Pahlawan Tak Dikenal Masa

PAHLAWAN TAK DIKENAL MASA
(Peran para Ulama dan Santri dalam perjuangan Kemerdekaan Indonesia)

Oleh : Tiyar Firdaus

Generasi suatu bangsa akan kehilangan integritasnya ketika perjuangan pendahulunya dihapuskan dalam catatan sejarah. Sebagaimana para Orientalis Barat mendesain sejarah Islam, sirah Rasulullah dan para Sahabat dalam bingkai “De-Islamisasi”. Ini pun terjadi pada Ulama dan Santri serta umat Islam dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia.

Di tengah mundurnya negara Imperialis akibat serangan dari umat Islam. Maka didatangkanlah para Sarjana Barat, seperti Snouck Hurgronje, J.H kern, dan J.L.A Brandes untuk bertugas menuliskan dan memutar balikan fakta sejarah perjuangan umat Islam.

Nusantara, meliputi kepulauan yang terpisah-pisah dari Sabang sampai Merauke ditambah wilayah Malaysia, Singapura, Brunei dan sebagian kecil Filipina bagian selatan atau disebut sebagai kawasan Hindia-Timur. Semuanya dikendalikan oleh para Sultan Kerajaan seperti Kerajaan Pasai, Kerajaan Majapahit, Kerajaan Demak, Kerajaan Banten, dan lainnya.

Memasuki abad Ke-16 M, bangsa Portugis dan Spanyol memasuki Nusantara dan merebut Malaka sebagai pusat niaga Islam di bawah kekuasaanya Afonso de Albuquerque. Penyerangan kesultanan Aceh dan kesultanan Demak terhadap Kolonial dilancarkan guna menguasai kembali Malaka. Kemudian, Lari ke selatan dan menguasai Sunda Kelapa, namun berhasil direbut kembali oleh Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati). Di lain tempat mereka menguasai Mataram, namun Sultan Babullah bisa merebutnya kembali dari tangan Portugis, sehingga tahun 1527 M para Sultan beserta Ulama dan Santri mampu mengusir Portugis dari tanah air.

Memasuki abad Ke-17 M, Imperialis Belanda dan Inggris menjajah tanah air dan mendirikan Verenigde Oost Indische Compagnie (VOC) dan East Indian Company (EIC) pada tahun 1602 M. Para penjajah mengalami perlawanan sengit dari para Ulama dan Santri, juga para Sultan: Sultan Hasanuddin Makassar, dan dari Mataram Sultan Agung, begitupun di Jawa Pangeran Diponegoro, di Sumatera ada Imam Bonjol memimpin perang Padri 1821-1837M. Syekh Abdul Shomad Al-Palembangi, Syekh Arsyad Albanjari, Syekh Muqoyyim dan Kyai Abbas di Cirebon, Habib Ali Habsyi Kwitang di Jakarta, Habib Ustman bin Husein Al Alaydrus dari Bandung, Kyai Ahmad Sanusi dari Sukabumi, Syekh Syubkhi dikenal dengan Ulama Bambu Runcing. Dan masih banyak lagi, tak mungkin penulis menuliskan semuanya disini.

Namun, Bukti peninggalan makam para Ulama di setiap daerah, juga akan cerita setiap tokoh dari penduduk setempat yang tak tercatat dalam catatan sejarawan di seluruh nusantara merupakan bukti kuat sejarah pergerakan Ulama dalam menyebarkan Islam dan melawan penjajahan.

Menggeliatnya sistem politik kristenisasi, politik Etis, dan Asosiasi yang akibatnya menyengsarakan penduduk pribumi yang semakin tertindas. Maka untuk membangkitkan politik nasional sebagai perlawanan politik Belanda, maka Umar Said Tjokrominoto (pada usia muda 30 Tahun) dan kawannya Haji Agus Salim meneruskan Sjarikat Islam sebagai wadah umat Islam agar mau berorganisasi menggalang persatuan dan kesatuan. Dari situlah umat Islam akan memiliki kekuatan, dan hanya dengan kekuatan itulah akan memperoleh kemenangan. Dari kemenanganlah kita akan mencapai kemerdekaan.

Sehingga Sjarikat Islam berhasil membawa banyak sekali masa pendukungnya. Dan peran serta pergerakan Sjarikat Islam sangat mempengaruhi dalam melawan penjajahan, bahkan ditakuti bangsa kolonial pada waktu itu.

