Refleksi 75 Tahun Indonesia: Merajut Solidaritas, Menuju Indonesia Bebas Covid-19

Cristoffer Veron P

Agaknya, dapat dirasakan nuansa kemerdekaan ke 75 tahun ini. Suasana yang gembira, semarak, dan bahagia kini berbalik 180 derajat. Tak ada lagi kemeriahan untuk merayakan kemerdekaan. Tatkala penulis mengikuti lomba makan kerupuk, pecah balon, masukan paku ke dalam botol, dan pelbagai kegiatan perlombaan lainnya untuk menyemarakkan hari lahir negara ini, kini dengan berat hati perlombaan itu tidak diselenggarakan.

Pandemi Covid-19 yang kini masih membungkus seluruh dunia, tanpa terkecuali Indonesia, mengharuskan diri kita untuk rehat dulu. Kita tidak diperkenankan untuk melakukan kegiatan semacam itu, apalagi kegiatan formal lainnya. Kegiatan wisuda, pengajian, dan sebagainya ditiadakan.

Kita tidak bisa menafikan segala peristiwa yang bakal terjadi baik hari ini, besok, maupun masa-masa yang akan mendatang. Kita tidak diperkenankan untuk memutuskan kehendak dan mendahului takdir dari Tuhan Yang Maha Induk. Apapun yang terjadi di dalam kehidupan kita, semuanya sudah menjadi bagian dari takdir Tuhan. Manusia harus bisa menerima kodrat Tuhan yang telah terlukiskan di dalam kitab Lahul Mahfudz.

Kodrat Tuhan ini berlaku bagi seluruh umat manusia. Semua agama, insan yang berpangkat, maupun tidak sama sekali, takdir akan berlaku sampai akhir kehidupan ini. Sama halnya dengan kasus wabah pandemi Covid-19 ini. Segala ikhtiar, usaha, dan munajat telah kita implementasikan. Namun, kasus yang terjadi terus meningkat dan tidak kunjung menurun. Para ahli sepakat bahwa impresi dari peningkatan secara terus-menerus ini disebabkan oleh ketidakdisiplinan masyarakat terhadap protokol kesehatan.

Memang kita tidak bisa menyalahkan si A atau si B. Ini semua sudah menjadi kesadaran kita bersama. Sebagai manusia, kita diciptakan untuk saling mengingatkan dalam kehidupan. Diri kita ini sebagai makhluk yang daif. Tidak memiliki kekuasaan, kecuali Tuhan. Alam raya ini sudah ada pemiliknya. Kita hanya menginap di bumi ini untuk ditugaskan sebagai insan yang saling mengingatkan jika ada kekurangan maupun kesalahan.

Relevansi Solidaritas

Hidup ini kita tidak sendirian. Milyaran manusia menetap di muka bumi. Diantara milyaran manusia itu, semuanya menetap di negara masing-masing. Tentunya setiap negara memiliki agama, suku, budaya, adat istiadat, dan Bahasa daerah. Semuanya sangat beraneka ragam. Namun, kalau dilihat diseluruh dunia ini, hanya Indonesia-lah yang memiliki kesemuanya itu. Negeri ini memiliki agama, suku, bahasa daerah terbanyak di dunia. Jadi nilai-nilai solidaritas (al-Jama’ah) sangat kental terasa di negeri ini.

Solidaritas menjadi pantulan kehidupan yang sangat penting. Seseorang yang hidup bersama (bergandengan) tanpa memikirkan agama khususnya, niscaya ketika terjadi masalah akbar yang mengharuskan seluruh manusia bersatu bisa terakomodir dengan baik. Inilah yang menjadikan cepat berakhirnya suatu permasalahan yang menimpa dirinya maupun bagi bangsanya.

Para pejuang negeri ini ketika melawan para imperialisme, mereka saling bersatu. Tidak ada kata takut untuk melawan imperialisme. Bagi para pejuang negeri ini, “merdeka atau mati”. Itulah sekelumit kalimat yang dikobarkan oleh pejuang kita dahulu. Para tokoh, ulama, hingga rakyat kecil pun saling mendukung dan bersemangat untuk memperebutkan kemerdekaan dari tangan imperialisme.

Dukungan ini sangat berpengaruh dan berbuah hasil. Setelah berjuang tanpa memikirkan keselamatan jiwanya yang sangat terancam, akhirnya kemerdekaan itu dapat diperebutkan. Para pejuang yang telah gugur di medan perang, merekalah telah mendapat gelar syuhada’ (orang mati syahid). Roman kegembiraan mereka sangat terpancarkan walaupun mereka telah tiada.

