Optika tidak dapat dipisahkan dari cahaya. Ilmuwan teori tentang cahaya yang dikenal selama ini adalah para ilmuwan Barat, seperti Rene Decartes (1596–650) yang mempublikasikan model (fenomena) cahaya, yang mempengaruhi ide-ide Isaac Newton (1643–1727) hingga dihasilkan teori partikel cahaya.
Ilmuwan Belanda yang sezaman dengan Newton, Cristian Huygens (1629–1695) membangkitkan kembali teori impuls cahaya Decartes dan dihasilkan teori gelombang cahaya yang dikenal dengan prinsip Huygens. Pada 1801, Thomas Young (1773–1829) dan rekannya, Augustin Fresnel (1788–1827), menghidupkan kembali teori gelombang cahaya Huygens.
Penting diketahui bahwa 500 tahun sebelumnya telah ada ilmuwan Muslim yang memberikan kontribusi penting untuk memahami penglihatan (vision), optik (optics), dan cahaya (light). Dia adalah Abu Ali al-Hasan Ibn al-Haytham, ilmuwan yang lahir di Basra pertengahan abad ke-10, tepatnya 965 M/354 H. Al-Haytham dikenal dengan nama al-Basri (berasal dari kata Basra) dan al-Misri karena ia dikenal juga sebagai ilmuwan dari Mesir. Dunia Barat mengenalnya dengan Alhacen (dari namanya al-Hasan) dan terakhir dikenal dengan nama Alhazen.
Riwayat Al-Haytham
Awal pendidikan al-Haytham dimulai di Basra. Perkembangan dirinya tidak lepas dari keluarganya yang akrab dengan dunia ilmu pengetahuan. Ayahnya adalah seorang pegawai pemerintah di Basra. Oleh karena itu, pendidikan al-Haytham kecil sangat diperhatikan untuk memperoleh yang terbaik, terutama sains. Apalagi pada saat itu adalah masa kejayaan peradaban Islam. Segala bidang pengetahuan berkembang pesat di antaranya sains, kedokteran, maupun pendidikan.
Sebelum serius mendalami ilmu, al-Haytham sempat bekerja sebagai pegawai pemerintah sampai diangkat menjadi pejabat pemerintahan yang membawahi Basra dan sekitarnya. Jabatan ini bertentangan dengan minatnya terhadap ilmu, ia pun memutuskan mengundurkan diri dan merantau untuk memperdalam ilmu. Ia pun pergi ke Ahwaz, Baghdad, dan terakhir hijrah ke Mesir. Ia juga pernah ke Spanyol. Pemikirannya dipengaruhi oleh Aristoteles (384 SM–322 SM), Euclid yang hidup sekitar abad ke-4 SM, Ptolemy (90–168), ilmuwan Fisika Yunani Galen (129–200), Al-Kindi (801–873), Banu Musa yang hidup di abad ke-9, Thabit ibn Qurra (826–901), Ibrahim ibn Sinan (908–946), Al-Quhi, dan Ibn Sahl (940–1000).
Ketika al-Haytham tiba di Mesir, bertepatan dengan masa khalifah al-Hakim, sekitar awal abad ke-11. Ia belajar secara otodidak dengan menerjemahkan buku-buku, terutama matematika dan ilmu falak. Ia pun tertantang untuk mengerjakan proyek bendungan sungai Nil. Namun, setelah ia melakukan survei dan perhitungan, ternyata ia tak mampu melanjutkan proyek yang telah disepakati bersama Khalifah. Ia pun pura-pura gila untuk menghindari kemarahan Khalifah, karena orang gila dilindungi hukum Islam. Karenanya, ia diasingkan dan ditahan selama 10 tahun, layaknya tahanan rumah sampai al-Hakim wafat tahun 1011.
Selama di pengasingan, al-Haytham merasa bosan, jauh dari hiruk-pikuk diskusi ilmiah. Namun, dalam kebosanan tersebut ia justru menemukan konsep tentang cahaya dan proses mata melihat suatu objek. Dia melakukan eksperimen menggunakan ruang gelap yang disebut al-Baith al-Muslim (Latin: camera obscura) yang kemudian menjadi dasar fotografi. Ia melakukan eksperimen berulang kali dan hasilnya ia menemukan bahwa cahaya dalam perjalanannya membentuk garis-garis lurus sejajar dan mata dapat melihat bjek apabila cahaya tersebut masuk ke dalam mata. Ia adalah ilmuwan pertama yang mengidentifikasi bagianbagian mata seperti iris, kornea, dan retina, sekaligus menjelaskan konsep penglihatan. Untuk memperdalam temuannya, ia melakukan penelitian lebih lanjut tentang penggunaan berbagai lensa dan cermin, baik datar, sperik, parabolik, silinder, konvek, maupun konkaf. Hasil eksperimennya adalah objek dapat dilihat karena pemantulan cahaya. Dan 500 tahun kemudian, ilmuwan Belanda Willebrord Snellius (1580–1626) mengenalkan konsep ini yang dikenal dengan Hukum Snellius.
Buku Karya Al-Haytham
Al-Haytham menuliskan temuannya dalam tujuh seri buku, Kitab al-Manadhir, ‘Book of Optics’, yang ia rilis tahun 1027, enam tahun setelah wafatnya Khalifah alHakim. Buku ini telah diterjemahkan dalam bahasa Latin (De Aspectibus) dan berbagai bahasa di Eropa yang dijadikan acuan oleh para ilmuwan Eropa. Book of Optics menuliskan dasar-dasar optik yang mendasari dan mempengaruhi penemuan-penemuan di masa-masa mendatang. Al-Haytham bukan hanya ilmuwan besar di abad ke-11, tetapi ia adalah ilmuwan optika sepanjang abad. Ia dijuluki sebagai Bapak Optika Modern.
Dalam melakukan eksperimen, al-Haytham selalu melakukan analisis empiris secara berulang yang dikenal dengan metode ilmiah. Karena adanya kecenderungan terjadi kesalahan selama proses eksperimen, ia melakukan pengujian dan pembuktian hasil eksperimen sampai memperoleh hasil yang valid. Ia melakukan metode ilmiah sampai validasi, 200 tahun sebelum ilmuwan Inggris, Roger Bacon (1219–1292), menjelaskan tentang metode penelitian. Al-Haytham pun disebut sebagai Bapak Metode Ilmiah.
Dari 96 buku yang ia tulis, hanya 55 yang diketahui terselamatkan, yang berhubungan dengan permasalahan cahaya: The Light of the Moon, The Light of the Stars, The Rainbow and the Halo, Spherical Burning Mirrors, Parabolic Burning Mirrors, The Burning Sphere, The Shape of the Eclipse, The Formation of Shadows, Discourse on Light, dan karya terbesarnya, Book of Optics. Menjelang akhir hayatnya, al-Haytham sempat menjadi pengajar di Suriah sambil menuliskan karyakaryanya sampai ia kembali ke Mesir dan tutup usia pada 1039 M/430 H dalam usia 74 tahun. Namun amat disayangkan, sepeninggalnya banyak karya-karyanya diklaim ilmuwan Barat.
Yuli Hastiani, Alumni Program Studi Magister Pendidikan Fisika, Universitas Ahmad Dahlan, Yogyakarta
Sumber: Majalah SM Edisi 1 Tahun 2017