Prof Dr H Haedar Nashir, MSi
Aksi Bela Islam 2016 melawan penistaan agama memunculkan arus baru lahirnya potensi politik Islam manakala seluruh komponen umat bersatu. Perpaduan antara strategi aksi lapangan dan diplomasi dari berbagai komponen umat menghasilkan gelombang aspirasi Islam yang masif tetapi damai. Meski ada bagian kecil umat yang mengambil sikap berbeda, tetapi arus utama pergerakan Islam sangatlah kuat.
Jika potensi umat Islam tersebut dihimpun dan dimobilisasi atau dikapitalisasi secara kolektif dan terorganisasi, maka akan melahirkan kekuatan baru umat Islam Indonesia. Artinya, kapitalisasi potensi umat di bidang ekonomi, sosialbudaya, dan politik menjadi keharusan pasca Aksi 212 untuk kepentingan-kepentingan strategis ke depan.
Aksi 212 jangan dipolitisasi untuk kepentingan politik tokoh dan kelompok tertentu. Jika itu dilakukan akan melahirkan polarisasi sesama umat dan melemahkan perjuangan Islam ke depan. Umat Islam juga harus tetap bergerak ke arus tengah, jangan ke kanan atau ke kiri. Manakala berjuang dengan tulus dan cerdas, maka harus ditindaklanjuti dengan langkah-langkah kolektif yang strategis dan praksis.
Potensi Politik
Umat Islam Indonesia tahun 2017 harus mengambil pelajaran dari Aksi Bela Islam 2016 untuk bangkit mengejar ketertinggalan dan membangun keunggulan berbagai aspek, khususnya politik. Kenyataan umat Islam di negeri ini di samping tertinggal di bidang ekonomi dari golongan minoritas, juga mengalami ancaman baru di bidang sosial-budaya akibat perubahan sosial dan globalisasi. Pada waktu yang sama, umat secara laten mengalami marjinalisasi secara politik.
Penduduk mayoritas ini kekuatan politiknya tidak berbanding lurus dengan kekuatan demografisnya, sehingga tidak menjadi pemimpin di negeri ini. Dengan kata lain, tidak ada korelasi positif antara jumlah mayoritas dengan aspirasi dan orientasi politik. Pada masa pasca kemerdekaan di era pemerintahan Soekarno, umat Islam kalah di Sidang PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) tahun 1945 dan pada pergulatan politik Konstituante tahun 1959, sehingga cita-cita politik Islam tidak terwujud.
Pada masa Orde Baru dengan kebijakan depolitisasi dan marjinalisasi Islam politik, partai Islam pasca peleburan tiga partai yang diwakili Partai Persatuan Pembangunan (PPP) pada Pemilu 1982 hanya meraih 94 kursi (27,74%). Sebelumnya, pada Pemilu 1971 terpolarisasi ke dalam banyak partai, termasuk Partai Nahdlatul Ulama. Pada era tersebut, suasana politik dan kehidupan keagamaan umat Islam makin terpinggirkan. Di ujung kekuasaan Soeharto sempat terjadi kedekatan dengan Islam.
Pada masa reformasi 1998 terjadi kebangkitan politik Islam dengan lahirnya partai politik Islam seperti PKS, PPP, dan PBB, serta partai berbasis Islam santri seperti PAN dan PKB. Tetapi artikulasi politik Islam masih sendiri-sendiri, kecuali pada masa awal yang melahirkan Poros Tengah. Suasana “bulan madu” politik Islam 1999 tidak berlangsung lama, sehingga kekuatan Islam politik tercerai-berai kembali. Sulit mencari titik temu kekuatan politik Islam.
Padahal, jika bersatu sesungguhnya potensi politik umat Islam cukup memadai. Umat Islam sama sekali tidak lemah modal politiknya. Potensi politik Islam sebenarnya relatif memadai ditakar dari perkembangan jumlah suara parpol Islam, jika semua pihak menyadarinya untuk membangun kekuatan strategis bersama. Artinya, manakala ada kemauan politik dari seluruh partai politik Islam, maka terbuka peluang untuk menyatukan kekuatan politik kolektif sebagai modal awal yang mencukupi untuk meraih kepemimpinan dalam pemerintahan.
