Hijrah Nabi dari Mekkah ke Yatsrib (Madinah) dalam konteks sejarah menegaskan visi sosial Islam. Bahwa Islam bukanlah agama yang hanya mementingkan persoalan yang bersifat ritual (peribadatan mahdhah) saja. Lebih dari itu, Islam merupakan sistem ajaran yang menyentuh seluruh dimensi kehidupan manusia. Ada komitmen merubah dunia untuk membangun peradaban manusia.
Sesampainya di Madinah, Rasulullah mengubah nama kota itu dari Yatsrib (orang Yunani mencatatnya sebagai Yatsrobah) menjadi Madinah yang berarti kota atau secara etimologis bermakna tempat peradaban. Oleh karena itu hijrah itu merupakan suatu penegasan bahwa pembinaan akhlak pribadi-pribadi seorang muslim yang diajarkan oleh Rasulullah ujungnya adalah membangun sebuah peradaban yang dalam bahasa Arab disebut dengan istilah Madinah.
Dari nama yang dipilih, yaitu Madinah, menunjukkan rencana Nabi dalam rangka mengemban misi suci menjadi rahmat bagi semesta alam. Misi suci itu dijalankan dengan menciptakan masyarakat Islam yang sebenar-benarnya yang berbudaya tinggi, yang kemudian menghasilkan suatu peradaban. Entitas sosial di Madinah yang dipimpin Nabi ini adalah model peradaban adiluhung dalam Islam.
Madinah dalam bahasa Arab sama dengan polis dalam bahasa Yunani. Ketika Kaisar Konstantin membuat kota baru untuk ibu kota Romawi, kota itu ia namai Konstantinopolis yang berarti kota Konstantin. Dari kata polis inilah terambil kata-kata politik, sehingga dari perkataan politik ini sudah tergambar sebuah kehidupan teratur sebuah kota. Adapun perkataan lain dari peradaban dalam bahasa Arab selain “Madaniyah” adalah “Hadlarah” yang satu akar kata dengan kata “hadlir”.
Hadlarah adalah suatu konsep kehidupan menetap di suatu kota untuk menciptakan kehidupan yang teratur bukan kehidupan nomaden atau berpindah-pindah. Lawan kata hadlarah adalah Badawah yang artinya daerah kampung yang berpindah-pindah atau nomaden di padang pasir. Dari kata Badawah inilah yang dikenal istilah Badawi, yang kemudian menjadi Badui yang diartikan orang kampung yang berkonotasi kurang terpelajar.
Ibn Khaldun dalam kitabnya Mukadimah meyebutkan bahwa pola hidup badui merupakan tahap yang lebih awal daripada kehidupan yang menetap. Badawi merupakan basis atau awal dari hadlarah. Sebaliknya hadlarah merupakan tujuan serta tahap berikutnya dari kehidupan Badawah.
Dengan demikian hijrah pada dasarnya dibangun bukan untuk keuntungan material, seperti kekuasaan politik, kepentingan kelas, atau kepentingan golongan. Tetapi umat Islam bergerak karena kesadaran sebagaimana makna hadits dari Umar Bin Khaththab diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim yang artinya: “Tiap amal tergantung niat”. Dalam hadits yang sama disebutkan Rasulullah bersabda yang artinya: “Dan barangsiapa hijrahnya itu demi dunia yang selalu dicari atau demi wanita yang akan dikawini maka hijrahnya dinilai sebagaimana yang menyebabkan.“
Salah satu ruh perubahan dalam spirit hijrah adalah pemihakan. Beberapa ayat Madaniyah, yaitu yang turun di Madinah, menggambarkan adanya kesenjangan natural dan kesenjangan struktural. Dalam al-Qur’an kata dhu’afa banyak digunakan untuk menggambarkan kesenjangan natural atau kemiskinan, seperti dalam QS Al-Baqarah 266. Sedang kata mustadh’afin (teraniaya) dipakai untuk menunjukkan kesenjangan struktural atau ketimpangan, seperti dalam QS An-Nisaa’ ayat 65. Namun semua itu menunjukkan kesadaran adanya keberpihakan.
