Oleh: Azhar Syahida
Pandemi Covid-19 telah menunjukkan ilmu ekonomi yang selama ini kita pelajari kian kentara titik lemahnya. Pada pendulum lainnya, kita lantas mengharap lahirnya ilmu ekonomi alternatif. Dalam konteks ini, sempat kita berharap pada ekonomi Islam. Tapi, benarkah ekonomi Islam mampu mengambil peran tersebut?
Tak bisa kita pungkiri global tengah berantakan akibat pandemi. Benar, pagebluk Covid-19 seolah menyingkap tabir kebobrokan ekonomi arus utama (mainstream) yang hanya memberi akses kemakmuran pada segelintir elite. Ilmu ekonomi yang diagung-agungkan menjadi tak berdaya, terhimpit, dan tak solutif di tahun wabah ini.
Dalam aras ini, kita mengharap ilmu ekonomi alternatif yang berpihak pada usaha transformatif yang dibangun atas kerangka teoritis yang kokoh. Dengan kata lain, kita membutuhkan substitusi teori makro yang menekankan demokrasi ekonomi: penguatan partisipasi dan emansipasi dalam aktivitas ekonomi.
Sebagai sebuah gerakan global, ekonomi Islam mewujud bersamaan dengan bangkitnya negara-negara pengekspor minyak (oil-exporting countries), yang mayoritas pelakunya adalah negara muslim (Rahardjo, 2001). Sementara itu, secara keilmuan, ekonomi Islam lahir ditandai dengan konferensi internasional di Mekkah pada 1976 (Rahardjo, 1989). Walau, secara parsial, sudah cukup banyak pembahasan normatif mengenai ekonomi Islam.
Di Indonesia, kehadiran ekonomi Islam ditandai dengan berdirinya Bank Muamalat pada November 1991. Bermula dari tahun tersebut, gerakan ekonomi Islam yang mewujud dalam bentuk operasionalisasi keuangan syariah terus berkembang pesat. Per April 2020, total aset perbankan syariah dan unit usaha syariah mencapai Rp 524 triliun dan terus tumbuh signifikan.
Orientasi Fikih
Sungguhpun demikian, perkembangan ekonomi Islam dari sisi keuangan yang begitu pesat, justru secara sederhana menunjukkan ekonomi Islam hanya dimaknai sebagai keuangan Islam atau fikih muamalah. Bahkan dipersepsikan sebagai cabang dari ilmu fikih (Hoetoro, 2017). Tentu, demikian terjadi karena analisis ekonomi Islam cenderung bersifat fikih ketimbang ekonomi. Demikian pula, hal ini lebih disebabkan redaksi Alquran terkait ekonomi secara eksplisit mengarah pada transaksi non-ribawi: pelarangan riba dan perintah zakat (Rahardjo, 2004).
Ketergesaan pemahaman ekonomi Islam sebagai fikih muamalah agaknya berimplikasi pada perkembangan ekonomi Islam sebagai ilmu. Munculnya berbagai kajian fikih ekonomi Islam dan justifikasi oleh beberapa ahli fikih, menunjukkan simplifikasi atas pemaknaan ekonomi Islam. Walau, kajian fikih muamalah masih dibutuhkan sebagai basis konstruksi bangunan teori ekonomi Islam (Hoetoro, 2017). Lebih-lebih, untuk membangun struktur teori ekonomi Islam yang mapan dibutuhkan tiga ahli sekaligus: pengusaha, ekonom, dan ahli fikih (Prawiranegara, 2011).
Di samping itu, selain dimaknai sebagai gerakan fikih mualamah (legal economics), ekonomi Islam rupanya juga sering dimaknai sebagai konsep ekonomi ala Nabi Muhammad, yang tentu bukan sebuah kekeliruan. Tapi, untuk menjadikan ekonomi Islam sebagai substitusi ekonomi arus utama, tidak cukup hanya menggunakan kerangka berfikir fikih yang hanya membahas hukum syariat.
Upaya Teoritisasi
Maka itu, jika ekonomi Islam hendak dihadirkan sebagai alternatif, mesti dirubah perspektifnya, bahwa ekonomi Islam tidak cukup dengan teoritisasi keuangan syariah (islamic finance), tapi perlu melampaui itu, yakni bagaimana ekonomi Islam menjawab tantangan ketimpangan, kemiskinan, lingkungan, dan isu strategis pembangunan lainnya.
Sebab, selama ini, agenda ekonomi Islam belum menunjukkan pengarusutamaan ekonomi Islam sebagai ilmu sosial yang kokoh. Padahal, Islam, inspirasi kunci dari ekonomi Islam itu sendiri, hadir sebagai agama rahmatan lil ‘alamin, sebuah peran suci yang mesti juga diikuti oleh proses teoritisasi Islam sebagai ilmu yang luhur.
Dalam kerangka berfikir seperti ini, ekonomi Islam harusnya bisa bergerak cepat; melakukan transformasi keilmuan sehingga secara teoritis adalah alternatif, dan secara implementatif memberi asa kemanusiaan tanpa memandang agama.
Dalam prosesnya, teoritisasi ekonomi Islam memang akan berbeda. Jika perkembangan ilmu ekonomi arus utama adalah hasil sekularisasi di dunia barat, sebaliknya, ekonomi Islam menjadikan teks agama sebagai sumber perumusan teori, yang dielaborasi secara simultan dengan fakta empiris ekonomi. Proses ini tentu membutuhkan kerja riset jangka panjang yang menghubungkan relasi resiprokal antara teks agama dan realitas empiris.
Menariknya, dalam konteks keindonesiaan, apa yang disebut sebagai ekonomi Pancasila, adalah proses dialektika ilmu ekonomi yang berusaha meletakkan spiritualitas (religious values) pada posisi tertinggi. Sehingga pada aras ini, teoritisasi ekonomi Islam mesti juga melihat konteks sosiologis masyarakat Indonesia agar proses teoritisasi tidak terjebak dalam jurang konservatisme agama. Sebaliknya, menjadikan aspek kemanusiaan sebagai poros ideologi. Inilah yang oleh Kuntowijoyo disebut sebagai ‘objektivikasi’ Islam, ekspresi keberislaman yang melandaskan pada tiga nilai utama: liberasi, transendensi, dan humanisasi.
Akhirnya, di tengah kegagapan manusia menghadapi pandemi dan lontaran kebutuhan ekonomi alternatif yang lebih manusiawi, kita tentu berharap pada perkembangan ekonomi Islam yang lebih transformatif. Jika terwujud, tentu itu menjadi jawaban pertanyaan di muka, mampukah ekonomi Islam?
Azhar Syahida, Peneliti di Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia