Prof Dr H Haedar Nashir, MSi
Ketika Indonesia merayakan kemerdekaan ke-75, sejarah mencatat peran penting Muhammadiyah. Sejumlah jejak telah digoreskan oleh organisasi Islam modern terbesar di Indonesia ini. Muhammadiyah, termasuk Aisyiyah di dalamnya, merupakan organisasi kebangkitan nasional generasi awal bersama Sarikat Dagang Islam dan Boedi Oetomo. Tidak kurang dari lima belas Pahlawan Nasional berlatarbelakang dan merupakan tokoh Muhammadiyah dan Aisyiyah.
Bung Karno mengingatkan, “Jasmerah”: Jangan sekali-kali melupakan sejarah. Salah satu kekuatan bangsa yang terlibat dalam gerakan kebangkitan nasional awal abad ke-20 dan ikut menentukan titik sejarah Indonesia Merdeka 17 Agustus 1945 maupun pasca kemerdekaan, adalah Muhammadiyah. Muhammadiyah ibarat ibu yang ikut melahirkan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Siapa yang mengabaikan Muhammadiyah dan peran kesejarahan lainnya, berarti lupa dan terputus dari sejarah Indonesia.
Peran Kesejarahan
Muhammadiyah hadir menjadi gerakan Islam yang memiliki dan menorehkan kesadaran Indonesia merdeka. Tentu, pertama kepeloporan Kyai Haji Ahmad Dahlan melalui Muhammadiyah yang didirikannya tahun 1912 melalui berbagai usaha pendidikan, kesehatan, sosial, dan pembaruan pemikiran memberi modal utama bagi bangsa Indonesia untuk sadar akan keterjejahan dan ketertinggalannya, kemudian lahir kekuatan untuk menjadi bangsa merdeka.
Kiprah Kyai Dahlan tersebut diakui pemerintah dengan diangkatnya beliau sebagai Pahlwan Nasional melalui Keputusan Presiden nomor 657 tahun 1961. Dasar-dasar penetapan itu ialah sebagai berikut: (1) KH. Ahmad Dahlan telah mempelopori kebangkitan ummat Islam untuk menyadari nasibnya sebagai bangsa terjajah yang masih harus belajar dan berbuat; (2) Dengan organisasi Muhammadiyah yang didirikannya, telah banyak memberikan ajaran Islam yang murni kepada bangsanya. Ajaran yang menuntut kemajuan, kecerdasan, dan beramal bagi masyarakat dan umat, dengan dasar iman dan Islam; (3) Dengan organisasinya, Muhammadiyah telah mempelopori amal usaha sosial dan pendidikan yang amat diperlukan bagi kebangkitan dan kemajuan bangsa, dengan jiwa ajaran Islam; dan (4) Dengan organisasinya, Muhammadiyah bagian wanita yaitu Aisyiyah, telah mempelopori kebangkitan wanita Indonesia untuk mengecap pendidikan dan berfungsi sosial, setingkat dengan kaum pria.
Nyai Walidah Dahlan yang bersama Kyai Dahlan mendirikan Aisyiyah juga diangkat sebagai Pahlawan Nasional. Peran Nyai sampai beliau wafat tahun 1946 sangat besar dalam menyadarkan kaum muslimah dan perempuan Indonesia untuk hidup setara dengan kaum pria. Aisyiyah sendiri berperan besar selain dalam pendidikan dan usaha sosial kesehatan, dalam jejak sejarah ikut memelopori Kongres Perempuan Pertama tahun 1928, yang saat ini diperingati sebagau Hari Ibu. Dari rahim Muhammadiyah-Aisyiyah lahir tokoh pergerakan perempuan lainnya yaitu Siti Bariyah sebagai Ketua pertama Aisyiyah, kemudian Siti Hayyinah dan Siti Munjiyah sebagai pelopor dan narasumber Kongres Perempuan 1928. Sejarah juga mencatat Raden Nganten Siti Supartinah Soenarjo waktu muda aktif di Siswoprojo embrio Nasyiatul Aisyiyah / Aisyiyah, sebagai anggota BPUPKI dan tokoh pergerakan perempuan Indonesia, kendati aktifnya kemudian di Taman Siswa. Mr Hajjah Raden Ayu Maria Ulfah, tokoh pergerakan Indonesia anggota BPUPKI yang setelah merdeka menjadi Menteri Sosial, juga menjadi guru di Sekolah Menengah Muhammadiyah Jakarta tahun 1934-1942. Muhammadiyah dan Aisyiyah peletak dasar pergerakan perempuan Islam Indonesia berkemajuan. Inilah tonggak sejarah kebangkitan perempuan Indonesia untuk kemerdekaan dan kemajuan bangsa.
