Oleh : Arsyad Arifi
Berbicara tentang hari kemerdekaan 17 Agustus, tentunya tak lepas dari pengibaran sang saka merah putih. Berbicara sang saka merah putih tentunya tak lepas dari Fatmawati binti Hassan Din sang pahlawan yang tak hanya menjahit saka merah putih akan tetapi menjadi pelopor pergerakan kemerdekaan semenjak usia belianya di Bengkulu dan menjadi ibu negara yang tangguh mengahadapi bara api yang menyerang suaminya, Bung Karno ketika zaman penjajahan Jepang. Terlintas dibenak, apa yang menjadi rahasia ketangguhan Fatmawati tersebut ?
Latar Belakang Keluarga Ulama Muhammadiyah yang Militan
Fatmawati (5 Februari 1923 – 14 Mei 1980) adalah putri dari pasangan Hasan Din dan Siti Chadijah. Ia lahir di kampong Pasar Malabero Bengkulu. Beliau dibesarkan dalam lingkungan yang taat beragama. Hasan Din adalah seorang Konsul Muhammadiyah Bengkulu. Beliau juga seorang pegawai perusahaan milik Belanda di Bengkulu (Borneo Sumatera Maatschappij). Perusahaan ini merupakan salah satu perusahaan terbesar milik Belanda di Indonesia saat itu.Sedangkan Ibu Siti Chadijah adalah aktifis ‘Aisyiyah Cabang Bengkulu.
Muhammadiyah tercatat memiliki cabang resmi di luar Jawa pada tahun 1925, yakni Cabang Muhammadiyah Maninjau yang didirikan oleh AR Sutan Mansyur. Akan tetapi Salim dan Hardiansyah dalam bukunya, “Napak Tilas Jejak Muhammadiyah Bengkulu (2019) mencatat secara kronik, jejak kultural dakwah berkemajuan yang menjadi pemantik berdirinya Muhammadiyah telah sampai di Bengkulu pada tahun 1915 yang dibawa oleh para Muballigh Minangkabau.
Seperti yang dituturkan oleh Affandi dalam “Fatmawati : Perempuan Muhammadiyah Pengawal Revolusi”, saat Fatmawati lahir pada 5 Februari 1923, Muhammadiyah belum memiliki cabang resmi di luar Jawa. Tetapi, antara tahun tersebut hingga 1925 saat kedatangan seorang nasionalis pendiri Sarekat Ambon Alexander Jacob Patty di Bengkulu untuk menjalani masa pembuangannya, ditengarai sebagai tahun berdirinya Muhammadiyah sebagai sebuah organisasi pergerakan di Bengkulu.
Dalam otobiografi Fatmawati, Catatan Kecil Bersama Bung Karno (1985) Muhammadiyah ketika itu langsung memanfaatkan kehadiran AJ Patty untuk turut berkiprah dalam pengembangan pendidikan Muhammadiyah yang segera dianggap pemerintah kolonial Belanda sebagai ancaman.
Keputusan Muhammadiyah Bengkulu itu mengakibatkan ayah Fatmawati, Hassandin yang merupakan pegawai perusahaan lima besar Belanda bernama Borsumy (Borneo-Sumatera Maatschappij) sekaligus menjabat sebagai sekretaris Muhammadiyah dituntut oleh pemerintah kolonial untuk memilih satu di antara dua pilihan: keluar dari Borsumy atau menghentikan kegiatannya di Muhammadiyah yang seringkali konfrontatif terhadap pemerintah seperti rapat atau mengadakan arak-arakan yang berujung di kantor polisi.
Suasana tanah air pada 1923-1930 yang subur oleh pergerakan nasional membuat Hassandin tidak berpikir panjang untuk keluar dari Borsumy—yang menyediakan jaminan hidup layak dan memulai hidup dengan pendapatan tak menentu atas keputusannya untuk tetap berkhidmah pada Muhammadiyah sebagai jalur perjuangan kemerdekaan.
Tak kalah dengan Hassandin yang terkenal militan pada Muhammadiyah, ibu Fatmawati Siti Chadijah aktif di dalam ‘Aisyiyah guna memberikan ketrampilan atau mengajar baca tulis. Saat Fatmawati menginjak usia remaja, baik Hassandin maupun Siti Chadijah telah menjabat sebagai konsul Muhammadiyah dan ‘Aisyiyah.
Fatmawati didik melalui Nasyi’atul ‘Aisyiyah, Organisasi Puteri Muhammadiyah
Sejak kecil Fatmawati telah belajar agama Islam antara lain membaca dan menulis Alquran pada sore hari kepada datuknya dan kepada seorang guru agama Islam.
Seperti yang termaktub dalam buku, “100 Tokoh Muhammadiyah yang Menginsipirasi”, Ketika berusia enam tahun, Fatmawati dimasukkan ke Sekolah Gedang (Sekolah
Rakyat), namun kemudian dipindahkan ke HIS, sekolah berbahasa Belanda (1930). Ketika duduk di kelas tiga, Fatmawati dipindahkan lagi oleh ayahnya ke sekolah HIS Muhammadiyah.
