Air Siraman Najis
Pertanyaan:
Assalamu ‘alaikum wr.wb.
Ustadz saya mau bertanya tentang beberapa hal mengenai air ghusalah dan najis (menurut madzhab Syafi‘i dan madzhab lainnya), yaitu:
- Jika saya bersuci dari buang air kecil, ketika dalam siraman pertama untuk mencuci kemaluan, apakah air cipratannya itu najis jika mengenai celana atau badan?
- Jika celana terkena cipratan basuhan kencing di siraman pertama kemudian kering kembali karena panas atau udara, apakah sudah suci jika tidak ada bau, rasa, dan warna?
- Menurut Imam ash-Shan‘ani dalam kitab Subulussalam, air yang digunakan untuk mensucikan najis serta najis terlarut dalam air, maka cipratannya adalah suci, benarkah demikian?
- Kondisi air yang dialirkan ke najis (air kencing), jika kencing terbawa atau terlarut dalam air, apakah air tersebut ikut menjadi najis?
Demikian yang perlu saya tanyakan karena hal tersebut membuat saya was-was ketika bersuci di kamar mandi. Jazakumullahu khairan atas jawabannya.
Was-salamu ‘alaikum wr.wb.
Wachid Hasyim (disidangkan pada Jumat, 15 Rajab 1440 H / 22 Maret 2019 M)
Jawaban:
Wa ‘alaikumus-salam wr.wb.
Terima kasih atas pertanyaan saudara. Pengertian najis (النجسة) menurut Syekh Abdullah Thayar dalam kitab Fiqhu Muyassar secara bahasa adalah (القذارة) yang artinya kotoran, sedangkan makna secara istilah adalah sesuatu yang dianggap kotor yang menghalangi sahnya shalat ketika tidak ada rukhshah. Maksudnya ketika seseorang mendapatkan rukhshah, maka ia tetap sah shalatnya walaupun terkena najis.
Muhammadiyah menegasakan bahwa menjaga kebersihan dan kesucian adalah asas utama dan hal penting, terutama dalam pelaksanaan ibadah. Sebagaimana yang tercantum dalam Himpunan Putusan Tarjih jilid 3 halaman 526, bahwa apabila seseorang akan mengerjakan shalat hendaknya ia memastikan bahwa badan, pakaian, dan tempat shalatnya suci dari najis hissiah (tampak).
Sebelum menjawab pertanyaan saudara, kami akan menjelaskan tentang air ghusalah. Air ghusalah dibagi menjadi dua macam yaitu ghusalah najis haqiqi dan ghusalah najis hukmi. Air ghusalah najis haqiqi adalah air basuhan najis yang berubah keadaannya apabila berpisah dari tempat basuhan yaitu berubah rasa, warna, atau baunya, sedangkan ghusalah najis hukmi adalah air musta’mal atau air yang digunakan untuk mengangkat hadas ataupun dengan sebab niat untuk beribadah seperti shalat, dan ibadah lainnya.
Mengenai air ini terdapat hadis Rasulullah,
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمَاءُ لَا يُنَجِّسُهُ شَيْءٌ [رواه احمد].
Dari Ibnu ‘Abbas (diriwayatkan) ia berkata; Rasulullah saw bersabda, air tidak dapat dinajiskan oleh sesuatu pun [HR. Ahmad hadis no. 1996].
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ كُنْتُ أَغْتَسِلُ أَنَا وَالنَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ إِنَاءٍ وَاحِدٍ مِنْ قَدَحٍ يُقَالُ لَهُ الْفَرَقُ [رواه البخاري].
Dari ‘Urwah dari Aisyah (diriwayatkan) ia berkata, aku pernah mandi bersama Nabi saw dari satu ember terbuat dari tembikar yang disebut al-Faraq [HR. al-Bukhari hadis no. 242].
عَنْ ابْنِ عُمَرَ قَالَ كَانَ الرِّجَالُ وَالنِّسَاءُ يَتَوَضَّئُونَ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ إِنَاءٍ وَاحِدٍ [رواه ابن ماجه].
Dari Ibnu Umar (diriwayatkan) ia berkata, pada masa Rasulullah saw kaum lelaki dan wanita berwudlu dari satu bejana [HR. Ibnu Majah hadis no. 375].
Berdasarkan hadis di atas, dapat dipahami bahwa air yang telah digunakan untuk bersuci, masih bisa digunakan untuk bersuci kembali.