Muhammadiyah juga menorehkan jejak emas dalam pencerdasan bangsa dan gerakan keilmuan. Selain melalui pendidikan sekolah modern sejak satu tahun sebelum Muhammadiyah berdiri, juga tahun 1915 melahirkan publikasi Majalah Suara Muhammadiyah (SM), yang memperkenalkan bahasa Indonesia sejak tahun 1922. Gerakan Taman Pustaka dan majalah SM membawa dampak besar bagi kesadaran hidup dengan cara modern sejalan nilai-nilai Islam yang berbasis Iqra dan tajdid. SM terus bertahan dan berkembang sampai saat ini memperoleh penghargaan pemerintah dan lembaga lain sebagai Majalah Dakwah Islam tertua yang berkesinambungan. Inilah tonggak gerakan literasi kebangsaan dari organisasi Islam modern terbesar di Indonesia dan Dunia Islam, yakni Muhammadiyah.
Berdirinya Hizbul Wathan tahun 1918 merupakan jejak sejarah lainnya dari gerakan Muhammadiyah untuk Indonesia. Gerakan Kepanduan Islam ini memakai nama “Hizbul Wathan” atau “Kepanduan Tanah Air” yang diartikan pula “Pasukan Tanah Air” , sebagai bukti kecintaan dan pengkhidmatan untuk gerakan “wathaniyah” atau kebangsaan. Sebelum organisasi Islam lainnya menggunakan istilah “wathaniyah”, Muhammadiyah memeloporinya. Dari rahim Hizbul Wathan inilah kahir seorang Soedirman, yang kemudian menjadi tokoh sentral Perang Gerilya dan dinobatkan sebagai Panglima Besar dan Bapak Tentara Nasional Indonesia. Tidak ada tokoh sekuat itu posisi dan heroismenya setelah Seokarno dan Hatta yang menjadi milik seluruh bangsa Indonesia.
Muhammadiyah juga mencatatkan nama KH Mas Mansur sebagai tokoh Empat Serangkai bersama Soekarno, Mohammad Hatta, dan Ki Hadjar Dewantara. Keempat tokoh tersebut menjadi wakil Indonesia dalam persiapan kemerdekaan Indonesia dengan pemerintah Jepang. KH Mas Mansur juga terlibat dalam perlawanan 10 November 1945 di Surabaya, bahkan beliau pernah dipenjara di Surabaya sebagai bukti kepahlawanannya. Ki Bagus Hadikusumo didukung Kahar Muzakkir dan Kasman Singodimedjo menjadi penentu konsensus nasional penetapan UUD 1945 tanggal 18 Agustus 1945 sebagai konstitusi dasar sekaligus di dapamnya penetapan Pancasila sebagai dasar negara. Rumusan final Pancasila tersebut merupakan bukti kebesaran jiwa umat Islam, yang oleh Menag Alamsjah Ratu Perwiranegara disebut sebagai “hadiah terbesar umat Islam” untuk Negara Republik Indonesa. Dengan demikian Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara tidak lepas dari tokoh-tokoh kunci Muhammadiyah.
Dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan dan mempertahankan kemerdekaan, kontribusi Muhammadiyah selain melalui Soedirman dalam perang gerilya yang menentukan tegaknya kedaulatan Indonesia ketikan agresi Belanda II 1948-1949. Bersamaan dengan perang gerilya, aksi mempertahankan Indonesia dari serbuan kembali Belanda di DIY dan Jawa Tengah para tokoh Muhammadiyah menggerakkan aksi Askar Perang Sabil (APS), yang merupakan perlawanan umat Islam yang luar biasa militan demi mempertahankan bangsa dan tanah air. APS merupakan sebuah organisasi kelaskaran yang terbentuk atas prakarsa para ulama Yogyakarta yang sebagian besar berasal dari kalangan Muhammadiyah, sehingga APS dapat dikatakan sebagai organisasi kelaskaran bentukan Muhammadiyah yang berjuang dalam rentang perang gerilya itu.Tokoh utama atau “Panglima Besar APS” adalah Ki Bagus Hadikusumo didukung seluruh tokoh dan anggota Muhammadiyah lainnya. Gerakan perlawanan fisik umat Islam dan kaum santri melawan Belanda ini sangat menentukan eksistensi kedaulatan Indonesia sebagai negara merdeka, meski Muhammadiyah tidak pernah menuntut untuk diabadikan sebagai Hari Nasional. Sejarah akan selalu mencatatnya sebagai jejak gerak kebangsaan Muhammadiyah yang monumental.
Peran tokoh Muhammadiyah Ir Djuanda juga sangat penting dan menentukan dalam menyatukan seluruh kepulauan Indonesia melalui Deklarasi Djuanda 1957, yang menjadi pangkal tolak perjuangan Indonesia di PBB untuk menyatukan lautan dan daratan dalam satu kepulauan Indonesia yang utuh. Perjuangan tersebut berhasil tahun 1982 dengan diakuinya kesatuan laut dan daratan kepulauan Indonesia oleh PBB dalam hukum laut internasional. Suatu perjuangan yang dipelopori kader dan tokoh Muhammadiyah yang juga menjadi Perdana Menteri serta beberapa kali menjadi Menteri di zaman pemerintahan Soekarno. Selain itu, keberadaan Kementerian Agama juga merupakan gagasan tokoh Muhammadiyah dari Jawa Tengah, KH Abu Dardiri, setelah itu Menteri Agama RI pertama ialah HM Rasjidi, yang dikenal ilmuwan atau ulama lulusan Universitas Sourbone Perancis, berasal dari Kotagede Yogyakarta. Sementara Kahar Muzakkir yang menjadi anggota Panitia Piagam Jakarta, sebelumnya sewaktu di Al-Azhar Cairo, berjuang melakukan diplomasi di Timur Tengah sebelum yang lainnya.
Soekarno juga Muhammadiyah, bahkan menjadi pengurus Majelis Pendidikan sewaktu di Bengkulen (Bengkulu). Tokoh utama kemerdekaan dan proklamator serta Presiden pertama Indonesia itu lama bergaul dan “ngintil” (berguru secara informal) dengan Kyai Dahlan sebagaimana beliau akui sendiri. Soekarno beristrikan kader Aisyiyah, Fatmawati yang juga putri Konsul Muhammadiyah Sumatra yakni Hasan Din. Paham Islam progresit atau berkemajuan menjadi dayatarik Soekarno menjadi anggota dan pengurus Muhammadiyah. Presiden berikutnya, Soeharto juga anak didik sekolah Muhammadiyah. Kedua Presiden Indonesia itu dengan segala kelebihan dan kekurangannya sangat berjasa bagi perjalanan sejarah dan pembangunnan bangsa. Banyak para tokoh nasional dan daerah yang berlatarbelakang Muhammadiyah yang tidak dapat disebut satu persatu berjuang untuk kemerdekaan dan pembangunan negara pasca kemerdekaan sampai saat ini.
