Prof. Dr. H. Dadang Kahmad, M.Si
Ummatan wahidah, dengan demikian, tepat ditafsirkan sebagai sebuah komunitas agamis yang bersifat khas. Karenanya, himpunan manusia seperti itu niscaya berbeda dengan kesatuan-kesatuan manusia lainnya. Konsekuensi teoritis dari konsep ummatan wahidah ini adalah bahwa segala perbedaan diantara sub-sub kelompok di dalamnya, harus dilebur serta ditransendensikan dalam ikatan religius.
Dalam perspektif sosiologi dan antropologi, karakteristik kesatuan tersebut hanya mungkin terjadi karena bekerjanya sacred symbols (simbol-simbol suci) yang mengikat mereka bersama. Mekanisme empiris symbol suci atau nilai suci dalam dunia nyata ini terejawantahkan pada kemunculan sintesa antara etos (ethos) dan pandangan hidup (world view) yang spesifik di kalangan pemeluk agama bersangkutan.
Demikian juga konsep masyarakat yang diturunkan dari nilai dan ajaran agama akan memiliki muatan dan daya dorong kuat terhadap pemeluk agama bersangkutan. Sebab struktur kesatuan masyarakat tersebut niscaya mengandung daya komando yang besar (the power to command), dan karena itu pula juga berdaya panggil massif terhadap kekuatan massa bagi proses mobilisasi.
Dalam spektrum masyarakat Indonesia, karakteristik substansial di atas menjadi lebih signifikan secara politik, semata-mata karena pengikut atau penganut ajaran ini merupakan mayoritas penduduknya.Di mana pun juga, agregasi penduduk dalam jumlah besar senantiasa memberi peluang strategis untuk merealisasikan dalam tatanan sosial. Godaan ini akan semakin besar karena kemampuan kaum Muslimin mengorganisasikan diri telah teruji dalam sejarah.
Di Indonesia, telah banyak eksperimen untuk merealisasikan pesan-pesan Al-Qur’an tentang konsep masyarakat. Tokoh seperti KH Ahmad Dahlan misalnya, melandasi pembentukan organisasi Muhammadiyah dari nilai dan ajaran dalam Al-Qur’an. Salah satu ayat yang kerap dikutip oleh warga Muhammadiyah juga berpesan tentang pentingnya pembentukan sebuah komunitas “Masyarakat Utama”.
Karena itu, adalah absah untuk mengatakan bahwa agama memainkan peran signifikan dalam membentuk masyarakat agamis. Apa yang perlu ditekankan di sini adalah bahwa organisasi tersebut, sampai pada taraf tertentu, memiliki perbedaan corak dan watak komunitas masyarakatnya.
Muhammadiyah berperan sebagai penyebar gagasan negara modern Indonesia di kalangan kaum terdidik, antara lain, melalui pembiasaan membuat laporan-laporan dan publikasi organisasi. Dengan mendeskripsikan corak komunitas Muhammadiyah di tengah pluralitas masyarakat Indonesia, keduanya merupakan varian upaya mewujudkan konsep masyarakat utama sebagaimana termaktub dalam Al-Qur’an.
Muhammadiyah dapat memainkan peranan besar dan berperan sebagai pengelola umat yang riil, sebagai alternatif dari fungsi-fungsi yang harus dijalankan oleh negara. Dalam situasi di mana negara tak lagi mampu berartikulasi dengan maksimal, sementara kontrol sosial yang bersumber dari khasanah adat dan nilai lama tak lagi mempunyai daya, Muhammadiyah sebagai kekuatan sipil bisa berperan sebagai kekuatan civil society yang signifikan.
Dalam konteks ini, Muhammadiyah bisa bertindak sebagai wakil kekuatan-kekuatan non negara yang otoritatif, baik dalam berhadapan dengan negara, maupun dengan masyarakat sendiri. Di satu pihak, sebagaimana telah disinggung di atas, suara-suara ormas keagamaan seperti Muhammadiyah dianggap mempunyai otoritas moral dan intelektual dibandingkan dengan hampir semua kekuatan-kekuatan politik resmi di Indonesia.
Situasi ini memberi angin segar bagi terealisasinya semangat masyarakat utama yakni terbentuknya masyarakat yang beradab bermoral berdasarkan nilai agama. Oleh karenanya, tak berlebihan bila harapan untuk mewujudkan nilai-nilai masyarakat utama terletak pada komunitas-komunitas yang berdasarkan agama, seperti Muhammadiyah. (im)
Sumber: Majalah SM Edisi 1 Tahun 2020