JAKARTA, Suara Muhammadiyah – Dewan Pimpinan Pusat Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (DPP IMM) menggelar Tanwir XIXX IMM dengan tema “Mengabdi untuk Negeri, Merumuskan Solusi Organisasi di Tengah Pandemi”, Kamis (20/8). Karena situasi masih pandemi, tanwir yang dihadiri seluruh perwakilan Dewan Pimpinan Daerah (DPD) IMM se-Indonesia ini dilaksanakan secara daring dan disiarkan secara langsung di kanal Youtube DPP IMM.
Dalam pembukaan agenda tanwir tersebut, turut hadir Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Prof Dr Haedar Nashir MSi. Menurutnya Tanwir ini berjalan dalam suasana pandemi Covid-19, yang juga sama dengan tanwir Muhammadiyah dan ‘Aisyiyah beberapa waktu lalu. “Maka, dapat diselenggarakan tanwir yang efisien, tapi tetap tertib, dan menghasilkan hasil yang sesuai dengan apa yang direncanakan,” katanya, Kamis (20/8).
Haedar juga menjelaskan, prinsip PP Muhammadiyah dalam mengambil langkah menunda muktamar bagi Muhammadiyah dan Aisyiyah selama kondisi pandemi belum membaik. “Bagi organisasi otonom, kami persilakan mengambil keputusan terbaik yang dapat melangsungkan organisasi tetapi juga tetap saksama di dalam menghadapi keadaan musiah Covid-19 yang sampai sekarang belum reda,” ujarnya.
Haedar juga mengajak para peserta tanwir untuk menggiatkan ikhitar, menggalakkan protokol kesehatan, dan berdoa kepada Allah agar musibah pandemi ini segera dicabut. “Tidak ada peristiwa musibah itu kecuali izin dan kuasa Allah. Dan Allah-lah yang juga bisa mencabut musibah ini. Tentu dengan ikhitar yang optimal dari kita,” kata ketum PP Muhammadiyah tersebut.
Tingkatkan Kaderisasi
Dalam sambutannya, Prof Haedar juga mengucapkan terima kasih atas kiprah IMM selama ini yang telah menghasilkan kader-kader terbaik bagi persyarikatan, umat, dan bangsa. Untuk itulah, dia berpesan agar IMM dapat meningkatkan kaderisasi secara sistematis dan intensif.
“Tingkatkah kaderisasi secara sistematis, secara intensif agar perkaderan, selain bisa berjalan dengan baik, juga bisa menghasilkan kader ikatan yang sesuai harapan peryarikatan, umat, dan bangsa. Sehingga ke depan, kader IMM bukan hanya dapat berdiaspora di dalam struktur internal maupun eksternal, tetapi juga memainkan peran strategis, bahkan menjadi uswah hasanah,” pesannya.
Haedar juga mengatakan, dari kader IMM maupun angkatan muda Muhammadiyah lainnya terletak masa depan Muhammadiyah dan ‘Aisyiyah, dalam tempo 20-30 bahkan satu abad ke depan.
Persyarikatan Muhammadiyah berdiri pada 1912, lebih dari satu abad silam. Dengan begitu, Muhammadiyah saat ini tengah memasuki fase abad keduanya. Dan untuk menyongsong abad kedua Muhammadiyah membutuhkan peran-peran strategis dari kader-kadernya, termasuk di dalamnya kader-kader IMM. Maka, Haedar menyampaikan, diperlukan kader IMM yang betul-betul siap untuk menjadi kader persyarikatan, umat, dan bangsa.
“Bahkan, menjadi kader dalam kancah global sebagai bagian dari dinamika baru zaman, ketika kita berada dalam era revolusi modern abad ke-21 dan globalisasi yang niscaya ini,” ujar Prof Haedar, Kamis (20/8).
Perkuat Intelektualisme
Selain itu, Haedar juga menyampaikan bahwa IMM harus memperkuat potensi intelektualisme. “Perkokoh, perkuat, dan mobilisasi potensi intelektualisme IMM sebagai basis bagi pembaharuan Muhammadiyah ke depan,” ujarnya.
Muhammadiyah, kata Haedar, lahir dengan membawa misi dan menorehkan jejak tajdid. Tajdid Muhammadiyah telah menghadirkan berbagai macam pemikiran yang modern, tetapi berbasis pada nilai-nilai Islam yang kokoh.
Bagi Haedar, watak modern Muhammadiyah ini tidak lepas dari semangat tajdid pendirinya, KH Ahmad Dahlan. KH Ahmad Dahlan ketika merintis pembaharuannya sejak tahun 1889 dengan meluruskan arah kiblat dilanjutkan dengan sekolah modern, rumah sakit, dan seterusnya.
“KH Dahlan membangun perangkat sosial mdoern lewat al-Maun, lahir gerakan filantropi Islam, dan gerakan pemberdayaan, penolong kesengsaraan umum,” jelasnya. Selain itu, dari Muhammadiyah lahir gerakan perempuan yang tidak dimiliki gerakan Islam atau gerakan pembaharu lainnya.
Sosok KH Ahmad Dahlan telah melampaui zamannya sehingga dia mampu menghadirkan Islam yang berkemajuan, Islam yang progresif. “Dari pikiran dan generasi awal inilah, Islam dalam konteks pembaruan, selain pemurnian orientasi utamanya adalah pembaharuan itu sendiri. Maka sejak itu kita kenalkan pergerakan Muhammadiyah dengan istilah Islam berkemajuan, Islam pencerahan, dan Islam sebagai agama yang membangun peradaban atau dienul hadlarah,” katanya menjelaskan.
Inilah yang perlu kita pahami, kata Haedar, agar IMM sebagai generasi muda Muhammadiyah mampu menangkap api pembaharuan KH Ahmad Dahlan ini sebagai basis dari intelektualisme Muhammadiyah di tubuh persyarikatan tercinta. Haedar juga menekankan agar generasi muda Muhammadiyah tidak hentinya membaca buku dan memperkaya wawasan kemuhammadiyahannya. Hal itu untuk memahami secara mendalam tentang watak tajdid Muhammadiyah sebagai gerakan Islam yang berkemajuan.
Haedar menilai, sudah saatnya dari rahim IMM, gerakan intelektual Muhammadiyah mendapat arus baru yang lebih dalam, lebih luas, dan melintasi. “Mudah-mudah ini menjadi agenda di tanwir dan dalam bergerak, ber-Muhammadiyah,” ujarnya. (Soleh)