Konstribusi Berkelanjutan
Muhammadiyah terus berkiprah dan memberi kontribusi besar bagi pencerdasan dan pemajuan bangsa melalui usaha-usahanya di bidang pembaruan paham keagamaan, pendidikan, kesehatan, pelayaanan sosial, pemberdayaan masyarakat, pendidikan politik kebangsaan, dan gerakan dakwah lainnya. Dalam lintasan perjalanan Indonesia telah puluhan hingga ratusan ribu sumberdaya manusia yang terdidik dan berkarakter lahir dari gerakan ini, tanpa mengklaim dirinyan gerakan santri. Tanpa embel-embel santri, justru Muhammadiyah menjadi inklusif, membaur dengan segenap masyarakat dari beragam golongan secara egaliter sebagaimana watak gerakan Islam ini yang demokratis.
Di era mutakhir, Muhammadiyah baik secara organisasi maupun melalui tokoh-tokohnya dari tingkat nasional sampai lokal di seluruh penjuru tanah air terlibat dalam usaha mendidik dan mencerahkan bangsa mewujudkan cita-cita Indonesia merdeka. Semua pergerakan Muhammadiyah itu berkontribusi bagi pencerdasan, kemajuan, dan perubahan kehidupan bangsa Indonesia menju tercapainya cita-cita nasional dalam integrasi jiwa keislaman dan keindonesiaan yang kental. Hatta ketika melakukan kritik terhadap kondisi bangsa, Muhammadiyah melakukannya secara konstruktif yang moderat dan non-politik praktis sesuai Kepribadian dan Khittahnya sebagai wujud rasa memiliki dan kecintaan terhadap Indonesia. Kritik Muhammadiyah tidak bersifat dan berwujud aksi politik praktis, tetapi merupakan sikap moral berbasis dakwah karena Muhammadiyah bukanlah gerakan dan aksi politik praktis. Boleh jadi Muhammadiyah tidak tampak sering mengambil langkah kontroversi, tetapi konsisten dalam usaha membangun Indonesia secara nyata tanpa banyak bicara dan retorika. Pergerakan Muhammadiyah itu sampai ke daerah-daerah tertinggal, terjauh, dan terdepan di seluruh kepulauan Indonesia dalam koridor Prinsip, Kepribadian, dan Khittahnya sebagai organisasi keagamaan dan kemasyarakatan non-politik praktis.
Muhamamdiyah sejak berdirinya hingga saat ini terus berkiprah memajukan bangsa dengan tulus dan penuh pengkhidmatan untuk seluruh warga bangsa. Muhammadiyah memiliki teologi dan praksis “Al-Ma’un” dalam mengembangkan pilantropi sosial yang bersifat inklusif. Gerakan Muhammadiyah untuk mengembangkan kehidupan bersama seluruh mayarakat juga dilakukan melalui lembaga-lembaga pendidikan, kesehatan, pelayanan sosial, ekonomi, pemberdayaan masyarakat, dan usaha-usaha lainnya dalam program praksis sosial dan pilantropi yang membebaskan, memberdayakan, dan memajukan masyarakat. Termasuk program kemasyarakatan yang dilakukan oleh organisasi perempuan Muhammadiyah yakni Aisyiyah, yang mengembangkan program-program inklusif di seluruh daerah dan kawasan Indonesia melalui praksis-sosial pemberdayaan masyarakat dan gerakan philantropy Islam.
Di Indonesia bagian Timur seperti di Papua dan Nusa Tenggara Timur di mana umat Islam minoritas, Muhammadiyah melakukan usaha-usaha di bidang pendidikan, kesehatan, pelayanan sosial, dan pemberdayaan masyarakat. Di Papua Muhammadiyah mendirikan Perguruan Tinggi dan Sekolah-Sekolah, pelayanan kesehatan dan pelayanan sosial bagi penduduk setempat yang mayoritas Kristen dan Katholik, sebagai sarana atau jalan mengembangkan integrasi sosial. Guru atau dosen yang beragama Kristen dan Katholik ada yang mengajar di lembaga pendidikan Muhammadiyah tersebut, termasuk mengajarkan kedua agama tersebut. Muhammadiyah juga mengembangkan program pemberdayaan masyarakat untuk etnik Kokoda di Papua Barat, tanpa terhalang oleh perbedaan agama dan etnik. Gerakan ini bagi Muhammadiyah merupakan wujud pluralisme Islam yang membumi, bukan retorika dan jargon di atas kertas. Muhammadiyah berbuat nyata bagi kemajuan Indonesia.