Berikut adalah jawaban dari pertanyaan,
- Menurut kitab Subulussalam yang ditulis oleh Imam ash-Shan‘ani terdapat penjelasan dalam memahami hadis di atas, salah satu pendapatnya adalah dari Abu Hanifah yang berpendapat bahwa air yang mengenai najis itu tetap suci. Begitu pula air yang dialirkan untuk menyiram najis juga dihukumi suci, sehingga apabila terciprat tidak dihukumi najis. Sehingga cipratan air siraman pertama yang mengenai celana atau badan itu tidak najis.
- Bagi pakaian yang terkena cipratan air siraman maka tidak lagi dihukumi najis, karena air siraman tersebut suci dan tidak menimbulkan najis. Hal ini sejalan pula dengan hadis Rasulullah,
عَنْ ابْنِ شِهَابٍ حَدَّثَنِي حَمْزَةُ بْنُ عَبْدِ اللهِ بْنِ عُمَرَ قَالَ قَالَ ابْنُ عُمَرَكُنْتُ أَبِيتُ فِي الْمَسْجِدِ فِي عَهْدِ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَكُنْتُ فَتًى شَابًّا عَزَبًا وَكَانَتْ الْكِلَابُ تَبُولُ وَتُقْبِلُ وَتُدْبِرُ فِي الْمَسْجِدِ فَلَمْ يَكُونُوا يَرُشُّونَ شَيْئًا مِنْ ذَلِكَ [رواه ابو داود].
Dari Ibnu Syihab (diriwayatkan) telah menceritakan kepadaku Hamzah bin Abdullah bin Umar dia berkata, Ibnu Umar berkata, saya pernah bermalam di masjid pada masa Rasulullah saw, ketika itu saya masih muda belia dan bujangan. Sementara anjing-anjing kencing mondar mandir dalam masjid. Dan mereka (para sahabat) tidak ada yang memercikkan air sedikit pun terhadapnya [HR. Abu Daud hadis no 325].
Dalam kitab ‘Aunul Ma‘bud Syarah Abu Dawud karangan Abu ath-Thayyib Muhammad Syams al-Haqq, hadis ini menunjukkan dalil bahwa sekalipun tanah terkena najis, tapi kemudian kering karena terik matahari atau tiupan angin lalu bekas najisnya sudah hilang, maka tanah itu menjadi suci.
- Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya, menurut kitab Subulussalam yang ditulis oleh Imam ash-Shan‘ani terdapat penjelasan dalam memahami hadis ini, salah satu pendapatnya adalah dari Abu Hanifah yang berpendapat bahwa air yang mengenai najis itu tetap suci. Begitu pula air yang dialirkan untuk menyiram najis juga dihukumi suci, apabila tidak berubah warna, rasa, dan baunya, sebagaimana disebutkan dalam hadis riwayat Ibnu Majah,
عَنْ أَبِي أُمَامَةَ الْبَاهِلِيِّ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ الْمَاءَ لَا يُنَجِّسُهُ شَيْءٌ إِلَّا مَا غَلَبَ عَلَى رِيحِهِ وَطَعْمِهِ وَلَوْنِهِ [رواه ابن ماحه].
Dari Abu Umamah al-Bahili (diriwayatkan) ia berkata, Rasulullah saw bersabda, sesungguhnya air tidak bisa menjadi najis karena sesuatu kecuali bila merubah bau, rasa dan warnanya [HR. Ibnu Majah hadis no. 514].
Dikatakan dalam al-Majmu‘ al-Fatawa karya Ibnu Taimiyah, bahwa Ibnu Mundzir mengatakan para ulama bersepakat bahwa air yang sedikit atau banyak jika bercampur dengan najis kemudian berubah rasa, warna, atau baunya, maka air itu najis. Imam an-Nawawi mengomentari hadis ini daif, ia melanjutkan Imam asy-Syafi’i menukil kedaifannya dari ulama yang ahli dalam bidang hadis.
- Mengacu pada pendapat Abu Hanifah dalam kitab Subulussalam bahwa najis yang dialiri air maka air siramannya tetap dihukumi suci, sebagaimana yang telah dijelaskan pada butir tiga di atas. Adapun penjelasan hal ini telah dijelaskan pada butir pertama.
Dalam hal ini, untuk kehati-hatian, apabila pakaian terkena cipratan air siraman najis tersebut, maka lebih baik dicuci atau diganti ketika akan digunakan untuk melaksanakan ibadah, karena cipratan air siraman najis ini tidak dapat diprediksi secara pasti kenajisannya.
Wallahu a‘lamu bish-shawaab
Rubrik Tanya Jawab Agama Diasuh Divisi Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid
Pimpinan Pusat Muhammadiyah
Sumber: Majalah SM No 24 Tahun 2019