Manusia merupakan makhluk hidup yang paling unik, keunikanya tidak terletak pada struktur tubuhnya saja yang paling sempurna dibandingkan dengan makhluk hidup lainya, namun juga pada ego yang ingin mendapatkan sesuatu secara instan. Zat pada diri manusia tidak terlepas dari proses penciptaan, yang merupakan suatu perwujudan dari Kemaha kuasaan Allah SWT. Hubungan yang sangat erat antara Manusia dengan Tuhan sebagai Khaliq dalam diri manusia mengenai konsep ego (khudi). Hububungan ego kecil (manusia) dengan ego besar (Allah) tidaklah meluluhkan peran kehendak bebas pada diri Manusia. Kehendak bebas memegang peranan penting dalam diri manusia itu sendiri.
Terkadang manusia ketika ingin mendapatkan sesuatu yang mereka inginkan, maka ia akan tunduk dan patuh pada perintah-perintah Allah SWT, namun ketika ia telah di beri apa yang mereka mau, bahkan lebih, terkadang mereka lalai pada kewajiban nya sendiri sebagai manusia yang taat dan patuh pada sang penciptanya.
Marilah kita tengok kembali sejarah yang sangat luar biasa tentang ketakwaan Nabi Ibrahim As dengan putranya yakni Nabi Ismail As. Nabi Ibrahim merupakan Nabi yang mendapatkan gelar sebagai ‘Khalilullah’ yang artinya kekasih Allah, gelar ini di berikan karena kesabaranya dalam menantikan sang buah hati yang tak kunjung datang. Setelah sang buah hati itu lahir (Nabi Ismail As), Nabi Ibrahim mendapatkan ujian kembali dari Allah SWT. Dalam mimpinya Nabi Ibrahim As mendapatkan sebuah isyarat untuk menyembelih sang buah hati yang telah di nanti-nantikan itu yakni Nabi Ismail As, isyarat tersebut lebih dari mimpi, hal ini tertuang pada surah As saffat ayat 102.
Dalam ayat tersebut di jelaskan, bahwa Nabi Ibrahim As menjelaskan kepada putranya, dalam mimpi tersebut ia di perintahkan untuk menyembelih putra semata wayangnya itu. Dimana Nabi Ismail As dengan ketakwaannya kepada Allah SWT ia seketika menjawab, bahwa dirinya bersedia dan meminta sang ayah untuk melaksanakan perintah Allah sehingga masuk dalam golongan orang yang sabar. Bukan hal yang mudah bagi Nabi Ibrahim As untuk melaksanakan perintah tersebut, apalagi di tengah cemoohan orang-orang sekitar. Bahkan hal ini membuat Nabi Ibrahim As bersedih dan ingin mengurungkan niatnya, tapi Nabi Ismail As memberikan dukungan kepada sang ayah untuk segera melaksanakan perintah tersebut.
Dari kisah di atas kita bisa merefleksikan kembali bahwa terkadang orang sering lupa antara simbol dan substansi terkait qurban. Banyak orang yang sering berqurban secara formal setiap tahunya, akan tetapi substansi dari ibadah qurban itu sendiri sering di kesampingkan oleh orang-orang Muslim sekarang, sebagaimana yang telah di cerminkan oleh Nabi Ibrahim As terkait bentuk ketakwaan dan ketaatan kepada Allah SWT.
Qurban yang sebenarnya adalah niat yang ikhlas dan bentuk ketakwaan kepada Allah SWT bukan karena Qurban yang ingin mendapatkan sesuatu atau bahkan ingin mendapatkan pujian oleh orang-orang sekitar, sehingga berqurban bukan hanya sekedar menyembelih kambing, sapi dan sejenisnya, tetapi kita juga harus berani mengurbankan ego, kepentingan, harta benda dan juga perhatian kita kepada orang lain.
Mukhamad Fadhir, Ketua Umum Komisariat IMM BPP UAD 2019-2020