Program-program Muhammadiyah untuk kemanusiaan seperti penanggulangan bencana dan pemberdayaan masyarakat di daerah-daerah terjauh dan terpencil secara inklusif telah diakui publik secara luas. Muhammadiyah dan Aisyiyah sangat aktif dalam gerakan di akar-rumput termasuk dalam melaksanakan program penanggulangan bencana seperti di Aceh, Jogjakarta, Sumatra Barat, Nusa Tenggara Barat, dan saat ini di Sulawesi Tengah dan Sulawesi Barat yang tengah berduka. Program kemanusiaan tersebut diselenggarakan secara khusus oleh Muhammadiyah Disaster Management Center (MDMC), Lembaga Zakat Infaq dan Shadaqah (Lazismu), Majelis Pembina Kesehatan Umum (MPKU), Majelis Pembina Kesejahteraam Sosial (MPKS), dan seluruh bagian dari jaringan organisasinya di Indonesia. Gerak penanggulangan hingga usaha-usaha berkelanjutan pasca bencana yang dikelola Muhammadiyah merupakan yang terdepan dan tersigap dalam setiap menghadapi bencana banjir, gempa bumi, dan tsunami meskipun minim publikasi dalam spirit “sedikit bicara, banyak bekerja”. Termasuk kiprah para sukarelawan atau relawannya yang gigih dan penuh pengorbanan, belum terbilang dana puluhan atau jika diakumulasi ratusan milyar yang harus dikeluarkan. Muhammadiyah memberi untuk negeri tanpa pamrih.
Muhammadiyah juga memainkan peranan dalam program resolusi konflik di Philipina Selatan, Thailand Selatan, dan kawasan lain untuk rekonsiliasi dan perdamaian. Selain itu Muhammadiyah juga melaksanakan program-program kemanusiaan di Rohingya dan Cox’s Bazar Bangladesh melalui “Muhammadiyah Aid”. Program kemanusiaan juga dilakukan untuk pembelaan terhadap bangsa Palestina yang masih mengalami nasib buruk dan perlakuan tidak adil di Timur Tengah. Semua dilandasi oleh spirit kemanusiaan bahwa di era peradaban modern semua umat manusia layak hidup bersama tanpa diskriminasi, pendritaan, dan penindasan. Peran kemanusiaan universal tersebut nyaris tanpa slogan-slogan nyaring tentang “Islam rahmatan lil-‘alamim”, karena spirit Islam tersebut bukan disuarakan tetapi justru dipraktikkan oleh Muhammadiyah. Gerakan kemanusiaan semesta ini sekaligus mewakili peran Indonesia untuk dunia internasional. Kehadiran Pimpinan Cabang Istimewa Muhammadiyah dan Aisyiyah di Luar Negeri melalui PCIM-PCIA yang tersebar di berbagai negara sangat penting dalam membangun relasi dan peran internasionalisasi Muhammadiyah sebagai duta Indonesia.
