YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah-Ada dua peristiwa yang membuat kita kembali mempertanyakan Pancasila: (1) pro-kontra Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila, dan (2) Pancasila di masa pandemi Covid-19. Pembahasan RUU HIP yang gaduh di tataran elite seolah menunjukkan bahwa bangsa ini kekurangan payung hukum untuk mengaktualisasikan Pancasila. Di saat yang bersamaan, pandemi Covid-19 menunjukkan bahwa ternyata kita belum mengaktualisasikan Pancasila yang bermuara pada jiwa gotong royong. Menurut Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir, kita harus berkaca pada peristiwa sejarah sebelum melakukan revitalisasi Pancasila.
RUU HIP yang menuai kontroversial, kata Haedar, berkaitan dengan persepsi terhadap substansi Pancasila. “Apakah Pancasila masih membutuhkan payung hukum konstitusional untuk diinstitusionalisasikan? Tentu perlu legitimasi hukum dalam hidup berbangsa dan bernegara,” ungkap Haedar dalam webinar “Diseminasi Program Revitalisasi dan Institusionalisasi Pendidikan Pancasila untuk Perguruan Tinggi” yang diselenggarakan PSBPS UMS. Guna menjawab pertanyaan itu, Haedar mengajak peserta berefleksi pada dua momentum besar.
Momentum Pertama, di masa Presiden Soekarno, saat itu perangkat hukum Pancasila cukup lengkap. Terdapat tujuh bahan-bahan pokok indoktrinasi, yaitu; pertama, lahirnya Pancasila, pidato Bung Karno tanggal 1 Juni 1945. Kedua, Undang-undang Dasar 1945 beserta penjelasannya. Ketiga, manifesto politik beserta perinciannya dari DPA. Keempat, pidato Presiden tanggal 17 Agustus 1960 beserta perinciannya dari DPA. Kelima, pidato Presiden di depan sidang umum PBB tanggal 30 September 1960 beserta perinciannya dari DPA. Keenam, penjelasan manipol dan usdek (Manifesto politik/Undang-Undang Dasar 1945, Sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin, dan Kepribadian Indonesia), rangkaian pidato radio Ketua Panitia Pembina Jiwa Revolusi Roeslan Abdulgani. Ketujuh, amanat pembangunan Presiden pada sidang Depenas tanggal 28 Agustus 1959 beserta ringkasan pembangunan semesta.
Dengan kelengkapan perangkat Pancasila tersebut, ungkap Haedar, ternyata juga tidak menjamin pembumian Pancasila. “Di dua pertiga masa pemerintahan Soekarno, Indonesia mengalami konflik politik yang begitu tajam, berakhir dengan tragedi G30S/PKI. Apakah saat itu, payung hukumnya tidak cukup?” Seorang Bung Hatta sampai mundur dari pemerintah saat itu tentu memiliki suatu pertimbangan atas dinamika yang tidak biasa. Peristiwa ini harus menyadarkan para pejabat negara supaya tidak mengulang tragedi ini.
Kedua, di fase Orde Baru, Presiden Soeharto bertekad ingin kembali melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Lahir penataran Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4). Pada Maret 1979, pemerintah juga membentuk Badan Pembina Pendidikan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (BP7). “Institusi ini cukup super power,” ujar Haedar. Namun apa yang terjadi? Tafsir tunggal Pancasila ternyata tidak juga membuat bangsa ini menjiwai Pancasila.
Dua penggalan sejarah ini, ungkap Haedar, lebih dari cukup untuk menunjukkan bahwa perangkat kelembagaan yang melekat pada institusi negara ternyata masih menyisakan problem. “Ketika belakangan DPR membahas kembali RUU HIP, pertanyaannya adalah, apakah pemerintah ingin mengulang kesalahan yang sama? Ketika era reformasi mulai menampakkan sisi buruk, kadang orang ingin kembali mengulang era sebelumnya,” urai Guru Besar Sosiologi ini. Gejala sosial ini dilihat oleh Haedar Nashir sebagai sesuatu yang krusial.
Haedar mengingatkan bahwa Pancasila dalam level atributif sudah sangat baik, tinggal bagaimana habituasinya secara detail. Pancasila diakui dunia internasional sebagai rumusan yang sangat ideal, maka seharusnya aktualisasinya juga harus lebih ideal dan membumi. Tidak hanya di kalangan warga bangsa, namun juga harus menjadi laku keseharian para pejabat negara. Haedar Nashir mempertanyaan relevansi Pancasila ketika para elite justru mensahkan beberapa RUU kontroversial yang tidak terlalu urgen di saat-saat darurat Covid-19 ini.
Momentum Kedua, pandemi Covid-19. Ada relevansi antara pandemi dan Pancasila. “Ada hal mendasar di sini. Di mana Pancasila, di mana gotong royong, ketika ada jenazah Covid-19 sampai ditolak? Realitas mikro seperti ini terjadi.” Di awal pandemi, beberapa jenazah Covid-19 ditolak oleh warga untuk dimakamkan di perkampungan mereka. Haedar Nashir termasuk salah satu tokoh agama yang bersuara lantang mengingatkan bahwa sikap ini tidak sesuai dengan ajaran semua agama dan semangat jiwa kemanusiaan dalam Pancasila.
“Ketika kita mau new normal, apa yang ada di pikiran pejabat negara? Apakah mereka berpikir tentang nyawa manusia yang ada di sila kedua. Apakah kita mau pragmatis demi ekonomi lalu mengorbankan nyawa? Apakah agama memberi solusi? Seberapa hadir Pancasila dalam state of mind para elite dan warga bangsa ketika menghadapi Covid-19?” tanya Haedar. Di awal rencana pemberlakuan normal baru atau adaptasi kebiasaan baru, PP Muhammadiyah mempertanyakan secara kritis rencana kebijakan tersebut.
Dalam kesempatan itu, Haedar Nashir juga menjabarkan tentang pandangan resmi Muhammadiyah tentang Pancasila. Dalam muktamar 2015 di Makassar, Muhammadiyah meluncurkan dokumen resmi: Negara Pancasila sebagai Darul Ahdi wasy Syahadah. Menurut Haedar, dokumen ini memiliki makna penting tentang penegasan sikap Muhammadiyah di tengah pergulatan wacana ketika dibukanya kran reformasi lalu dalam suasana euforia itu tumbuh berbagai ideologi baru.
Pasca-reformasi, kata Haedar, tumbuh berbagai gerakan yang menarik-narik Pancasila ke kiri ataupun ke kanan secara ekstrem. Ada yang ingin Pancasila bersyariah, khilafah, ada yang sekuler, Pancasila tanpa agama, dan seterusnya. Ada juga yang memimpikan kembali komunisme. “Bagi Muhammadiyah, semua ideologi dan paham itu bertentangan dengan Pancasila. Meskipun mereka arus kecil, tapi karena merupakan ideologi, maka punya daya militansi sendiri.”
Muhammadiyah mengunci bahwa Negara Pancasila sebagai hasil kesepakatan dan tempat kita untuk bersaksi dan menghadirkan bakti. Syahadah dimanifestasikan oleh Muhammadiyah sebagai perwujudan lima cita-cita nasional untuk: melindungi segenap bangsa Indonesia; dan seluruh tumpah darah Indonesia; memajukan kesejahteraan umum; mencerdaskan kehidupan bangsa; dan ikut melaksanakan ketertiban dunia. Oleh karena itu, ungkap Haedar, Muhammadiyah memahami Pancasila tidak hanya di tataran retorika, namun juga dalam amal nyata. (ribas)