Hasan Din menghadapi masalah ekonomi yang cukup berat. Untuk meringankan beban orang tuanya, Fatmawati membantu menjajakan kacang bawang yang digoreng oleh ibunya atau menunggui warung kecil di depan rumahnya. Keluarga Hasan Din kemudian pindah ke Palembang, mencoba membukausaha percetakan, dan Fatmawati melanjutkan sekolah kelas 4 dan 5 di HIS Muhammadiyah Palembang.
Sejak kecil sudah kelihatan bakat seninya terutama seni membaca Alquran dan sangat supel dalam bergaul. Kepintarannya membaca Alquran pernah ditunjukkan pada pembukaan Kongres Muhammadiyah di Palembang tahun 1936. Hingga Pengajar Program Studi Kearsipan Sekolah Vokasi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Wahjudi Djaya, menggambarkan, “Bu Fatmawati jago membaca Al-Quran di Muktamar Muhammadiyah,” kata Wahjudi.
Beliau semenjak masa remajanya telah aktif menjadi pelopor Nasyi’atul ‘Aisyiyah di Bengkulu. Karena jiwa militansinya kepada Muhammadiyah yang sangat besar, tercatat pada 1938, Fatmawati yang terpaksa berhenti sekolah dasar tingkat 5 tetap giat dalam organisasi Nasyi’atul ‘Aisyiyah. (Lihat : Affandi, “Fatmawati: Perempuan Muhammadiyah Pengawal Revolusi).
Penanaman norma Islam ahlussunnah wal jamaah yang mendalam dan norma perjuangan anti-kolonialisme menjadi kunci kesetiaannya di Muhammadiyah melalui Nasyi’atul ‘Aisyiyah. Dari rahim inilah muncul sesosok Fatmawati yang tangguh dan progresif menatap visi-misi kemerdekaan.
Perjuangannya Setelah Menjadi Ibu Negara
Firmansyah dalam “Kisah Fatmawati Teteskan Air Mata Saat Menjahit Merah Putih” menerangkan bahwa setelah menikah dengan Soekarno, menjadi Ibu Negara merupakan peran yang sangat berat dan penting bagi Fatmawati. Ia harus berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain dan terpisah dari Bung Karno untuk menghindari penangkapan.
Selama masa memperebutkan kemerdekaan, Fatmawati berperan ganda. Selain sebagai Ibu Negara, ia juga berperan dalam menyiapkan dan memberikan ransum untuk pejuang di pasukan terdepan pertempuran.
Tidak saja urusan makan, Fatmawati kerap juga menjadi orator ulung untuk menyemangati rakyat dan pejuang merebut kemerdekaan. Kepiawaian berorasi Fatmawati ini membuat Bung Karno makin bangga dan mencintai Fatmawati.
Bahkan, saat pasca-kemerdekaan, ia juga dikenal pandai menjalin hubungan dengan para kepala negara pada level internasional.
Affandi juga menambahkan bahwasanya Fatmawati menjadi saksi pidato lahirnya lima sila (Pancasila) oleh Soekarno dalan sidang PPPK atau Panitia Penyelidik Persiapan Kemerdekaan) Indonesia pada Juni 1945.
Akan tetapi yang karya beliau yang sangat monumental adalah membidani sang saka merah putih. Bendera kebangsaan yang kini berkibar dengan penuh wibawa di seantero negeri dijahit oleh beliau.
Tangis Fatmawati Ketika Menjahit Sang Saka Merah Putih
Sejumlah kutipan Fatmawati yang cukup heroik ditulis oleh Bondan Winarno (2003) dalam bukunya Berkibarlah Benderaku.
“Berulang kali saya menumpahkan air mata di atas bendera yang sedang saya jahit itu,” kenang Fatmawati, istri Proklamator Republik Indonesia, Soekarno.
Ungkapan tersebut dikarenakan Fatmawati sedang hamil tua dan sudah bulannya untuk melahirkan Guntur Soekarnoputra, putra sulung pasangan Bung Karno dan Fatmawati.
“Menjelang kelahiran Guntur, ketika usia kandungan telah mencukupi bulannya, saya paksakan diri menjahit bendera Merah Putih,” kata Fatmawati.
Dua hari menjahit, baru selesai. Ia menghabiskan waktunya menjahit bendera besar itu di ruang makan dengan kondisi fisik yang cukup rentan.
“Jadi saya jahit berangsur-angsur dengan mesin jahit Singer yang dijalankan dengan tangan saja. Sebab, dokter melarang saya menggunakan kaki untuk menggerakkan mesin jahit,” katanya.
Fatmawati baru menyelesaikan jahitan bendera Merah Putih itu dalam waktu dua hari.
Bendera Merah Putih berukuran 2 x 3 meter itu akan dikibarkan pada tanggal 17 Agustus 1945 di Jalan Pegangsaan Timur 56, Jakarta.
Bendera yang dijahit Fatmawati itu menjadi Bendera Pusaka hingga saat ini. “Tak terbantahkan, peran dan fungsi bendera Merah Putih merupakan identitas negara paling abadi bersama lagu kebangsaan Indonesia Raya yang selalu kita peringati di hari Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus,” ujar Guruh Soekarno Putra pada pengantar Buku Fatmawati “Catatan Kecil Bersama Bungkarno”.
Arsyad Arifi, Ketua PCIM Yaman