Muhammadiyah telah dan akan terus memberikan sumbangan besar di dalam upaya-upaya mencerdaskan kehidupan bangsa serta mengembangkan politik Islam yang berwawasan kebangsaaan di tengah pertarungan berbagai ideologi dunia. Muhammadiyah memiliki wawasan kebangsaan yang tegas: bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diproklamasikan pada 17 Agustus 1945 merupakan konsensus nasional (dar al-‘ahdi) yang mengikat seluruh komponen bangsa sekaligus bukti sebagai kekuatan perekat, pemersatu, dan pembangun bangsa (dar al-syahadah). Muhammadiyah melalui Muktamar Makassar 2015 merupakan satu-satunya organisasi keagamaan dan kemasyarakatan yang secara resmi organisatoris dan dalam dokumen resmi pula melahirkan deklarasi tentang “Negara Pancasila sebagai Darul Ahdi Wasyahadah”. Inilah matarantai dari sikap para tokoh Muhammadiyah tahun 1945 yang melahirkan konsensus rumusan final Pancasila. Bahwa Idonesia adalah Negara Pancasila hasil konsensus seluruh kekuatan nasional yang tidak boleh diubah atas alasan apapun dan oleh siapapun, serta harus diisi atau dibangun menjadi negara yang benar-benar merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur sebagaimama tujuan Indonesia merdeka dan menjadi cita-cita nasional Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diletakkan oleh para pendiri negara tahun 1945.
Kiprah Muhammadiyah dalam kehidupan keumatan, kebangsaan, dan kemanusiaan universal melekat dengan nilai dan pandangan Islam yang berkemajuan. Pendiri Muhammadiyah sejak awal pergerakannya senantiasa berorientasi pada sikap dan gagasan yang berkemajuan. Sebab, Muhammadiyah sungguh-sungguh percaya bahwa Islam merupakan agama yang mengandung nilai-nilai kemajuan. Islam adalah agama kemajuan (din al-hadlarah) yang diturunkan untuk mewujudkan kehidupan umat manusia yang tercerahkan dan membawa rahmat bagi semesta alam. Muhammadiyah, dengan pandangannya mengenai Islam sebagai agama kemajuan, senantiasa berusaha untuk mengintegrasikan nilai-nilai keislaman dan keindonesiaan. Integrasi keislaman dan keindonesiaan diwujudkan dalam gerakan kemajuan bagi Indonesia.
Muhammadiyah terus berkiprah tidak kenal lelah untuk membangun kemajuan Indonesia milik bersama, bukan untuk satu golongan atau kekuatan tertentu. Indonesia harus menjadi milik semua rakyat di seluruh tanah air, tidak menjadi milik segelintir orang atau kelompok tertentu, sebagaimana pesan Soekarno dalam pidatonya di sidang BPUPKI tahun 1945 yang menyatakan, bahwa “Kita hendak mendirikan suatu negara semua buat semua. Bukan buat satu orang, bukan buat satu golongan, baik golongan bangsawan, maupun golongan yang kaya, tetapi semua buat semua”. Ketika masih terdapat sekelompok kecil menguasai hajat hidup Indonesia maka negeri ini belum menjadi milik seluruh rakyat sebagaimana sila Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia dalam sila kelima Pancasila. Ini kewajiban luhur seluruh pejabat, elite, dan aparatur negara plus kekuatan-kekuatan nasional di seluruh Bumi Pertiwi Indonesia.
Indonesia milik bersama maka masalah pun niscaya diselesaikan secara bersama dan dengan kebersamaan. Dalam semangat Persatuan Indonesia jika pemerintah, semua lembaga negara, kekuatan politik, dan seluruh komponen bangsa dari pusat sampai daerah menyatukan tekad dan langkah bersama dalam membangun Indonesia yang hasilnya akan dahsyat bagi masa depan Indonesia. Para pejabat negara di seluruh lembaga pemerintahan harus memiliki komitmen dan moralitas tinggi dalam mewujudkan cita-cita nasional yang diletakkan para pendiri negara lebih dari sekadar tanggungjawab verbal. Segenap penyelenggara negara melalui eksekutif, legislatif, yudikatif, dan semua institusi pemerintahan bertanggunjawab dan berkewajiban memotong akar kesenjangan sosial-ekonomoni yang serius ini dengan kemauan politik tinggi memajukan kesejahteraan umum dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Jangan butatuli terhadap kondisi hidup rakyat yang sulit dan masih dililit persoalan kemiskinan dan ketertinggalan. Lebih-lebih dengan dampak pandemi Covid-19 yang sangat berat saat ini, diperlukan kerja keras dan kebersamaan.
