Mengenal Permusyawaratan di Muhammadiyah
Oleh: Ridho Al-Hamdi
Vergadering
Sejak awal berdirinya pada 1912 hingga kini, Muhammadiyah sudah pernah mengadakan permusyawaratan tertinggi sebanyak 47 kali. 10 kali di antaranya menggunakan istilah Bahasa Belanda, yaitu “Algemene Vergadering” yang digunakan sejak 1912 hingga 1921 dan sekali pernah menggunakan istilah Belanda yang lain “Jaarvergadering” di tahun 1922. Kedua istilah yang diambil dari Bahasa Belanda ini menunjukkan arti pertemuan akbar.
Congres
Pada tahun 1923, Muhammadiyah mulai menggunakan Bahasa Indonesia dengan menyebut “Perkumpulan Tahunan” karena memang saat itu, musyawarah tertinggi selalu diadakan setiap tahun. Pada tahun 1924, Muhammadiyah mulai menggunakan istilah “Congres” hingga tahun 1941 yang juga diadakan sekali dalam setiap tahunnya. Pada tahun 1936, Muhammadiyah menyelenggarakan “Congres Seperempat Abad”.
Sembilan tahun setelah 1941, Muhammadiyah tidak pernah lagi mengadakan kongres di tingkat nasional karena situasi yang tidak memungkinkan di mana saat itu Indonesia dijajah oleh tantara Jepang serta terjadi Revolusi Fisik melawan penjajahan Belanda hingga berakhir di tahun 1949. Selama jeda antara 1941 dan 1949, Muhammadiyah pernah mengadakan “kongres darurat” dua kali tetapi hanya se-Jawa Madura sehingga tidak dianggap sebagai kongres nasional seperti yang pernah terjadi sebelum-sebelumnya.
Muktamar
Mulai tahun 1950, istilah “kongres” diganti dengan sebutan “Muktamar” sehingga Muktamar ke-31 seringkali disebut juga sebagai “Muktamar pertama Muhammadiyah” yang menandakan sebagai Muktamar pertama setelah kemerdekaan Indonesia 1945. Namun demikian, Muhammadiyah menetapkan, bahwa Muktamar 1950 adalah Muktamar ke-31 sebagai lanjutan dari permusyawaratan di Muhammadiyah sebelum-sebelumnya meskipun berbeda istilah.
Pada tahun 1962, Muhammadiyah mengadakan Muktamar Setengah Abad yang menandakan usia keemasaannya sekaligus juga “Muktamar anugerah” karena situasi saat itu yang memungkinkan Muhammadiyah dibubarkan oleh pemerintah tetapi tidak pernah terjadi. Kemudian, pada tahun 2010, Muhammadiyah berhasil mengadakan Muktamar Seabad yang diselenggarakan di Yogyakarta dengan penuh kemegahan dan kemeriahan. Jika diringkas, kira-kira begini sebutan permusyawaratan di Muhammadiyah beserta lama periodenya:
1912-1921 : Algemene Vergadering (setiap tahun)
1922 : Jaarvergadering (setiap tahun)
1923 : Perkumpulan Tahunan (setiap tahun)
1924-1941 : Congres (setiap tahun)
1944 & 1946 : Congres Darurat (insidental)
1951-1971 : Muktamar (tiga tahun sekali)
1971-1975 : Muktamar (empat tahun)
1975-1978 : Muktamar (tiga tahun)
1978-1985 : Muktamar (tujuh tahun)
1985-2015 : Muktamar (lima tahun sekali)
2015-2022 : Muktamar (tujuh tahun)
Permusyawaratan di Muhammadiyah: Periodisasi Muktamar
Secara definitif, Muktamar (sebelumnya menggunakan istilah “Kongres”) adalah permusyawaratan tertinggi di Muhammadiyah yang diselenggarakan dan atas tanggung jawab Pimpinan Pusat. Sejak tahun 1912 hingga 1941, algemene vergadering/jaarvergadering atau kongres selalu rutin diadakan setiap setahun sekali. Antara tahun 1941 dan 1950, tidak ada kongres nasional kecuali kongres darurat se-Jawa Madura yang ini tidak bisa diklaim sebagai permusyawaratan di Muhammadiyah tertinggi. Mulai 1950-1958, Kongres/Muktamar rutin diadakan setiap tiga tahun sekali kecuali pada periode 1971-1975 dan periode 1978-1985 karena situasi nasional saat itu yang tidak memungkinkan untuk mengadakan Muktamar.