Coba simak data berikut ini. Pemilu 1999 aspirasi politik Islam cukup tinggi, yakni total suara 37.037.279 (35,01%) dengan jumlah kursi 164 di DPR. Pemilu 2004 jumlah suara 42.602.157 (40,92%) dengan kursi cukup besar 224. Pemilu 2009 meraih 25.140.871 (22,15%) dengan kursi 164. Pada tahun 2014, dengan suara 37.418.270 (29,93%) atau dibulatkan 30%. Jika suara politik Islam itu disatukan, maka dapat mengusung calon Presiden dan Wakil Presiden sendiri.
Faktor Pemersatu
Eickelman dan Piscatori (1998) mengembangkan tesis bahwa kelompok Islam terlibat dalam persaingan dan sulit menyatukan pandangan politik satu sama lain. Kecenderungan tersebut masih dijumpai dalam kehidupan umat Islam Indonesia selama ini.
Pasca kemerdekaan, ketika semua komponen Islam bersatu dalam wadah Partai Islam Masyumi, tidak lama kemudian tahun 1947 Sarekat Islam keluar, diikuti Nahdlatul Ulama tahun 1952. Ketika Orde Lama mengembangkan politik otoritarian dan sejumlah tokoh Islam dipenjara dalam ketegangan Islam versus Partai Komunis Indonesia hingga jelang keruntuhan rezim tahun 1965, terbentuk aliansi NASAKAOM (Nasionalis, Agamis, dan Komunis) di mana Nahdlatul Ulama masuk dalam unsur kalangan agamis itu.
Ketika di ujung kekuasaan Soeharto mendekat kepada Islam dan terbentuknya Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI), terdapat kelompok Islam lain di bawah kepemimpinan Abdurrahman Wahid yang tidak suka dengan fenomena “hijau” itu. Pada waktu Aksi 212, ada ulama yang mengeluarkan fatwa haram shalat Jum’at di lapangan serta tidak mendukung aksi umat Islam.
Pemilu 1971 partai Islam banyak sekali, sehingga polarisasinya makin luas. Setelah difusikan ke dalam PPP memang bersatu secara terpaksa, tetapi unsur Islam juga tersebar di Golkar dan PDI. Setelah itu, hingga era Reformasi polarisasi politik maupun keormasan makin melebar hingga saat ini. Polanya sama, ketika banyak yang mencoba untuk membangun aliansi strategis, selalu terdapat komponen Islam yang menyempal dan berada di pihak lain. Adakah polarisasi seperti ini akan terus dilanjutkan sampai ke depan?
Pasca Aksi Damai Umat Islam 2016 lalu segenap komponen Islam belajar menemukan faktor pemersatu. Dalam keragaman organisasi, paham, dan aliran semua kelompok harus belajar kembali saling berdialog dan menemukan titik temu perjuangan strategis agar umat Islam tampil menjadi kekuatan yang menentukan.
Buktikan ukhuwah Islamiyah yang selama ini disuarakan dengan bergelora teraktualisasi dalam kehidupan nyata seluruh komponen umat Islam. Ukhuwah insaniyah atau basyariyah dan wathaniyah dengan sesama umat manusia dan warga bangsa yang lain sangat bagus diperkuat, tetapi sama pentingnya memperkokoh ukhuwah di tubuh umat Islam sendiri. Jangan sampai keluar sangat mesra membangun hubungan, tetapi ke dalam sebatas formalitas dan hanya kulit luarnya belaka.
Ujian ukhuwah Islam sesama komponen umat Islam itu antara lain manakala menyangkut kepentingan politik atau kekuasaan. Jika masing-masing masih kuat ananiyahhizbiyah, tidaklah mungkin ukhuwah Islamiyah itu terwujud. Apalagi jika saling berebut kekuasaan sambil menyingkirkan sesama umat Islam. Jangan ingin menang dan memperoleh kue duniawi sendiri, lebih-lebih dengan mengorbankan prinsip perjuangan dan kepentingan sesama umat Islam secara kolektif.
Maka penting memobilisasi kekuatan umat Islam secara kolektif. Tujuannya ialah terciptanya kekuatan strategis umat Islam Indonesia sebagai mayoritas sehingga sejalan antara jumlah dengan kualitas dan perannya di negeri ini. Jangan sekadar bilangan besar tetapi terpinggirkan secara ekonomi, sosial-budaya, dan politik. Umat Islam dengan tetap mengayomi dan berintegrasi dengan komponen bangsa lainnya yang majemuk harus benar-benar menjadi tuan di negerinya sendiri!
Sumber: Majalah SM Edisi 1 Tahun 2017