Kesantunan Berbahasa dalam Islam

Kesantunan Berbahasa dalam Islam

Adab Berbicara Ilustrasi Dok Haftha

Oleh: Mohammad Fakhrudin dan Nidaan Hasana

Di kalangan akademisi linguistik, istilah kesantunan berbahasa (politeness) mulai dikenal sejak hadirnya kajian pragmatik. Kesantunan berbahasa menjadi bagian dari objek kajian pragmatik. Pragmatik mulai berkembang di Eropa tahun 1940-an dengan tokohnya Charles Morris, sedangkan di Amerika berkembang tahun 1970-an dengan tokohnya Austin. Di Indonesia pragmatik baru dikenal sekitar tahun 1980-an.

Sementara itu, di kalangan umat Islam kesantunan berbahasa sudah diajarkan sejak Islam ditetapkan oleh Allah sebagai agama yang menyempurnakan agama sebelumnya, 14 abad yang silam. Dengan demikian, umat Islam di seluruh dunia telah lama mengamalkannya. Tentu, ada dinamika dalam pengamalannya.

Eforia Reformasi di Indonesia

Reformasi di Indonesia secara resmi terjadi 21 Mei 1998, yakni sejak pergantian presiden dari Suharto ke Habibi. Sejak era reformasi, terjadi “eforia” dalam berbagai aspek kehidupan. Satu di antaranya terjadi pada aspek penggunaan bahasa untuk komunikasi, baik lisan maupun tulis. Lebih-lebih lagi, pada era digital sekarang ini: kesantunan berbahasa sepertinya hanya berlaku pada kalangan tertentu dan pada saat tertentu yang makin terbatas.

Sejak era reformasi, berbicara tidak santun atau kasar (dan kadang-kadang juga kotor) tidak hanya dilakukan oleh orang awam yang berpendidikan rendah, tetapi juga tokoh masyarakat Indonesia. Misalnya, dalam hubungannya dengan fungsi DPA, Gus Dur, ketika menjadi presiden, berpendapat bahwa semasa Habibi, DPA merupakan lembaga yang hanya dapat cuap-cuap.

Pendapat itu ditanggapi oleh orang berstatus social jauh lebih rendah dan berusia jauh lebih muda dengan tuturan, “Gus Dur justru lebih terampil dalam urusan cuap-cuap.” (Republika 28 Februari 2000). Cuap-cuap bermakna ‘banyak bertutur.’ Kata cuap-cuap bernilai rasa kasar; tidak santun. Biasanya kata itu digunakan oleh penutur yang berstatus sosial dan berpendidikan rendah dan ditujukan kepada petutur yang berstatus sederajat pada situasi yang diwarnai emosi (marah/akrab).

Gus Dur pernah menggagas penghapusan Tap MPRS Nomor XXV/1966 tentang Larangan Ajaran Komunisme/Marxisme. Berkenaan dengan gagasan itu, ada orang yang berstatus sosial tinggi (tetapi di bawah presiden) dan berpendidikan tinggi menanggapi dengan kalimat “Itu alasan yang keblinger. Tampaknya Gus Dur keliru memahami masalah UUD ‘45.” (Republika, 29 April 2000). Kata keblinger dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia  dijelaskan maknanya ‘sesat, keliru.’ Dari nilai rasanya, kata keblinger bernilai rasa kasar, tidak santun. Apalagi, kata kebilnger digunakan oleh orang yang berstatus sosial lebih rendah kepada orang yang berstatus sosial lebih tinggi.

Beberapa tahun yang lalu ada gubernur yang sering memaki-maki dan mengumpat. Tentu dia menggunakan kata makian yang ditandai dengan nilai rasa kasar.

Menjelang pilkada Gubernur dan Wakil Gubernur DKI dan menjelang pilpres 2019 pelanggaran kesantunan berbahasa makin terasa. Ungkapan kasar bermunculan terutama di medsos. Cukup banyak di antara pengguna medsos yang saling mengejek. Karena mengejek, mereka tentu menggunakan kata-kata yang tidak sopan.

Masih ada lagi contoh kasus pelanggaran kesantunan bahasa, yakni penggunaan kata goblok oleh tokoh ormas Islam untuk menyebut orang berjanggut panjang. Kata goblok bernilai rasa kasar.

Ada lagi pelanggaran kesantunan berbahasa yang juga tidak kalah memprihatinkannya, yakni penggunaan kata-kata jorok atau membe­rikan ilustrasi de­ngan kata-kata yang berbau porno oleh “kiai” ketika memberikan tausiyah. Kita pun dengan mudah dapat menemukannya di med­sos.

