Hasnan Bachtiar
Pada 16 September 2017, Suara Muhammadiyah Edisi ke 18/102 menerbitkan tulisan yang bertajuk “Muslim yang Tersadarkan”. Mereka adalah Muslim yang memahami betul masalah yang dihadapi dan berkeinginan kuat untuk menyelesaikannya dengan cara yang terbaik. Lantas bagaimana menjadi Muslim yang tersadarkan di era digitalglobal saat ini dan apa peran-peran penting yang bisa diupayakan?
Pertama-tama sebenarnya, hal yang kiranya penting untuk segera disadari secara kritis oleh kaum Muslim bukan hanya masalah-masalah sosial politik yang sedang menghimpit. Misalnya periode pra dan pasca Arab Spring. Namun, juga peluang-peluang yang ada.
Oleh karena kemajuan teknologi – berkat modernisasi Barat Abad ke 21 – dunia Islam dan kaum Muslim di seluruh dunia telah berhadapan dengan media baru. Kini, mereka tidak hanya dapat memanfaatkan koran-koran, majalah, jurnal, faksimil, radio dan televisi, namun juga internet, ponsel pintar dan media sosial. Melalui media baru ini, mereka dapat menemukan, memberi, menerima dan berbagi mengenai segala informasi yang mereka perlukan, kapan saja dan di mana saja.
Mungkin keberadaan media baru ini biasa saja bagi kaum Muslim Indonesia. Namun, bagi mereka yang sedang menempa kesadarannya secara lebih kritis, maka akan mengambil langkah memikirkan-ulang perkara ini. Terutama dengan cara melakukan kajian-kajian perbandingan dengan pelbagai dunia Islam lainnya.
Sebagai sifat dari media baru ini, menurut antropolog Dale F Eickelman dan Jon W Anderson, hal itu telah melahirkan entitas ke-publik-an yang baru, sebagai ruang baru yang dihuni juga oleh orang-orang baru dengan pemikiran yang baru (1999: 9, 10, 12).
Media baru ini menyajikan teknologi yang sangat canggih yang memfasilitasi para kaum Muslim terpelajar modern, sebagai agensi sosial yang mampu berkomunikasi satu sama lain secara transnasional atau global. Bahkan, aksi komunikatif yang mereka lakukan, seringkali tanpa harus menghadapi halangan berarti dari penguasa politik yang sedang jaya. Pendek kata, melalui media baru ini, mereka mendapatkan pelbagai kebebasan: baik itu kebebasan berpikir, kebebasan beragama dan berkeyakinan, maupun kebebasan berekspresi.
Bagi kaum Muslim, dengan kebebasan tersebut, mereka memiliki kesempatan untuk menantang siapa saja aktor struktural dan kultural yang mendominasi kehidupan sosial dan politik mereka. Oleh karena mereka mampu berpikir secara berdikari, maka mereka dapat juga menginterpretasikan segala makna mengenai kemaslahatan umum atau kebajikan. Konsekuensinya, mereka dapat juga menjadi penyanggah pelbagai pendapat pemilik otoritas kenegaraan dan bahkan para pemimpin keagamaan. Di sinilah kontestasi liberal mendapatkan tempatnya.
Walaupun media baru ini telah mendorong lahirnya ruang publik “keagamaan” yang baru (Eickelman & Anderson, 1999: 14), segala ekspresi dari kontestasi wacana keagamaan yang muncul ke permukaan, tidak selalu diiringi dengan nilai-nilai kebajikan demokrasi. Kemerdekaan sipil (civil liberties) sebagai spirit demokrasi yang paling utama, misalnya, kerap diabaikan, diacuhkan dan bahkan dilanggar oleh pelbagai pernyataan dan sikap kaum Islamis konservatif.
Menanggapi hal ini, Anderson menyatakan bahwa forum publik yang baru ini harus dipahami sebagai arena baru bagi tampilnya pelbagai ekspresi alternatif, yang menyebarkan gagasan-gagasan mengenai peradaban, keadaban dan kebajikan (1999: 53, 57). Artinya apa? Ini adalah peluang yang baik sekali, untuk menjawab segala masalah sosial politik di dalam dunia Islam sendiri (otoritarianisme, korupsi dan Islamisme), serta masalah yang datang dari luar (permainan politik Barat yang licik).