وَلَا تَحۡسَبَنَّ ٱلَّذِينَ قُتِلُواْ فِي سَبِيلِ ٱللَّهِ أَمۡوَٰتَۢاۚ بَلۡ أَحۡيَآءٌ عِندَ رَبِّهِمۡ يُرۡزَقُونَ  ١٦٩ فَرِحِينَ بِمَآ ءَاتَىٰهُمُ ٱللَّهُ مِن فَضۡلِهِۦ وَيَسۡتَبۡشِرُونَ بِٱلَّذِينَ لَمۡ يَلۡحَقُواْ بِهِم مِّنۡ خَلۡفِهِمۡ أَلَّا خَوۡفٌ عَلَيۡهِمۡ وَلَا هُمۡ يَحۡزَنُونَ  ١٧٠

Artinya: “Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati; bahkan mereka itu hidup disisi Tuhannya dengan mendapat rizki. Mereka dalam Keadaan gembira disebabkan karunia Allah yang diberikan-Nya kepada mereka, dan mereka bergirang hati terhadap orang-orang yang masih tinggal di belakang yang belum menyusul mereka, bahwa tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” (Qs Ali-Imran: 169-170).

Maka, kita bisa mengambil banyak sekali ibrah dari para pejuang bangsa ini dalam memperebutkan kemerdekaan. Mereka tidak berdiri sendiri dalam melawan para penjajah yang telah bersewenang-wenang menguasai tanah ibu pertiwi. Pejuang Indonesia sadar bahwa tak ada kekuatan terbesar yang dapat dikobarkan kecuali dengan solidaritas (selain kekuatan dari Tuhan).

Relevansinya dengan Covid-19 ialah manusia itu harus bersama-sama berjuang dalam melawan Covid-19. Tantangan berat dan berliku-liku ini tidak bisa kita diamkan begitu saja. Sebagai bangsa yang besar, tidak elok untuk berdiam diri tanpa berjuang seperti yang telah dicontohkan oleh para pejuang. Diri kita harusnya malu dengan para pejuang. Mereka tidak mempunyai alat yang canggih dalam berperang. Namun, tatkala jiwa sudah membara, disitulah kejayaan akan diraih.

Mulailah Merajut

 “Tidak ada kesuksesan tanpa kerja keras. Tidak ada keberhasilan tanpa solidaritas. Tidak ada kemudahan tanpa doa”, demikian ungkap Dr Ridwan Kamil. Peran solidaritas disini agaknya perlu kita refleksikan kembali. Masyarakat Indonesia dengan populasi penduduk sebanyak 267 juta harusnya bisa bersama-sama melawan Covid-19.

Bangsa manapun saat ini juga merasakan dampak yang sama dengan kita. Covid-19 telah menjalar di seluruh dunia. Ironisnya, dengan adanya kejadian ini masyarakat kita seakan mengabaikan dengan dinamika yang sedang terjadi. Entah mereka berpura-pura atau bagaimana, yang jelas segala sosialisasi dari pemerintah sudah disebarluaskan melalui siaran televisi, media sosial, internet, dan koran. Asa dari sosialisasi ini bisa memberikan siviliasi bagi masyarakat untuk mencegah virus Covid-19.

Namun, kiranya dapat dilihat dalam lapangan kehidupan, masyarakat kita tidak mengindahkan sosialisasi dari pemerintah. Padahal pemerintah telah bekerja keras untuk bisa keluar dari kegelapan atas aksi Covid-19 ini. Masyarakat kiranya perlu diajak untuk membuka pola pemikiran yang jumud dan stagnan menuju pemikiran yang jernih dan autentik. Bahwa tidak elok untuk saling hina, hujat, curiga, ghibah, su’udzon, caci maki, dan kehasadan.

Virus Covid-19 perlu memiliki bumbu yang sangat kokoh sebagai fondasi untuk mencari jalan keluar. Jika kita membumbui dengan sifat diatas, percayalah masalah akbar ini tidak akan kunjung rampung bahkan boleh jadi akan kekal selamanya. Ingat manusia itu bersifat zoon politicon (makhluk sosial). Artinya, ketidakseimbangan antara kehidupan mandiri tanpa didukung oleh solidaritas antara manusia lainnya.

Covid-19 memberikan wadah terbesar untuk merekonstruksi solidaritas. Opsi utamanya hanyalah disini. Tidak ada opsi lain selain membentuk solidaritas. Maka, di HUT RI ke-75 ini kita mulai merajut kembali nilai-nilai solidaritas yang kiranya sudah redup. Kita harus optimis bahwa dengan merajut kembali solidaritas ini, negeri ini akan berhasil terbebas dari Covid-19. Dirgahayu Indonesiaku.•

Cristoffer Veron P, Alumnus SMK Muhammadiyah 1 Kota Yogyakarta Tahun Ajaran 2019/2020, Menulis di Risalah Jum’at Majelis Tabligh PWM D.I.Yogyakarta, dan Penulis Buku “Menuju Hidup Sukses”.

Exit mobile version