Orang Paling Santun Berbahasa

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang mulia paling santun berbahasa. Beliau sangat santun kepada siapa pun dalam keadaan bagaimana pun. Ketika ‘Aisyah menjawab “doa” kecelakaan bagi Nabi Muhammad  shallallahu ‘alaihi wa sallam yang diucapkan oleh beberapa orang Yahudi, beliau meminta agar ‘Aisyah membiasakan bertutur lemah lembut. Hal itu dijelaskan dalam hadis berikut.

“Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Salam, telah memberi kabar kepada kami Abdul Wahab, dari Ayub, dari Abdillah bin Abi Mulaikah, dari ‘Aisyah raḍiyallahu ‘anha‘ bahwa sesung­guhnya orang-orang Yahudi datang kepada Nabi lalu mengucapkan ka­limat “Assamu ‘alaikum” (matilah kamu atau kecelakaan atasmu), maka lalu ‘Aisyah balik mengucapkan ke­pada mereka kalimat “Matilah dan celakalah kamu, lagi Allah melaknat kamu dan Allah murka kepadamu wahai orang-orang Yahudi! Nabi bersabda, “Sabarlah, ‘Aisyah. Biasa­kan lemah lembut dan tinggalkanlah kekerasan dan kekasaran!” ‘Aisyah berkata, “Apakah engkau tidak men­de­ngar apa yang mereka katakan?” Kemudian, beliau (Nabi) bertanya, “Apakah kamu tidak mendengar apa yang aku katakan kepadamu? Aku kembalikan kepada mereka. Lalu, dikabulkan doaku atas mereka, dan tidak dikabulkan doa mereka untuk diriku.”

Dari hadis itu, kita memperoleh pelajaran bahwa kepada orang yang berbuat jahat pun kita harus tetap bersikap lemah-lembut. Kalaupun membalas perlakuan buruk dan ucapan buruk, tidak boleh melebihi dari apa yang kita terima.

Hadis itu pula kiranya yang dijadikan oleh ulama masyhur, Al Hasan Al Bashri, sebagai rujukan bahwa umat Islam harus santun. Bahkan, menurut beliau, orang Islam yang baik ditandai dengan, di antaranya, tidak menghina; tidak mengejek; kalau ditegur, ia menyesal; kalau bersalah, ia istigfar, dan  bila dimaki, ia tersenyum sambil berkata, “Jika makian Anda benar, aku bermohon semoga Tuhan mengampuniku; dan Jika makian Anda keliru, aku bermohon semoga Tuhan mengampunimu.”

Dalam hadis lain, dijelaskan pula kesantunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kepada pembantu rumah tangga atau budak pun, beliau sangat santun.

“Allah, Allah,  (ingatlah) mengenai apa yang dimiliki tangan kananmu. Berilah punggung mereka pakaian, kenyangkanlah perut mereka, dan le­mah-lembutkanlah ucapanmu terhadap mereka.”

Ibnu Hamzah al Husaini al Hanafi ad Damsyiqi, dalam kitab Asbabul Wurud (terjemahan Suwarto Wijaya dan Zafrullah Salim) menjelaskan bahwa hadis tersebut diriwayatkan oleh Ibnu Sa’ad dalam Thabaqat-nya, at-Thabrani dalam al-Jaami’ul kabir, dan Ibnu Sunny dan Ka’ab bin Malik raḍiyallahu ‘anhu. Dijelaskannya pula bahwa asbabul wurud hadis tersebut adalah Ka’ab bin Malik menceritakan bahwa pernah ada janji antara dia dan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam sebelum wafat. Pesan itu (janji) itu diucapkan beliau selama lima malam dan Ka’ab bin Malik mendengarnya. Beliau mulai dengan ucapan Allah, Allah dan seterusnya sesuai dengan hadis tersebut.

Selanjutnya, Suwarto Wijaya dan Zafrullah Salim menjelaskan bahwa yang dimaksud milkul yamin dalam hadis itu adalah pembantu rumah tangga atau budak. Ucapan Allah, Allah berarti perintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Ka’ab bin Malik agar bertakwa kepada Allah dalam mengendalikan pembantu rumah tangga atau budak yang ada dalam kekuasaannya. Perintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam selanjutnya adalah agar Ka’ab bin Malik mencukupi pakaian dan makanan gizi mereka; bergaul dengan mereka berlandaskan akhlak mulia yang di antaranya adalah berbicara dengan lemah lembut dan sikap baik.

Kesantunan berbahasa yang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sungguh sangat sempurna keluhurannya. Pembantu rumah tangga pun harus diperlakukan dengan santun. Berkenaan dengan itu, umat Islam harus menjadikannya sebagai rujukan akhlak berkomunikasi, baik ketika berkomunikasi bersemuka maupun berkomunikasi takbersemuka.  Berbeda halnya kesantunan berbahasa menurut kaidah pragmatik. Menuurut kaidah pragmatik,  orang yang berstatus sosial rendahlah yang harus santun berbahasa kepada orang yang berstatus tinggi.

