Jadikan Kita Seperti Al-Qur’an Berjalan
Oleh: Ki H. Ashad Kusuma Djaya
Saya sangat yakin dengan keilmiahan al-Qur’an. Artinya saya yakin ajaran yang dikandung dalam al-Qur’an sejalan dengan ilmu pengetahuan. Meskipun saya juga yakin ilmu pengetahuan sekarang belum cukup memadai untuk memahami semua keilmiahan al-Qur’an. Namun setidaknya dari beberapa kajian terhadap al-Qur’an akan banyak kita temukan nilai-nilai keimiahannya. Saya pun pernah menulis tentang keilmiahan al-Qur’an dalam tulisan berseri seputar Islam bil Hikmah yang dimuat dalam majalah Mentari terbitan PDM Kota Yogyakarta.
Saya pun juga pernah menulis untuk membuktikan secara ilmiah bahwa Islam lebih layak disebut agama cinta kasih dibanding lainnya. Betapa cinta kasihnya Islam bahkan pada masa perang pun kaum muslimin tetap wajib melindungi anak-anak, orang tua, kaum lemah, bahkan pepohonan. Dalam etika terhadap musuh saat berperang pun al-Qur’an menyampaikan: “Kalau mereka cenderung kepada perdamaian, maka sambutlah kecenderungan itu, dan berserah dirilah kepada Allah.” (QS Al-Anfal [8]: 61).
Saya dulu begitu terobsesi untuk membuktikan keilmiahan al-Qur’an. Namun dalam perjalanan waktu saya menemukan kesalahan pada obsesi saya tersebut. Mempelajari al-Qur’an bukan untuk membuktikan ilmiah dan tidaknya. Pelajarilah al-Qur’an untuk diamalkan dan mendatangkan kebaikan. Kalau untuk membuktikan kebenaran al-Qur’an caranya justru dengan mempelajari tanda-tanda kebesaran Allah di alam semesta dan pada diri manusia. Coba buka al-Qur’an surah Fushshilat ayat 53 yang artinya: “Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segenap ufuk dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa al-Qur’an itu benar.”
Memang ada ayat yang menantang orang yang ingkar akan kebenaran al-Qur’an dengan kalimat: “Maka hendaklah mereka mendatangkan kalimat yang semisal al-Qur’an itu jika mereka orang-orang yang benar.” (QS. Ath-Thur [52]: 34). Tapi ayat itu justru tantangan kepada orang yang menganggap al-Qur’an itu mengada-ada. Kalau menggunakan istilah akademk sekarang pesan itu bisa diartikan: Coba buktikan hai orang yang ingkar jika ada kitab suci yang lebih ilmiah dari al-Qur’an! Tidak mungkin ada.
Namun perlu diingat seilmiah apapun kitab sucimu, tak akan membuat orang percaya agamamu cinta keadilan dan perdamaian. Sebab yang mereka pelajari bukan kitab sucimu, tapi akhlakmu! Itulah realitas yang kita temui, lepasnya pengamatan atas kitab suci antara teks, konteks, dan prakteknya. Persis adigium yang populer di kalangan umat Islam: “Umat lain maju karena meninggalkan ajaran dalam kitab suci mereka sedang umat Islam mundur karena meninggalkan ajaran dalam kitab sucinya.”
Pada kenyataannya kita tidak terlalu butuh penelitian yang menjelaskan ilmiah dan tidaknya al-Qur’an. Tapi seharusnya kita sendiri—yang meyakini kebenaran al-Qur’an itu—terpanggil untuk menjadi bukti kebenaran al-Qur’an itu. Maka mereka yang yakin pada kebenaran al-Qur’an diingatkan: “Serulah (manusia) kepada jalan Rabbmu dengan hikmah (kebijaksanaan) dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik.” (QS. an-Nahl [16]: 125)
Kita yakin dalam kajian ilmiah ada banyak kaidah-kaidah Islam yang cinta damai dan bahkan dari namanya saja islam itu menujukkan kedamaian. Namun untuk menjelaskan ke orang lain, yang demikian sangat mudah dikacaukan dengan hadirnya tukang teror mengatasnamakan Islam yang perbuatannya sesungguhnya justru bertentangan dengan ajaran Islam. Demikian pula al-Qur’an pun menjadi tidak ilmiah sedikitpun di tangan umat yang irasional dan memuja klenik.
Kebenaran al-Qur’an jangan sampai hanya ada di teks-teks ilmiah saja yang hanya akan dianggap sekedar klaim sepihak. Tapi akhlak kita dan hasil kajian tentang alam semestalah yang akan menjadi bukti nyata kebenaran al-Qur’an itu. Kita pun diberi contoh Nabi SAW untuk menjadikan diri sendiri sebagai al-Qur’an berjalan dengan akhlak yang mulia. Ketika Aisyah ra istri nabi ditanya tentang akhlak Rasulullah maka beliau menjawab, “Akhlak nabi SAW adalah al-Qur’an”. (HR. Muslim).
Penelitian kita butuhkan bukan untuk membuktikan keilmiahan al-Qur’an yang kita yakini tidak ada keraguan di dalamnya. Namun penelitian ilmiah kita lakukan untuk membutikan bahwa al-Qur’an benar-benar memberi solusi atas persoalan yang dihadapi manusia. Bukalah al-Qur’an surah Al-Anbiya ayat 107 yang dijadikan pegangan kaum muslimin sepanjang zaman yang artinya: “Dan tiadalah kami mengutus kamu (Muhammad), melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.”
Salah satu wujud dari rahmat bagi alam semesta itu ialah akhlak mulia yang diajarkan Islam. Akhlak mulia itu menjadi kunci dari rahmat bagi semesta alam. Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang baik.” (HR. Bukhari).
Terkait kajian ilmiah kita bisa belajar dari sejarah Abbas Ibn Firnas yang hidup pada tahun 810-887 M. Abbas Ibn Firnas dikenal dalam sejarah sebagai orang yang menciptakan prototype pesawat terbang pertama kali. Ia tergerak untuk membuat suatu model pesawat terbang setelah membaca ayat 79 surah an-Nahl dalam al-Qur’an yang artinya: “Tidakkah mereka memperhatikan burung-burung yang dimudahkan terbang di angkasa bebas. Tidak ada yang menahannya selain daripada Allah.”
Apa yang dilakukan Abbas ibn Firnas tidak lain adalah menjadikan akhlaknya menjadi bukti kebenaran dari al-Qur’an. Hal demikian sama pula dengan para pengkaji surah al-Maa’uun yang melahirkan gerakan penyantunan sebagai bukti amal nyata kebenaran al-Qur’an. Sangat banyak ayat dalam al-Qur’an yang bisa kita buktikan sebagai amal nyata dalam kehidupan ini. Seharusnya setiap langkah kita sebagai seorang muslim adalah bukti kebenaran dari al-Qur’an. Karena itu mari jadikan diri kita seperti al-Qur’an berjalan dengan akhlak yang mulia.
Ki H. Ashad Kusuma Djaya, Wakil ketua PDM Kota Yogyakarta