Temuan dari penelitian yang bertajuk “What was the Role of the Social Media During the Arab Spring” (Howard, et. al., 2011) dapat diperhitungkan sebagai bukti kuat yang mendukung argumen di atas. Penelitian ini menunjukkan bahwa media baru – yang memiliki hubungan secara kompleks dengan media lama seperti media cetak dan elektronik non-internet – (Aday, et. al., 2012) – berperan secara signifikan dalam proses revolusi sosial politik yang terjadi di negara-negara Arab.
Para aktor intelektual dan aktivis-aktivis revolusi Arab garda depan, menggunakan Twitter, Facebook, Blog dan pelbagai website untuk mendapatkan dukungan massa, mengorganisir aksi massa dan pada akhirnya menumbangkan rezim-rezim politik yang otoriter. Meskipun demikian, apa yang telah diupayakan tersebut bukan tanpa halangan. Para agen sosial lainnya masihlah merasa kesulitan dalam mendaya-gunakan media baru tersebut. Ada pelbagai faktor yang menghambat, antara lain adalah tingkat literasi, kultur kedaerahan (cultural vernacularity) dan tingkat kepercayaan terhadap data yang ada (Fandy, 2000: 381, 383).
Sementara itu, di Indonesia juga memanfaatkan media sosial, untuk menggelar pelbagai aksi politik tertentu, misalnya Aksi 212 atau 411. Walaupun, dari pelbagai aksi yang ada, tidak jarang para agensi sosial juga menjadikan agama sekedar sebagai instrumen untuk meraih tujuan-tujuan politik. Jutaan massa yang terlibat mungkin tidak menyadari ini semua. Akan tetapi aktor intelektual dibalik setiap propaganda politik yang dilancarkan, jelas sudah dengan matang mengkalkulasi secara rasional segala kemungkinan yang terjadi dan apa saja keuntungan yang diraih.
Tentu saja menjadikan agama sebagai instrumen untuk meraih kekuasaan atau akumulasi kapital, akan mendegradasi nilai agama itu sendiri. Tidak dapat dipungkiri bahwa, hal inilah yang semakin menyebabkan kemunduran, menghambat proses demokratisasi yang substansial dan mencegah kaum Muslim mewujudkan cita-cita lahirnya umat yang modern.
Sebaliknya, memperjuangkan keadilan sosial, kesetaraan dan kemanusiaan, merupakan hal yang utama. Catatan Manuel Castell (2012: 2-3) mengenai gerakan sosial era internet dalam kasus Occupy Wall Street di New York City bisa menjadi teladan yang baik mengenai bagaimana menggunakan media baru dengan cara dan orientasi yang berkeadaban.
Kita telah paham betul mengenai apa mimpi dan harapan yang hendak kita perjuangkan. Yakni, lahirnya “ummat” yang kosmopolitan-pluralis. Itu semua dapat diupayakan jika kita memiliki kesadaran kritis terhadap masalah yang kita hadapi dan peluang-peluang yang ada di baliknya. Lebih dari itu semua, di era yang serba digital dan global, kaum Muslim sebanyakbanyaknya harus berpartisipasi dalam menyuarakan segala gagasan progresif yang berkeadaban (Mandaville, 2001: 176).
Mengapa demikian? Menurut James Piscatori (1986), demi terwujudnya umat yang terbaik ini, kita perlu menjadi Muslim yang konformis. Artinya melibatkan diri secara politis untuk memperjuangkan segala nilai kebajikan Islam secara progresif. Dengan kata lain, menerima ajaran Islam yang sebenarbenarnya, murni dari segala instrumentalisasi, kapitalisasi dan pemerdayaan politik yang dangkal. Kita perlu menerima Islam yang bervisi membangun peradaban yang mulia. Selaras dengan hal ini, Amin Saikal menyatakan bahwa, jika saat ini marak kaum Muslim Jihadis (2008), maka kita harus menjadi Muslim yang Ijtihadis, yang berorientasi pemecahan masalah, bukan pembuat masalah.
Sebagai ikhtitam dari tulisan ini, sebenarnya Muslim yang tersadarkan adalah Muslim yang konformis-ijtihadis dan kosmopolitan-pluralis sekaligus. Semoga elaborasi intelektual ini dapat membuka peluang-peluang yang lebih besar untuk meraih kejayaan Islam dan kaum Muslim.
Hasnan Bachtiar, Peneliti di Pusat Studi Islam dan Filsafat (PSIF) Universitas Muhammadiyah Malang
Sumber: Majalah SM Edisi 19 Tahun 2017