Untuk melemahkan perlawanan Ulama, Santri dan segenap umat Islam. Dan usulan dari penasihat Belanda Snouck Hurgronje: “Tidak satupun yang dapat diperbuat untuk meredakan perlawanan para Ulama kecuali sampai ditumpas sampai habis. Oleh karena itu, dirancanglah Ruth Less Opperattion (Operasi tanpa belas kasih).”

Maka didirikanlah sistem Politik Etis: melalui perekonomian diberlakukanlah “Tanam Paksa” pada tahun 1830 M- 1919 M. Sehingga kelaparan melanda umat Islam dan petani pribumi harus pergi meninggalkan keluarganya untuk kerja paksa.

Sebab dari lemahnya sebuah perekonomian bangsa, maka akan melemah pula kekuatan dan persatuan penduduk negeri. Sehingga para Bupati dan Sultan banyak mengadahkan tangannya guna memenuhi kebutuhan hidup dan gaji dari hasil keringat para buruh kerja paksa pribumi dengan cara tunduk di bawah perintah Belanda.

Untuk menjawab tantangan ini; para Ulama bergerak membangkitkan perekonomian pribumi melalui pasar sebagai gerbang kebangkitan nasional. Kemudian Hadji Samanhoedi mendirikan Sjarikat Dagang Islam pada 16 Oktober 1905 dan Nahdhtotul Tujar tahun 1920 M oleh K.H Wahab Hasbullah sebagai wadah persatuan dan kesatuan dalam memperbaiki kondisi perekonomian pribumi lewat perniagaan.

Seharusnya kebangkitan Syarikat Dagang Islam atau pendirinya Hadji Samanhoedi sebagai pelopor kebangkitan Nasional dijadikan peringatan “Hari Kebangkitan Nasional”. Sebab Sjarikat Dagang Islam merupakan awal organisasi kebangkitan Nasional pada masa itu. Namun, sejarawan Barat mencatumkan Hari Lahir Boedi Utomo lah yang dicantumkan pada Harkitnas 20 Mei 1908 M.

Politik Etis melalui Edukasi: melarang anak pribumi untuk mengenyam bangku pendidikan. Sebab jika generasi pribumi pandai dan cerdas, maka penjajahan akan segera berakhir, dan Nusantara akan merdeka.

Para Ulama menjawab tantangan ini dengan memaksimalkan potensi pendidikan pesantren sebagai basis persiapan masa depan bangsa, maka dari sinilah akan lahir tokoh-tokoh penggerak nasional. Lahirlah tokoh nasionalis agamis KH. Ahmad Dahlan jebolan pesantren, dengan mendirikan organisasi Persyarikatan Muhammadiyah 18 November 1912 M sebagai wadah yang berperan mencerdaskan anak bangsa di tengah kebodohan akibat penjajahan. Melalui lembaga pendidikan di berbagai daerah, hingga luar pulau Jawa.

Namun sayang, sejarah menulis bahwa julukan “Bapak Pendidikan” bukan KH. Ahmad Dahlan, melainkan Ki Hadjar Dewantara lewat lembaganya Taman Siswa yang lahir sepuluh tahun setelah berdirinya Muhammadiyah (1922 M).

Di tengah bercerainya umat Islam dan komunikasi hubungan antara Ulama berjauhan, untuk membangkitkan sebuah persatuan Ulama maka didirikanlah “Persyarikatan Oelama” oleh K.H Abdul Halim. Sehingga para Ulama bisa terhimpun dalam sebuah organisasi demi terwujudnya nasionalisme dan kesadaran bertanah air.

Kemudian di tengah melebarnya permasalahan kegamaan dan simpang siur politik Nasional, disertai runtuhnya Turki Utsmani menjadi negara sekuler, dan merebaknya wahabi sebab lengsernya Raja Husein (berpaham Aswaja) sang penguasa Arab oleh Ibnu Su’ud (Mertuanya Syekh Abdullah bin Wahab, pendiri Salafi Wahabi) yang mendapat sokongan langsung dari kerajaan Protestan Anglikan Inggris, sehingga semuanya akan berpotensi buruk terhadap bangsa dan agama.

