“Membahas Muhammadiyah dan politik itu bisa sederhana, ribet, atau kompleks. Seperti nama diskusi ini, kopi pahit. Pada dasarnya, kopi itu pahit. Kenapa diberi nama kopi pahit? Karena pada umumnya orang sering mengasih gula.”
YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah – Berbicara Muhammadiyah dan politik, apalagi tentang paradigma politik Muhammadiyah, setidaknya ada empat faktor yang saling terkait antara satu dengan yang lain. Di mana dari keempatnya tidak mudah untuk disimpulkan secara sederhana. Tidak hanya dari kerangka teoritik tentang pola pikir tertentu, namun paradigma itu juga terkait dengan realitas politik yang dihadapi oleh Muhammadiyah. Oleh sebab itu Muhammadiyah menyikapi politik itu dalam relasi yang kait-mengait.
Haedar Nashir, Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah menyebutkan keempat faktor tersebut. Pertama, faktor nilai dan alam pikiran Muhammadiyah. Menyakut hal ini, Muhammadiyah berada dalam posisi beruntung. Muhammadiyah telah membakukan seluruh pemikirannya atas respon situasi yang berkembang lewat apa yang disebut dengan pemikiran resmi Muhammadiyah.
“Coba kita baca khittah Denpasar 2002. Kalau saya simpulkan, itu merupakan kumpulan dari beberapa khittah sebelumnya, dan kemudian menjadi khittah baru yang komprehensif tentang bagaimana pandangan Muhammadiyah tentang politik. Bahwa politik adalah urusan dunyawiyah, maka bagi Muhammadiyah, politik tidak dapat dilepaskan dengan Islam,” jelas Haedar.
Haedar memambahkan, Muhammadiyah telah berijtihad bahwa politik Muhammadiyah tidak sama dan sebangun dengan apa yang telah direpresentasikan oleh partai politik, yang berorientasi pada kekuasaan. Sementara itu, politik yang diusung oleh Muhammadiyah adalah politik moral yang mencerminkan kenegarawanan. Di situlah posisi Muhammadiyah. Masalah politik di Muhammadiyah sudah selesai.
Dari segi nilai dan alam pikiran Muhammadiyah, aliran politik Muhammadiyah adalah modernis, moderat, serta mempertegas dirinya hanya akan masuk ke dalam ranah politik kebangsaan, dengan peran-peran yang dapat dilakukannya. Tanpa harus masuk ke ranah politik praktis yang merupakan medan bagi partai politik.
Kedua, faktor struktur dan sistem. Sejak awal Muhammadiyah sudah membonsai serta mengunci dirinya, bahwa dirinya merupakan organisasi dakwah dan kemasyarakatan. Dalam perjalanan panjangnya, Muhammadiyah banyak mengalami cobaan. Pada tahun 1918, dalam Sidang Tahunan (Kongres), terdapat usulan dari Agus Salim agar Muhammadiyah menjadi partai politik.
Ketika di tengah-tengah sidang, KH. Ahmad Dahlan dengan sedikit otoriter mengetuk palu dan bertanya, “Apa itu Muhammadiyah dan apa itu Islam?”. Hal ini menunjukkan isyarat bahwa KH. Ahmad Dahlan menolak usulan Agus Salim dengan bahasa dan cara yang elegan. Setelah menjelaskan tentang Muhammadiyah dan Islam, KH. Ahmad Dahlan langsung menutup kongres tersebut. “Dalam tradisi Kiai, hal semacam ini merupakan sebuah penolakan yang sangat tegas dan kejam. Ini merupakan isyarat bahwa pada generasi pertama saja, Muhammadiyah telah menguci dirinya,” ungkap Haedar dalam Sharing dan Diskusi Kopi Pahit dengan tema “Paradigma Politik Muhammadiyah” (29/7).
Peritiwa semacam ini terus terjadi, pada 1956 dan 1962 pasca Masyumi dibubarkan. Buya Hamka meminta Muhammadiyah agar tetap berada di dalam demi Masyumi. Namun kenyataannya, terjadi problem di internal Muhammadiyah. Di mana ketika Muhammadiyah diurus dengan cara politik, amal usahanya terbengkalai. Maka lahirlah Kepribadian Muhammadiyah. “Saya ingin menyimpulkan bahwa pada peristiwa tahun 1956 dan 1962 itu mirip. Ada pergulatan dan lalu Muhammadiyah mengunci diri,” ujarnya.
Ketiga, aspek aktor. Menjadi pimpinan Muhammadiyah, berarti ia berperan sebagai aktor. Dia harus menempatkan diri sebagai pemain ormas, dakwah, dan pengabdian. Bukan sebagai aktor politik praktis. Dan faktor yang terakhir adalah proses. Dinamika politik yang penuh dengan berbagai macam kemungkinan, mengharuskan Muhammadiyah untuk terus beradaptasi, bernegosiasi, dan mengakomodasi. Dalam sejarahnya, Muhammadiyah telah menunjukkan kepiawaiannya sehingga bisa bertahan dan berkembang sampai 111 tahun.
Ridho Al Hamdi, Penulis Buku Paradigma Politik Muhammadiyah menyampaikan, maksud dari paradigma politik Muhammadiyah adalah upaya menunjukkan cara berpikir orang-orang Muhammadiyah dalam menghadapi realitas politik. Setidaknya ada tiga fase dalam paradigma ini. Pertama, fase pembentukan. Fase ini mewakili masa lalu Muhammadiyah dengan segala dinamika yang terjadi. Kedua, struktur akal politik. dan yang ketiga adalah fase nasib. Fase yang membicarakan masa depan. “Muhammadiyah di era 1912 sampai 1971 itu disebut fase fleksibel dalam politik. Walaupun secara ketokohan elit Muhammadiyah sangat keras namun mereka mampu mempertahankan jati diri Muhammadiyah yang sebenarnya,” paparnya.
Sepanjang sejarah Muhammadiyah, pada 1912 sampai 1971 merupakan fase fleksibel dan elit Muhammadiyah mampu mempertahankan. Kemudian setelah itu muncul fase kesadaran institusional Muhammadiyah. Kesadaran tentang pentingnya Muhammadiyah tidak berpolitik praktis. Maka pasca 1971, Muhammadiyah menjelaskan dirinya sebagai kekuatan moral sampai sekarang. (diko)