17 (Satu Tujuh)-an Melawan Keterjajahan

Demokrasi Indonesia

Ilustrasi

Wahyu Hidayat

Tiga hari yang lalu masyarakat Indonesia baru saja merayakan hari kemerdekaan yang ke-75. Beberapa instansi mengadakan upacara, sebagian penduduk juga mengadakan berbagai perlombaan untuk sekadar turut memeriahkan. Namun, perayaan di tahun ini sedikit berbeda dari tahun-tahun sebelumnya. Tidak ada pawai, juga tidak ada upacara yang begitu besar sebagaimana biasanya. Umumnya upacara di tahun ini hanya melibatkan segelintir orang dari kalangan tertentu. Namun itu semua tidak menghilangkan kecintaan masyarakat terhadap negeri ini tentunya. Hal demikian dilakukan tidak lain dan tidak bukan karena kewaspadaan para pemangku jabatan dalam menangani virus covid-19 agar tidak semakin menyebar dan semakin banyak memakan korban.

Secara de jure, Indonesia memang sudah merdeka sejak 75 tahun yang lalu, yaitu ketika Ir. Soekarno memproklamasikan kemerdekaan republik Indonesia. Lantas, bagaimana dengan fakta yang ada di lapangan? Jika melihat keadaan di sekitar, beberapa budaya atau perilaku yang dilakukan oleh sebagian besar masyarakat Indonesia tampaknya sudah cukup mencerminkan bahwa negara Indonesia belum sepenuhnya merdeka. Budaya itu mengakar kuat, hingga bisa disimpulkan bahwa Indonesia masih begitu jelas bentuk keterjajahannya.

Budaya Indonesia

Sebelum saya lanjutkan, saya akan mengutip beberapa pengertian mengenai budaya Indonesia. Menurut Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional-Kongres Kebudayaan tahun 1991, Budaya Indonesia adalah seluruh kebudayaan lokal dan nasional yang telah ada di Indonesia sejak sebelum merdeka pada tahun 1945. Sedangkan menurut wikipedia, budaya Indonesia merupakan seluruh kebudayaan nasional, kebudayaan lokal, maupun kebudayaan asal asing yang telah ada di Indonesia sejak sebelum merdeka. Jika dipisah makna dari kedua kata tersebut, budaya merupakan sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan dan sulit untuk diubah.

Dari ketiga pengertian di atas, budaya Indonesia dapat didefinisikan sebagai sebuah kebiasaan yang telah menjadi perilaku masyarakat Indonesia dan telah ada sebelum Indonesia merdeka di tahun 1945. Budaya Indonesia tidak hanya mencakup budaya asli bumiputera, namun juga budaya-budaya pribumi yang mendapat pengaruh dari budaya asing seperti Tionghoa, Arab, India dan Eropa.

Budaya yang paling banyak diserap oleh penduduk Indonesia adalah budaya yang diwariskan oleh Belanda. Hal ini tidak begitu mengherankan, mengingat fakta bahwa Belanda menjajah Indonesia dalam kurun waktu yang sangat lama, 350 tahun. Salah satu budaya Belanda (penjajah) yang masih langgeng (atau memang sengaja dilanggengkan) hingga saat ini adalah budaya “mengosongkan bangku bagian depan”.

Sebelum saya lanjutkan tulisan saya, saya akan bercerita sedikit mengenai pengalaman saya di masa lalu, yaitu di masa kuliah. Di masa kuliah, saya beberapa kali mengikuti seminar atau acara semisal. Di beberapa acara yang saya ikuti, saya menemui bangku bagian depan yang masih terlihat kosong saat saya memasuki ruangan, padahal tampak sangat jelas bahwa bangku bagian belakang sudah penuh sesak. Orang-orang lebih memilih duduk di bangku belakang. Yang lebih parahnya lagi, saya juga melakukan hal yang sama, memilih bangku bagian belakang untuk duduk. Tidak tau mengapa, lebih nyaman saja rasanya.

Setelah menjalani lika-liku kehidupan yang cukup panjang, akhirnya saya menyadari bahwa ternyata budaya orang Indonesia yang terbiasa duduk di bangku belakang merupakan bagian dari budaya yang ditanamkan penjajah kepada penduduk Indonesia sejak zaman kolonial. Masyarakat Indonesia sengaja didesain untuk merasa tidak pantas berada di urutan terdepan.

Singkatnya begini. Di zaman penjajahan, masyarakat Indonesia dibagi menjadi 3 bagian; masyarakat Eropa; yang nantinya menjadi masyarakat dengan kasta tertinggi, Asia Timur jauh (India, China, Arab, Jepang) menjadi kasta nomor dua, dan yang terakhir Inlander (pribumi) yaitu masyarakat dengan kelas sosial paling rendah dibanding masyarakat lainnya. Bahkan masyarakat pribumi dipandang tidak memiliki kecerdasan yang sama dengan dua kelas masyarakat di atasnya. Intinya, pribumi merupakan kasta terendah di negerinya sendiri. Pembagian kasta ini diatur dalam Undang-undang yang sah tahun 1854.

Pembagian kasta sebagaimana disebutkan di atas diaplikasikan dalam seluruh lini kehidupan, termasuk posisi tempat duduk. Dalam setiap pegelaran akbar yang didatangi oleh para pejabat, penduduk Eropa selalu diposisikan di bangku terdepan. Posisi kedua diisi oleh para penduduk dari Asia Timur, barulah di bangku terakhir diisi oleh para Inlander atau pribumi.

Orang-orang Eropa yang duduk di bangku terdepan nantinya akan memiliki kebijakan, setiap titahnya akan dipertimbangkan. Bangku urutan kedua yang diisi oleh orang-orang Asia Timur jauh suaranya cukup didengar, sedikit banyak akan menjadi bahan pertimbangan. Sedangkan di bangku terakhir, kehadirannya sama sekali tak diperhitungkan, yaitu pribumi. Penduduk pribumi dianggap tidak memiliki kapabilitas dalam menangani persoalan negara. Ada atau tidak adanya penduduk pribumi tidak akan mempengaruhi apa-apa dalam roda pemerintahan.

Pembagian tempat duduk oleh penjajah yang merepresentasikan kasta atau kelas sosial tertentu sudah berakhir sejak 75 tahun lalu, ketika Ir. Soekarno memproklamasikan kemerdekaan. Namun budaya itu masih melekat sampai saat ini.  Kita akan sangat mudah sekali menjumpai orang yang dengan sengaja mencari tempat duduk paling belakang, bukannya paling depan dengan tanpa sadar bahwa hal itu merupakan salah satu budaya keterjajahan. Hal ini sudah menjadi sebuah ketidak sadaran kolektif. Masyarakat Indonesia merasa lebih inferior (rendah diri) dibanding masyarakat negara lainnya (barangkali termasuk saya). Jika melihat fakta demikian, tampaknya Indonesia memang masih terjajah. Memang tidak terjajah secara fisik, namun pola pikir atau budaya yang masih begitu kental akan keterjajahan.    

Wahyu Hidayat, SH, Alumni Madrasah Muallimin Muallimin Muhammadiyah Yogyakarta

Exit mobile version