Oleh: Faisal Dzikri
Pentingnya Bahasa Arab
Allah SWT telah memberikan nikmatnya kepada umat manusia dengan diutusnya Nabi Muhammad SAW untuk menebarkan rahmat kepada mahluknya secara universal. Ialah pemimpin dan penutup para nabi-nabi Allah terdahulu. Diturunkan kepadanya wahyu, ialah orang Arab yang memiliki kefasihan dalam berbicara, tidak terdapat keburukan atau kejelekan dalam dirinya dari apa yang telah diwahyukan Allah kepadanya.
Bahasa Arab adalah bahasa yang paling mulia di muka bumi ini, karena Al-Qur’an pedoman kitab suci umat Islam diturunkan dengan bahasa Arab, dan seseorang tak akan pernah mampu memahami pesan dan hikmah-hikmah yang terkandung di dalamnya kecuali jika ia paham akan bahasa tersebut. Selain itu, bahasa Arab juga memiliki gramatikal yang indah serta retorika yang elegan dalam penggunaannya. Ia memiliki peranan yang sangat signfikan akan perkembangan agama Islam sejak zaman dahulu kala. Oleh sebab itu, Rasulullah SAW menganjurkan kepada kita untuk mencintai bahasa Arab sebagaimana yang dikatakan dalam sabdanya:
أحبوا العرب لثلاث: لأني عربي والقرآن عربي وكلام أهل الجنة عربي (رواه الطبراني والبيهقي)
“Cintailah bahasa Arab karena 3 hal: karena sesungguhnya Aku adalah orang Arab, dan Al-Qur’an diturunkan menggunakan bahasa Arab, dan Bahasa para penghuni surga adaah bahasa Arab.” (HR. Thabrani dan Baihaqi)
Tidak hanya bahasa Arab saja yang nabi anjurkan kepada kita, akan tetapi menganjurkan juga untuk mencintai orang-orang yang berasal dari bangsa Arab, karena dari sanalah nabi berasal. Nabi Muhammad SAW bersabda:
مَنْ أَحَبَّ اْلعَرَبَ فَبِحُبِّيْ أَحِبَّهُمْ وَمَنْ أَبْغَضَ اْلعَرَبَ فَبِبُغْضِيْ أَبْغَضَهُم (رواه الحاكم وابن عساكر)
”Barangsiapa mencintai orang-orang arab, maka lantaran cintaku, ia mencintai mereka, dan barangsiapa membenci orang-orang arab, maka lantaran benciku, ia membenci mereka”. (HR. Imam Hakim dan Imam Ibnu Asakir).
Dalam hadits lain Rasulullah SAW bersabda:
إن لواء الحمد يوم القيامة بيدي وإن أقرب الخلق من لواء يومئذ العرب
“Sesungguhnya panji pujian akan berada di tanganku pada hari kiamat, dan kaum yang paling dekat dengan panji tersebut ketika itu ialah bangsa Arab.”
Allah SWT berfirman:
إِنَّا أَنزَلْنَاهُ قُرْآنًا عَرَبِيًّا لَّعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ
“Sesungguhnya Kami telah turunkan Al-Qur’an kepada kalian dengan menggunakan bahasa Arab agar kalian semua berfikir.” (QS: Yusuf:2)
Sayyidina Umar bin Khattab r.a pernah mengatakan:
تعلموا العربية فإنها من دينكم، وتعلموا الفرائض فإنها من دينكم
“Pelaharilah oleh kalian bahasa Arab karena itu adalah sebagian dari Agama kalian, dan pelajarilah oleh kalian ilmu waris karena itu adalah sebagian dari Agama kalian.”
Kisah Abu Aswad dengan Sayyidina Ali bin Abi Thalib r.a.
Sejarah permulaan terciptanya ilmu gramatikal bahasa Arab berasal dari kisah Abu Aswad Ad-Duali ketika ia datang ke kota Irak untuk menemui Sayyidina Ali bin Abi Thalib. Ketika itu Abu Aswad melihat Sayyidina Ali sedang merenungkan sesuatu yang dipikirnya sangatlah penting, kemudian dengan memberanikan diri Abu Aswad menanyakan kepadanya “Wahai Amiirul Mu’minin, apakah yang sedang engkau pikirkan saat ini?”, lantas Sayyidina Ali menjawab: “Sesungguhnya aku mendengar di daerahmu terjadi kekeliruan dalam pengucapan bahasa Arab, oleh karenanya aku ingin membuat sebuah kitab yang bersifat pragmatis dan dapat dijadikan sebagai rujukan serta pondasi dalam melestarikan bahasa Arab.”
Setelah mendengar pernyataan yang dilontarkan oleh Sayyidina Ali, Abu Aswad tidak menyangka bahwa perspektif beliau ternyata sama dengan apa yang menjadi ekspektasinya selama ini, lalu ia berkata “Wahai Amiirul Mu’minin, jika engkau melakukannya sungguh engkau telah menghidupkan hasrat yang menjadi keinginan kami selama ini.” Setelah berjalan beberapa hari, Sayyidina Ali menyerahkan sebuah lembaran kepada Abu Aswad yang berisikan di dalamnya:
“بسم الله الرحمن الرحيم، الكلام كله لسم وفعل وحرف، والاسم ما أنبأ عن المسمى، والفعل ما أنبأ عن حركة المسمى، والحرف ما أنبأ عن معنى ليس باسم ولا فعل. واعلم أن الأسماء ثلاثة ظاهر ومضمر وشيء ليس بظاهر ولا مضمر.”