Kini ketika bangsa menghadapi musibah besar pandemi Covid-19 Muhammadiyah dengan Mumammadiyah Covid-19 Command Center (MCCC), Aisyiyah, dan seluruh jaringan organisasi dan amal usahanya bergerak di garis depan dalam penanganan pandemi yang telah merenggut ratusan jiwa dan terinfeksi positif. Ratusan miliar rupiah telah dikeluarkan, didukung peran nyata 80 Rumah Sakit PKU serta amal usaha Muhammadiyah di berbagai daerah, dan berbagai aktivitas nyata lainnya dilaksanakan untuk tugas kemanusiaan nirpamrih tersebut. Muhammadiyah atas kiprah kemanusiaan tersebut memperoleh apresiasi dan penghargaan tinggi dari pihak luar, meskipun spirit gerakan Islam ini ialah “Sedikit bicara, banyak bekerja”, serta “Siapa menanam, mengetam”.
Muhammadiyah tidak akan pernah lelah berkiprah untuk bangsa menuju Indonesia Berkemajuan. Semangat Muhammadiyah dengan pandangan Islam Berkemajuan ialah mengemban misi dakwah dan tajdid untuk perubahan nasib bangsa menuju kehidupan yang lebih baik dengan membangun pusat-pusat keunggulan agar Indonesia sebagai bangsa dan negara menuju arah yang benar menuju peradaban berkemajuan. Muhammadiyah menyadari nasib suatu bangsa hanya akan berubah jika bangsa itu sendiri memiliki kesadaran dan ikhtiar untuk berubah sebagaimana firman Allah dalam Al-Quran:
إِنَّ ٱللَّهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّىٰ يُغَيِّرُوا۟ مَا بِأَنفُسِهِمْ
Artinya: “Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri” (QS Ar-Ra’du: 11).
Muhammadiyah dengan 167 perguruan tinggi, 20 ribu lebih TK Aisyiyah dan perguruan tingggi serta amal usaha Aisyiyah, ribuan sekolah dasar dan menengah maupun madrasah dan pondok pesantren, 500 lebih rumah sakit dan balai kesehatan, ratusan lembaga pelayanan sosial, usaha ekonomi, dan amal usaha lainnya merupakan kekuatan nasional yang besar bagi kemajuan Indonesia. Peran Muhammadiyah tersebut sangat signifikan, sehingga tanpa kehadiran Muhammadiyah sebagai kekuatan civil society yang mandiri dan berintegritas maka akan menjadi kevakuman bagi Indonesia. Negara Indonesia tidak mungkin tanpa Muhammadiyah dan kekuatan nasional lainnya.
Jadi, dalam lintasan pergerakan dan perjalanan Muhammadiyah sepenuhnya memberi peran kesejarahan yang penting dan menentukan bagi Indonesia sejak perjuangan sampai pasca Indonesia merdeka. Muhammadiyah ikut mendirikan Republik tercinta ini tanpa pamrih. Ibarat ibu pertiwi yang melahirkan negeri, Muhammadiyah selalu memberi untuk negeri. Ketika negara belum hadir, Muhammadiyah sudah berkiprah bagi kemerdekaan dan pembangunan Indonesia. Bila ada yang mengabaikan dan menganggap negatif keberadaan Muhammadiyah serta organisasi pergerakan yang lahir sebelum Indonesia merdeka, maka pandangan dan sikap demikian menunjukkan jiwa kerdil dan ahistoris. Namun dalam kehidupan kebangsaan Muhammadiyah tetap istikamah di jalan dakwah dan tajdid untuk kemajuan Indonesia. Agar Indonesia menjadi Baldatun Thayyibatun Warabbun Ghafur, yakni negeri dan bangsa yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur dalam limpahan karunia dan ampunan Allah. Muhammadiyah selalu memberi untuk negeri. Muhammadiyah lahir dan hadir untuk Indonesia!