Umat Islam harus mencontoh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam pengamalan kesantunan berbahasa. Bukankah apa yang dikatakan dan dilakukan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersandarkan wahyu sebagaimana firman Allah dalam surat an-Najm (53) :3-4?

“ … dan tiadalah yang diucapkanya itu (Alquran) menurut hawa nafsunya. Ucapannya tiada lain hanya wahyu yang diwahyukan (kepadanya).”

Dalam hubungannya dengan kesantunan berbahasa di dalam Alquran, mari kita perhatikan firman Allah Subhaanahu wa Ta’ala dalam Alquran, misalnya, pada Surat al-Baqarah (2): 83; Ali ’Imran (3): 159; Ibrahim (14): 24-26; an-Nahl (16): 125;al-Isra (17): 23; Thaha (20): 43-44; al-Hajj (22): 24, dan al-Ahzab (33): 70. Kita perhatikan pula sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada hadis yang lain. Tidak ada satu pun ayat dan tidak ada satu pun hadis yang memboleh­kan umat Islam berbicara kasar dan kotor.

Dalam kehidupan nyata cukup banyak di antara umat Islam yang memperlakukan pembantu rumah tangga dengan kasar. Jika melakukan kesalahan, pembantu dimaki-maki. Di samping itu, ada di antara umat Islam yang berstatus sosial dan berpendidikan tinggi tanpa merasa bersalah sedikit pun, mereka sengaja melanggar kesantunan berbahasa yang dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kondisi yang demikian terasa sekali terutama di dunia politik.

Jauh lebih Sempurna

Mari kita pahami dengan sebaik-baiknya bahwa kesantunan berbahasa menurut Alquran dan hadis jelas jauh lebih sempurna dibandingkan dengan kesantunan berbahasa menurut kaidah pragmatik. Kesantunan berbahasa dalam Islam berlaku bagi semua pengguna bahasa. Orang yang berstatus sosial tinggi pun harus santun berbahasa kepada orang yang berstatus sosial rendah. Pemimpin santun berbahasa kepada orang yang dipimpin. Meskipun diperlakukan buruk, baik dengan perbuatan maupun ucapan, umat Islam harus tetap santun! Membalas perlakukan buruk, tidak boleh lebih buruk. Berbeda halnya kesantunan berbahasa menurut kaidah pragmatik; orang yang berstatus sosial rendahlah yang harus santun berbahasa kepada orang yang berstatus tinggi.

Sementara itu, dalam hadis berikut kita ketahui bahwa orang yang terhalang kelemahlembutannya, dia terhalang kebaikannya. Demi­kianlah dijelaskan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa sudah terhalang kelemahlembutannya, ber­arti dia sudah terhalang kebaikannya, atau barangsiapa lagi terhalang kele­mahlembutannya, berarti dia lagi terhalang kebaikannya.” (HR Muslim)

 Mungkin­kah kita diberi rahmat oleh Allah Subhaanahu wa Ta’ala sehingga dapat bersikap se­perti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam? Sama benar dengan beliau, tidak mungkin. Namun, se­lama kita mau berikhtiar dan berdoa, rahmat Allah Subhaanahu wa Ta’ala itu pun dapat kita peroleh. Pertanyaan yang timbul adalah bagaimana ikhtiar kita? Ba­nyak yang dapat kita lakukan. Di antaranya ada­lah (1) bergaul dengan orang saleh, (2) mengaji dengan tadarus dan tadabbur, dan (3) mengamalkan hasil yang kita peroleh melalui kedua jalan itu.

Pergaulan sangat berpengaruh ter­hadap sikap kita. Jika kita bergaul dengan orang saleh, insya Allah ke­salehannya berpengaruh kepada kita. Orang saleh bertutur sesuai dengan akhlak yang dituntunkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebaliknya, jika kita bergaul dengan orang yang akhlak bicaranya tidak sesuai dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, kita pun dapat terpe­nga­ruh. Aktif me­ngaji secara cerdas mengondisikan kita dapat mema­hami secara utuh dan benar kesantunan berbahasa yang di­tuntunkan Allah Subhaanu wa Ta’ala dalam Alquran dan keteladan­an Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Pertanyaan yang mendasar adalah mengapa ada umat Islam yang berbi­cara kasar dan kotor? Jawaban­nya terpulang pada kualitas iman dan takwa mereka masing-masing. Lalu, bagai­mainakah kesantunan berbahasa kita? Mari mawas diri!

Mohammad Fakhrudin, Dosen Universitas Muhammadiyah Purworejo

Nidaan Hasana, Pengasuh Pondok Pesantren Muhammadiyah Tempuran Kabupaten Magelang

Exit mobile version