Seusai Abu Aswad membacanya, beliau diperintahkan untuk meneruskan dan mengembangkan ilmu yang telah diajarkan oleh Sayyidina Ali bin Abi Thalib r.a. Dari kisah ini, jumhur Ulama menyatakan bahwa penggagas utama yang sangat berdedikasi dalam pembentukan ilmu Nahwu ialah Sayyidina Ali bin Abi Thalib. Sedangkan Abu Aswad ia merupakan tokoh yang mengembangkan dan menyebarluaskan ilmu Nahwu.
Siapakah Abu Aswad Ad-Duali?
Abu Aswad adalah seorang ulama sekaligus hakim di negeri Basrah, ia memiliki nama asli Dzalim bin Amr bin Sufyan bin Jandal bin Ya’mar bin Halbas bin Nufasah bin Adi’ bin Ad-dail bin Bakr bin Abdu Manah bin Kinanah Al-kanani. Adapula yang berpendapat bahwa namanya ialah Amr bin Dzalim, atau Uwaimir bin Dzalim, atau Amr bin Imran, atau Usman bin Umar. Namun yang paliing mashyur ialah Dzalim bin Amr.
Imam Jahif mengatakan bahwa Abu Aswad adalah seorang tokoh ulama masyrakat yang sangat terpadang karena keluasan ilmunya, dan ia selalu dikedepankan dalam segala hal. Ia merupakan seorang tabi’in yang sholeh, faqih, ahli sastra, hafidz, mulia, ahli dalam ilmu firasah, pemimpin yang adil, serta orang yang paling paham akan ilmu Nahwu. Dan ia terkenal juga sebagai orang pertama yang memberikan harakat pada Al-Qur’an.
Abu Aswad Ad-Duali telah masuk ke dalam agama Islam semenjak zaman Rasulullah masih hidup, akan tetapi beliau belum pernah bertemu dengan Rasulullah sama sekali. Denga demikian itu, ia dikategorikan sebagai Tabi’in, karena sebagaimana yang di jelaskan oleh Syekh Dr. Muhammad bin Ali Ba’atiyah dalam kitabnya Mujazul Kalam Syarah Aqidatul Awwam bahwa syarat untuk menjadi seorang Sahabat ialah harus bertemu dan berkumpul dengan Rasulullah SAW secara langsung di dunia, beriman kepadanya setelah diutusnya menjadi seorang nabi dan rasul, walaupun ia belum pernah meriwayatkan sesuatu, atau belum tamyiz dan wafat dalam keadaan muslim.
Abu Aswad bertempat tinggal di negeri Bashrah semenjak kekhalifahan Sayyidina Umar bin Al-Khattab r.a dan menjadi seorang penguasa pada zaman Sayyidina Ali bin Abi Thalib, yaitu ketika negeri Bashrah dipimpin oleh Abdullah bin Abbas yang pada saat itu Ibnu Abbas diharuskan pergi ke negeri Hijaz untuk suatu keperluan. Oleh karenanya kepemimpinan negeri Bashrah diserahkan kepada Abu Aswad Ad-Duali, dan masa pemerintahannya berlanjut hingga wafatnya Sayyidina Ali bin Abi Thalib r.a. Selain itu, Abu Aswad juga merupakan pengikut setia dari Sayyidina Ali bin Abi Thalib, bahkan ia pernah ikut berpartisipasi dalam perang Jamal atau Shiffin.
Kisah Abu Aswad dengan Ziyad
Dalam sebuah riwayat yang dikabarkan oleh Isa bin Husein, bahwasanya Hammad bin Isa dan ia dari ayahnya mengatakan: “Ziyad seorang walikota Bashrah pernah memerintahkan Abu Aswad untuk memberikan tanda baca pada Al-Qur’an, oleh karenanya Abu Aswad memberikan berbagai macam symbol tanda baca sehingga orang-orang awam mampu membaca Al-Qur’an dengan baik dan benar.” Setelah itu, Abu Aswad menyusun ilmu Nahwu yang telah dipelajari dari Sayyidina Ali, kemudian diteruskan oleh para murid dan generasinya seperti Anbasah bin Mi’dan, Abdullah bin Abi Ishaq Al-Hadrami, Abu Umar bin Ula, Ahmad bin Kholil Al-Farahidi dsb.
Dengan ini, Ashim bin Abi Najud berpendapat bahwa orang yang pertama kali menyusun gramatikal Bahasa Arab ialah Abu Aswad Ad-Duali, ketika itu Abu Aswad datang untuk menemui Ziyad yang menjadi walikota di Basrah, ia mengatakan “Semoga Allah memperbaiki para pemimpin di muka bumi ini, sesungguhya saya melihat bahasa Arab telah terkontaminasi oleh bahasa asing sehingga terdapat banyak sekali kesalahan yang terjadi, dan apakah engkau mengizinkanku untuk menyusun sebuah ilmu yang dapat membantu mereka dalam memperbaiki bahasa mereka?” kemudian Ziyad berkata “Saya tidak mengizinkanmu”.
