dalam diri untuk bermakna dalam kehidupan, baik untuk diri sendiri maupun bagi orang lain, memberikan kontribusi bermakna dalam status kesehatan, terutama berkaitan dengan penyembuhan penyakit. Sejumlah riset yang dilakukan memberikan bukti bahwa mereka yang mempraktekkan spiritualitas menunjukkan : 1) Angka bunuh diri yang rendah; 2) Tingkat kecemasan yang rendah; 3) Ketergantungan obat yang rendah; 4) Angka depresi rendah dan lebih cepat mengalami pemulihan (recovery); 5) Optimisme, harapan dan kehidupan yang lebih baik; 6) Lebih bertujuan dan bermakna dalam kehidupan; 7) Dukungan sosial yang tinggi; dan 8) Kehidupan perkawinan yang stabil dan lebih bermutu (Koenig, 2004 dalam Pasiak, 2012).
Hajar, adalah contoh manusia yang sehat spiritual, contoh manusia yang bertakwa, selalu patuh pada kehendak Tuhan, merupakan isteri kedua Nabi Ibrahim, yang dikenal sebagai Bapaknya para Nabi (The Father of all Prophets), tidak kurang dari seribu juta manusia penganut Agama Yahudi, Nasrani dan Islam mengagungkan Nabi Ibrahim. Nabi Ibrahim (1861 – 1686 SM) adalah “Bapak Monoteisme”, “Bapak Ketuhanan Yang Maha Esa”. Beliau datang mengumandangkan bahwa Tuhan yang disembahnya adalah Tuhan seru sekalian alam, bukan Tuhan satu ras dan bangsa, tidak juga Tuhan yang terbatas untuk masa tertentu saja, Tuhan yang menyertai manusia dalam seluruh perjalanan hidupnya, pada saat tidur atau sadarnya, sebelum dan pada saat keberadaannya di dunia ini, dan setelah kematiannya (Shihab, 1998).
Sarah, seorang keturunan bangsawan, isteri Nabi Ibrahim, mempunyai budak kulit hitam yang berasal dari Ethiopia dan bernama Hajar. Budak ini sedemikian miskin dan hinanya sehingga Sarah tidak berkeberatan jika Nabi Ibrahim mengawininya untuk memperoleh keturunan. Walaupun tidak cukup terhormat untuk menjadi isteri kedua Nabi Ibrahim, tetapi Allah menghubungkan lambang Hajar dengan lambang-Nya sendiri, Ka’bah (Shariati, 1978).
Di atas pangkuan Hajarlah Isma’il dibesarkan. Di sanalah rumah Hajar dan kuburannya di dekat pilar Ka’bah yang ketiga. Betapa anehnya ! Jika tak seorang manusia pun, sekalipun ia nabi, boleh dikuburkan di dalam masjid maka mengapakah rumah seorang budak kulit hitam sampai berada di sebelah rumah Allah ? Dan di situ pula Hajar, ibu Isma’il, dikuburkan. Bangunan Ka’bah memanjang ke arah kuburannya; dengan perkataan lain : rumah Allah menghadap ke pangkuan Hajar ! Sedangkan kuburan Nabi Ibrahim berada di Hebron, Palestina, yang jauhnya dari Makkah kira-kira 760 mil atau 1.125 kilometer.
Allah Yang Maha Besar adalah Sendirian. Tak seorang manusia pun dan tak sesuatu pun yang dibutuhkan-Nya. Walaupun demikian, di antara sekalian mahluk-Nya yang sangat banyak ini Dia telah mengangkat seorang manusia yang termulia di antara mereka :
Di antara semua manusia : seorang perempuan
Di antara semua perempuan : seorang budak
Di antara semua budak : seorang sahaya yang berkulit hitam
Kepada yang terhina dan terlemah di antara mahluk-mahluk-Nya ini Allah memberikan tempat di sisi-Nya dan sebuah ruangan di dalam rumah-Nya. Dia telah datang ke rumah Hajar, menjadi tetangganya, dan menempati ruangan yang sama dengan Hajar. Jadi di bawah atap “rumah” ini ada Allah dan Hajar. Dalam jargon jaman now, Tuhan memberitahu manusia bahwa Black lives matter, bahwa hidup Orang Kulit Hitam itu berarti ! Tuhan berfirman :
“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seseorang laki-laki dan seorang perempuan serta menjadikan kamu berbangsa-bangsa juga bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal” (QS Al-Hujurat [49] : 13). Penggalan pertama ayat di atas sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan adalah pengantar untuk menegaskan bahwa semua manusia derajat kemanusiaanya sama di sisi Allah. Pengantar tersebut mengantar pada kesimpulan yang disebut oleh penggalan terakhir ayat ini yakni “Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah yang paling bertakwa”.