Sejak 1985 hingga sekarang, Muktamar selalu diadakan rutin setiap lima tahun sekali. Selain menggunakan nama Muktamar, ada juga istilah “Muktamar Luar Biasa” (MLB) yang bisa diadakan jika disebabkan oleh keadaan yang membahayakan Muhammadiyah dan atau kekosongan kepemimpinan, sementara Tanwir tidak berwenang untuk memutuskannya. Sementara itu, Tanwir adalah permusyawaratan tertinggi kedua setelah Muktamar, diselenggarakan oleh dan atas tanggung jawab Pimpinan Pusat. Jika diringkas, periodisasi Muktamar Muhammadiyah setidaknya telah mengalami fase perubahan sebanyak tiga kali dengan rincian sebagai berikut:
1912-1941: Vergadering/Congres rutin diadakan tiap tahun sekali
1950-1978: Muktamar rutin diadakan tiap tiga tahun sekali (kecuali antara 1971-1974)
1985-2015: Muktamar rutin diadakan tiap lima tahun sekali
Dengan demikian, perubahan periodisasi permusyawaratan di Muhammadiyah terjadi secara bertahap mulai dari satu tahunan, lalu tiga tahunan, dan akhirnya lima tahunan.
Permusyawaratan di Muhammadiyah: Lokasi Muktamar
Dari segi lokasi pelaksanaan Kongres/Muktamar, di era awal Muhammadiyah berdiri (1912-1925), lokasi algemene vergadering selalu diadakan di Yogyakarta sebagai pusat aktivitas organisasi. Pada kongres tahun 1926, Muhammadiyah mulai mencoba ke luar Yogyakarta yaitu ke Surabaya yang kemudian menyebabkan Kongres/Muktamar selanjutnya selalu berpindah-pindah kota. Dari 48 kali Muktamar, 24 kali di antaranya di Yogyakarta.
Selebihnya, Muktamar pernah diadakan di Jawa maupun luar Jawa. Dari 48 kali Kongres/Muktamar, 39 kali di antaranya pernah diadakan di Jawa dan 9 kali sisanya di luar Jawa. Di Jawa, Muktamar selain di Yogyakarta pernah diadakan di Surakarta (3 kali), Jakarta (3 kali), Purwokerto (2 kali), Surabaya (2 kali), Malang (2 kali) serta masing-masing pernah sekali di Pekalongan, Semarang, dan Bandung.
Di luar Jawa, Muktamar pernah diadakan di Makassar (3 kali), Minangkabau (sekali di Bukittinggi dan sekali di Kota Padang) serta masing-masing sekali di Medan, Palembang, dan Banjarmasin. Mayoritas Muktamar selalu diadakan di kawasan perkotaan. Hal ini menunjukkan, bahwa pemilihan kawasan perkotaan agar memudahkan para peserta Muktamar menjangkau lokasi acara mengingat luas dan lamanya perjalanan para peserta yang datang dari berbagai daerah. So, kapan Muktamar selanjutnya di kota Anda? Buktikan bahwa daerah Anda memang layak jadi tuan rumah Muktamar selanjutnya.
Secara detail, penjelasan tentang permusyawaratan di Muhammadiyah ini juga sudah saya jabarkan di buku Paradigma Politik Muhammadiyah: Epistemologi Berpikir dan Bertindak Kaum Reformis (IRCISOD, 2020). Semoga bermanfaat mengenal sejarah organisasi Muhammadiyah.
Ridho Al-Hamdi, Dosen IGOV UMY