Perspektif Fungsionalis terhadap Agama

Perspektif Fungsionalis terhadap Agama

Prof Dadang Kahmad Ketua PP Muhammadiyah

Prof Dr Dadang Kahmad, MSi

Dalam karya klasiknya, The Elementary Forms of Religious Life (1912) Emile Durkheim meletakkan fondasi bagi analisa fungsionalis terhadap fenomena agama. Berbeda dengan kebanyakan sosiolog, yang menganggap agama sebagai sebuah peninggalan masa silam (outmoded relic of timesm past), sosiolog kebangsaan Perancis ini justru menganggap agama sebagai interplay penting dalam kehidupan masyarakat. Bagi Durkheim, semua agama lebih merupakan sebagai asal usul sosial (social origin) dibanding asal usul supranatural (supranatural origin). Dengan demikian semua agama bisa dijelaskan secara sosiologis.

Durkheim juga berhipotesis, bahwa semua institusi sosial termasuk agama berkontribusi pada pembentukan harmonisasi dan stabilitas masyarakat. Melalui proses ritual, tegas Durkheim masyarakat dikondisikan berpartisipasi dalam jamaah dengan terlibat dalam aktivitas yang sama dalam waktu yang sama. Misalnya, shalat Jum’at atau kebaktian bagi kaum Nasrani yang dilaksanakan para jamaah dalam waktu yang periodik memberikan kepada para jamaah sesuatu yang sama dan mengarfirmasi kembali persamaan norma dan nilai dari masyarakat luas. Terakhir, agama juga menyediakan perangkat simbol-simbol, seperti bulan bintang, masjid, ka’bah bagi umat muslim, salib bagi umat kristiani. Simbol-simbol tersebut mewakili agama kepada yang lain sekaligus mengingatkan para pemeluk (jamaah) terhadap persamaan keyakinan dan persatuan jamaah.

Kelompok agama (religious groups) dapat bertahan sejauh bisa memenuhi kebutuhan masyarakat tersebut. Demikian inti gagasan teori fungsional dalam menganalisa agama. Hal ini berlaku bagi semua institusi apapun termasuk agama dan politik. Organisasi keagamaan sebagaimana laiknya organisasi sosial lainnya berfungsi untuk membentuk tingkah laku manusia dengan pola yang sudah ditentukan. Karena itu baik pola yang bersumber dari agama maupun ajaran etik akan menghadapi dilema yang sama. Dilema tersebut adalah: apakah organisasi keagamaan akan melestarikan kemurnian etik dan spiritualnya dengan resiko lingkungan pengaruh sosialnya terbatas, atau jika organisasi tersebut ingin berpengaruh kuat dalam masyarakat tertentu, mungkin resikonya adalah mengorbankan semua atau sebagian dari cita-cita utamanya sendiri.

Hipotesis tersebut bisa berlaku bagi komunitas agama apa saja. Barangkali Muhammadiyah juga mengalami dilema kelembagaan yang sama.Di satu sisi hendak mempertahankan identitasnya sebagai lembaga yang modern, inovatif dan relevan. Tetapi di sisi lain juga dibebani oleh semakin banyaknya anggota, bertambah luasnya wilayah gerakan yang resikonya pada melemahnya kontrol keorganisasian.

Dengan memperhatikan keterbatasan-keterbatasan pada semua lembaga kemanusiaan, sarjana sosiologi J.M Yinger telah berusaha mendapatkan titik temu teoritik dari keefektifan yang maksimum bagi organisasi keagamaan tersebut. Titik temu itu akan segera tercapai apabila anggota-anggota dan kekuatan suatu organisasi telah cukup memadai untuk melancarkan pengaruh sosial yang kuat tanpa mengorbankan tujuan-tujuan etik dan keagamaannya yang esensial. (IM)

Sumber: Majalah SM Edisi 4 Tahun 2020

Exit mobile version