Karena itu, berusahalah untuk meningkatkan ketakwaan agar menjadi yang termulia di sisi Allah (Shihab, 2012). Dalam konteks ini, sewaktu haji wada’ (perpisahan), Nabi Muhammad (570 – 632 M) berpesan antara lain : “Wahai seluruh manusia, sesungguhnya Tuhan kamu Esa, ayah kamu satu, tiada kelebihan orang Arab atas non-Arab,tidak juga non-Arab atas orang Arab, atau orang (berkulit) hitam atas yang (berkulit) merah (yakni putih) tidak juga sebaliknya kecuali dengan takwa, sesungguhnya semulia-mulia kamu di sisi Allah adalah yang paling takwa” (HR Al-Baihaqi melaluiJabir Ibn ‘Abdillah).
Menurut Shariati (1978), ritual-ritual haji adalah memperingati Hajar. Perkataan Hijrah bersumber dari perkataan hajar; demikian pula halnya dengan Mahajir (orang yang ikut melakukan Hijrah). Nabi Muhammad berkata : “ Mahajir yang ideal adalah yang berbuat seperti Hajar”. Hijrah adalah sebuah perbuatan seperti yang pernah dilakukan Hajar. Selanjutnya perkataan Hijrah dapat pula berarti peralihan dari hidup biadab menjadi hidup beradab dan dari kekafiran menjadi Islam.
Di dalam bahasa ibunya sendiri namanya (Hajar) berarti “kota”. Jadi nama sahaya Ethiopia yang berkulit hitam ini melambangkan peradaban. Selanjutnya setiap hijrah yang pernah dilakukannnya adalah sebuah gerakan menuju peradaban !
Keyakinan Hajar tentang kebesaran dan ke-Mahakuasaan Allah sedemikian kukuh. Dan itu terbukti jauh sebelum pencarian air minum itu terjadi. Ketika ia dan bayinya Isma’il ditinggalkan oleh suami tercinta Ibrahim, di padang tandus yang tak berpohon, ia bertanya : “ Apakah Allah yang memerintahkanmu meninggalkan kami berdua di sini ?”. “Benar”, jawab Ibrahim. Dengan hati tenang dan pikiran yang jernih, ia menerima putusan itu dan berserah diri sepenuhnya kepada Allah Swt. Namun, penyerahan diri dan keyakinannya yang penuh itu, tidak menjadikannya berpangku tangan menunggu turunnya hujan dari langit, tetapi ia berusaha dan berusaha mondar-mandir berkali-kali antara Bukit Shafa dan Marwah, demi mencari kehidupan.
Hajar memulai usahanya dari Bukit Shafa yang arti harfiahnya adalah “kesucian” dan “ketegaran”. Ini merupakan lambang bahwa untuk mencapai hidup, seseorang harus berusaha, dan usahanya harus dimulai dengan kesucian dan ketegaran, dan harus diakhiri di Marwah yang berarti : “ kepuasan, penghargaan, dan murah hati” (Shihab, 1998).
Jika ritual thawaf menggambarkan larut dan meleburnya manusia dalam hadirat Ilahi, atau dalam istilah kaum sufi al-fana fillah, maka sa’i menggambarkan usaha manusia mencari hidup, yang dilakukan begitu selesai thawaf, agar melambangkan bahwa kehidupan dunia dan akhirat merupakan satu kesatuan dan keterpaduan. Dengan thawaf, disadarilah tujuan hidup manusia. Setelah kesadaran itu, sa’i dilakukan, yang intinya menggambarkan bahwa tugas manusia adalah berusaha semaksimal mungkin. Hasil sudah pasti akan diperoleh, baik melalui usahanya maupun melalui anugerah Tuhan, seperti yang dialami oleh Hajar bersama puteranya, Isma’il, pertolongan Allah datang pada waktu injury time (waktu terakhir ketika sudah hampir putus asa) dengan menemukan air Zamzam.
Akhirnya, “Siapa yang bertakwa kepada Allah, Dia akan memberinya jalan keluar (bagi kesulitannya) dan menganugerahkan kepadanya rezeki dari sumber yang tidak diduganya. Dan siapa yang berserah diri kepada Allah, (setelah sepenuhnya), niscaya Allah akan mencukupkan (keperluannya)”(QS Al-Thalaq [65] : 2-3). Semoga 10 Dzulhijjah ini menjadi Hijrah kita bersama.
Artikel Sebelumnya
Duo Krisis dan Perilaku Otak Hewan atau Otak Manusia (1)
Duo Krisis dan Perilaku Otak Hewan atau Otak Manusia (2)
Wildan, Dokter Jiwa RS PKU Muhammadiyah Bantul
Nurcholid Umam Kurniawan, Dokter Anak, Direktur Pelayanan Medis RS PKU Muhammadiyah Bantul, dan Dosen FK-UAD