Maka, Syekh Hasyim Asy’ari mendirikan “Nahdhlotul Ulama” pada 13 Januari 1926 M sebagai wadah kebangkitan para Ulama untuk meneguhkan Ajaran Ahlusunnah Wal Jamaah dan membentengi umat dan bangsa dari paham Kristenisasi, Sekulerisasi dan Liberalisasi. Sehingga bisa terjalin dan tertata secara rapih pergerakan para Ulama.

Para Ulama NU inilah yang kemudian hari akan menjadi penggerak di setiap daerah masing-masing melawan penjajahan dan melindungi tanah air. Sehingga meletusnya Resolusi Jihad Nahdhotul Ulama 22 Oktober 1945, kemudian di lanjut Resolusi jihad 7 November 1945 yang dipelopori oleh para Ulama, Santri dan kaum muslimin.

Di tengah berkecamuknya Perang Dunia di barat, dan perak Asia Pasifik di timur. Dalam situasi Belanda adalah musuh Jepang dalam Perang Dunia selain juga harus berhadapan dengan Amerika, China, Inggris dan Australia. kebetulan Belanda sedang berbenturan dengan Indonesia, maka Jepang mengambil kesempatan dengan mengadakan kerjasama.

Dari kerjasama inilah akan lahir Tentara Pembela Tanah Air (Peta) dan Majlis ‘Ala Islam Indonesia Sebagai persiapan kekuatan melawan Eropa dalam perang Dunia. Dari kerjasama baik itulah Belanda mengalami kekalahan dan menyerah kepada bala tentara Indonesia dan Dai Nippon 8 Maret 1942 M dan menggulung tikarnya dari bumi pertiwi.

Bukan berarti penjajahan berakhir. Jepang, ketika mengalami kemunduran akibat Perang Dunia, mereka menindas dan mengkhianati Indonesia dengan menjajah penduduk pribumi.
Maka para Ulama mengatasinya dengan mengoptimalkan sistem yang sudah dibangun Jepang, yaitu Tentara Pembela Tanah Air, kemudian lahirlah laskar Hizbullah. Dengan persatuan dan kesatuan umat Islam sehingga dapat mengalahkan Jepang, di samping hancurnya Hiroshima dan Nagasaki akibat perang dunia II, maka lahirlah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945.

Dari sini kita belajar, bahwa para Ulama selalu berkiprah sesuai dengan tantangan zamannya. Mereka tidak hanya memahami permasalahan agama, melainkan juga permasalahan duniawi dan keilmuan umum, terutama sejarah. Sehingga bisa membangun peradaban gemilang.

Suatu generasi bangsa yang buta akan sejarah pendahulunya, maka tunggulah kehancuranya di masa depan. Sebagaimana Bung Karno berkata : “Berapa banyak Ulama memahami hadits, Qur’an dan fiqh, namun kurang memahami sejarah, sekalipun tahu, hanya tahu debu sejarahnya bukan api sejarahnya. Kesempatan inilah diambil Belanda guna mengabadikan penjajahanya.”

75 Tahun sudah kita merdeka, merdeka dari penjajah dhohir bukan penjajahan bathin, mental, jiwa. Sebab pada prakteknya politik Etis masih di terapkan pada kurikulum pendidikan bangsa, meski sekarang kita bisa mengenyam pendidikan, namun pendidikan yang dirancang untuk menjadikan anak bangsa pegawai buruh di perusahaan asing sehabis lulus, baik itu lulusan SMA ataupun Sarjana. Kita bisa lihat fakta kenyataan hidup sekarang.

Begitupun dengan politik Asosiasi, mengarahkan generasi bangsa agar berpandangan dan menghadap ke arah gaya hidup barat dan menjauhkan dari ajaran Islam. Maupun lewat berbagai fashion, media, bahkan keilmuan di perguruan tinggi.

Begitu juga politik lahan terbuka, dimana kekayaan alam diolah bangsa asing, masih dikuasai bangsa kapitalis. Indonesia punya kita, tanah air kita. Kita yang punya rumah namun kita diperbudakan oleh tamu yang tak pernah diundang. Jelas ini membutuhkan waktu dan perjuangan keras dari setiap individu generasi bangsa untuk memerdekan bangsa kita seutuhnya.

Wa Allahu ‘alam

Selamat Hari Merdeka, 17 Agustus 1945.
Marii siapkan mulai hari ini untuk Indonesia masa depan lebih baik lagi…

Tiyar Firdaus, PCIM Yaman, Imam Syafii College

Exit mobile version