Manusia Panti

Siapa mengira jika manusia sengaja ditelantarkan harkat dan martabatnya. Manusia yang berhak sejahtera dan merasa sejahtera ditelikung hak-haknya justru oleh manusia juga Penelantaran penghuni panti baru-baru ini menjadi momok menyedihkan, baik secara agama atau rasa kemanusiaan. Maka tentu ini menjadi pandangan awas umat Islam seluruhnya, utamanya anak bangsa Indonesia.

Allah memformat manusia sebagai ciptaanNya yang adiluhung. Tidak tanggung-tanggung, bahkan Allah menyebut kita sebagai ahsanu taqwîm. Status ini adalah nilai yang menjadi pembeda dari makhluk-makhluk yang lain. Bahwa manusia diistimewakan dengan capaian ilmu, pikiran, penyampaian, hikmah, dan sebagainya. Tentu ini menjadi kebanggaan yang seharusnya dirasa bersama. Qurthubi sempat menyebut bahwa manusia semisal semesta mini, karena segala hal pada makhluk ciptaan ada pada wujud manusia. Namun, apalah arti status apabila jasad jasmani tidak dipagari oleh ruhani.

Itulah kenapa sedari awal Allah mewantiwanti bahwa sesempurnanya manusia akan jatuh tanpa ada iman dan keshalihan. Rasulullah SAW pun tegas menyampaikan bahwa ketika seseorang mencuri adalah sedang dalam keadaan tidak beriman. Itulah karenanya iman dan amal shalih (keshalihan individu dan sosial) menjadi penyambung rantai antara ahsanu taqwîm dengan kesejahteraan hidup bersama. Kebersamaan hidup tidak hanya bagi mereka yang mapan ekonomi, namun juga bagi mereka yang yatim dan mustadz’afîn.

Yatim dan mustadz’afîn pada dasarnya adalah lahan keshalihan umat Islam. Mereka menjadi tempat untuk merasa peduli. Mereka pula menjadi satu di antara sekian golongan yang berhak disejahterakan. Muhammad Sang Abu’l Yatâmâ mencontohkan riil hidupnya sebagai penyayang dan pemelihara golongan ini. Muhammadiyah sebagai persyarikatan di awal berdirinya juga tidak lupa menyasar kaum papa.

Maka, sesungguhnya rangkaian relasi-koneksi antara satu manusia dengan yang lain ada pada iman dan amal shalih. Tidaklah kemudian ada lagi penelantaran manusia, lebih-lebih bagi mereka yang tergolong yatim. Ketiadaan orang tua tidak menjadikan mereka kehilangan ‘orang tua.’ Umat Islamlah orang tua mereka, iman-amal shalih kitalah yang merangkul erat mereka.

Pun bagi usia yang tidak lagi muda, kelemahan fisik mereka tidaklah menjadikan mereka ‘lemah selemah-lemahnya’. Umat Islamlah yang menguatkan mereka, iman-amal shalih kitalah yang menaungi mereka. Maka indahlah kebersamaan dan kesejahteraan hidup bagi siapa saja, selagi iman dan amal shalih menjadi rumah bagi fisik jasmani manusia yang adiluhung. (Fauzan Muhammadi)

Sumber: Majalah SM Edisi 4 Tahun 2017

Exit mobile version