Hingga pada suatu hari datanglah seorang badui Arab menemui Ziyad untuk mengadukan keadaannya seraya berkata “يا أمير المؤمنين، مات أبانا وخلف البنون”, kalimat yang diucapkan oleh orang tersebut terjadi kesalahan yang sangat fatal, seharusnya ia mengucapkan مات أبونا وخلف البنين”” karena yang wafat ialah sang ayah, dan yang ditinggalkan ialah anak-anaknya.
Dari kejadian ini, Ziyad tersadar bahwa eksistensi ilmu gramatikal bahasa Arab sangatlah dibutuhkan, karena jika tidak maka akan terjadi sesuatu yang sangat riskan dimasa yang akan datang. Akhirnya ia memutuskan agar Abu Aswad bersedia untuk menyusun ilmu gramatikal bahasa Arab yang sebelumnya pernah ia tolak, Ziyad berkata “Susunlah sebuah ilmu yang dapat membantu manusia dalam berbicara yang benar.” Setelah mendapatkan perintah akhirnya Abu Aswad menyibukan dirinya dalam penyusunan ilmu tersebut. Ada yang berpendapat bahwa kisah ini terjadi antara Abu Aswad dan Ubaidillah bin Ziyad anaknya.
Imam Ibnu Hajar Al-Asqolani menyatakan bahwa Abu Aswad Ad-Duali pernah ditanya dari manakah ia mendapat inspirasi untuk menyusun ilmu Nahwu, lalu ia mengatakan “Saya mendapatkan inspirasi ini dari guru saya, yaitu Sayyidina Ali bin Abi Thalib” dan adapula yang beropini bahwa ia mendapatkan inspirasi itu dari kisah yang terjadi dengan anak perempuannya.
Kisah Abu Aswad dengan Putrinya
Suatu hari Abu Aswad pergi ke Basrah untuk menemui putrinya, dan ketika sampai sang putri berkata “”يا أبت ما أَشَدُّ الحَرِّ (Wahai ayahku, bulan apakah yang paling panas dari ini), kemudian Abu Aswad menjawab ” “شهرٌ ناجرٌ(Bulan naajir/ Shafar). Anaknya kaget dengan jawaban yang diucapkan oleh ayahnya, karena jawaban tersebut tidaklah sesuai menurut pikirannya. “Wahai Ayah, sesungguhnya aku tidak bertanya kepadamu akan tetapi mengabarkanmu akan cuaca saat ini!”. Abu Aswad paham apa yang dimaksud oleh putrinya, namun diksi yang digunakan putrinya itu tidak efisien, seharusnya ia mengatakan “”ما أَشَدَّ الحَرِّ (Betapa panasnya saat ini). Setelah peristiwa ini, Abu Aswad pergi menemui Sayyidina Ali untuk mengadukan kisah putrinya yang menurut ia telah menjadi sesuatu yang sangat krusial, ia meminta kepada Sayyidina Ali agar memberikan izin kepadanya untuk dapat menyusun ilmu gramatikal bahasa Arab. Maka Sayyidina Ali mengizinkannya dan menyuruh ia untuk membeli lembaran kertas agar ia dapat menuangkan pemikirannya di lembaran tersebut.
Dalam riwayat lain, disebutkan bahwa yang diucapkan putrinya ialah perkataan “يا أبت ما أحسن السماء” (wahai ayahku apa yang paling indah di langit?), lantas Abu Aswad menjawab “bintang-bintangnya”, kemudian putrinya kembali berkata “Wahai ayah, sesungguhnya aku tidak bertanya kepadamu akan tetapi aku menyampaikan rasa ketakjubanku akan keindahan langit ini.” “Jika seperti itu, maka katakanlah “ما أحسن السماء”(betapa indahnya langit ini”) ucap Abu Aswad. Dari kisah ini, maka bab pertama kali yang ditulis oleh Abu Aswad adalah Bab Ta’ajuub.
Wafatnya Abu Aswad Ad-Duali
Abu Aswad Ad-Duali wafat ketika ia berusia 85 tahun karena tetimpa oleh waba penyakit yang menular di zamannya pada tahun 69 Hijriyah, dan pendapat lain mengatakan ia wafat pada tahun 67 Hijriyah. Namun Imam Ibnu Hajar Al-Asqolani meyakini bahwa ia wafat pada tahun 69 Hijriyah ketika ia berusia 85 tahun, dengan demikian dapat dinyatakan bahwa Abu Aswad pernah mengalami zaman nubuwwah (kenabian) lebih dari 20 tahun.
Faisal Dzikri, PCIM Yaman, Alumni Pesantren Tahfizh Al-Qur’an Daarul Uluum Lido, Mahasiswa Fakultas Syariah di Universitas Imam Syafie