Pemihakan kepada dhu’afa dan mustadh’afin di atas tentu tidak boleh disertai dengan perilaku sebaliknya, yaitu ketidakadilan dan penindasan, serta kekerasan yang sering mengikutinya. Islam sangat melarang semua bentuk ketidakadilan termasuk kepada orang-orang kaya, selain melarang penindasan kepada kaum yang lemah. Demikian juga Islam melarang kekerasan.
Kesenjangan natural atau alamiah akan selalu terjadi sebagai sunnatullah. Dalam al-Qur’an surah al-An’am ayat 65 Allah melebihkan seseorang di atas orang lain (rafa’a ba’dhakum fawqa ba’dhin). Kelebihan itu didapat karena kepandaian, nasab keluarga, lokasi usaha, asupan yang didapat, kedewasaan umur dan sebagainya. Yang diperlukan untuk mengatasi kesenjangan natural ini ialah terbukanya kran bantuan untuk menjadi lebih berdaya. Zakat, infak, dan sedekah, dapat efektif mengatasi kesenjangan natural ini.
Kesenjangan struktural lahir dari kebijakan politik penguasa di masa lalu yang karena itu memerlukan campur tangan aktif dari yang tengah memegang kekuasaan. Di masa Nabi, kesenjangan struktural sebelum Hijrah terjadi atas dominasi ekonomi Yahudi berhadapan penduduk asli Madinah, seperti suku Aus dan Khazraj. Dua suku tersebut meski memiliki jumlah yang mayoritas tetapi tidak memiliki kekuatan ekonomi dan politik yang memadai dikarenakan mereka lebih sering mengurusi permusuhan antar mereka ketimbang melakukan pemberdayaan umat. Dan ketika Rasulullah hadir di Madinah, salah satu yang mula-mula dilakukan adalah mempersatukan mereka.
Semangat persatuan untuk menyelesaikan masalah kesenjangan natural dan struktural salah satu jalannya ialah dibangun dengan tradisi musyawarah di antara umat. Tradisi musyawarah ini adalah akhlak yang diajarkan Qur’an. Dalam surah asy-Suuraa 38 disebutkan “amruhum syuura bainahum (sedang untuk menyelesaikan urusan mereka dilakukan dengan musyawarah di antara mereka)”. Bagi kaum muslim Indonesia tradisi musyawarah adalah juga merupakan pengamalan sila keempat Pancasila.
Menyelesaikan urusan di kalangan umat tidak bisa dilakukan dengan memperbanyak prasangka buruk (su’uzhon), mencari-cari kesalahan orang (tajassus), dan ghibah (menggunjing). Su’uzhon, tajassus, dan ghibah justru akan menambah masalah ketimbang menyelesaikan masalah. Mengembangkan budaya musyawarah di kalangan umat adalah sebuah keharusan untuk membangun peradaban maju.
Tradisi musyawarah pun harus ditularkan kepada kalangan anak muda. Salah satu bentuknya adalah membiasakan mereka mendiskusikan urusan-urusan umat dengan cara yang baik. Dengan tradisi diskusi mereka belajar menggali potensi diri, mengelola perbedaan, menyamakan persepsi, dan pada akhirnya mereka akan belajar berkolaborasi. Hal-hal ini membuat mereka akan siap untuk merubah dunia membangun peradaban baru.
Pemihakan dan musyawarah adalah adalah spirit hijrah yang harus ditanamkan pada diri seluruh kaum muslimin agar ruh merubah dunia tetap terjaga. Cara menanamkannya bukan dengan indoktrinasi, tapi dengan membangun kesadaran kritis. Indoktrinasi tertutup dari pengalaman-pengalaman baru sedang kesadaran kritis terbuka padaalternatif-alternatif baru cara penyelesaian berbagai kesenjangan.
Kesadaran kritis yang melahirkan daya kritis sangat terkait dengan tradisi diskusi. Untuk membangun kesadaran kritis itu jalannya adalah mengembangkan tradisi diskusi. Adapun tradisi diskusi ini bukan budaya debat kusir, tapi usaha mencari sudut pandang dan jalan terbaik dalam kerangka musyawarah. Tradisi diskusi yang sehat, yaitu yang dalam penyampaian gagasannya penuh hikmah dan ungkapan-ungkapan yang baik serta dalam berdebat ingat wajaadilhum bil-latii hiya ahsan seperti Qur’an surah an-Nahl ayat 125, perlu dibangun.
Memang tidak semua diskusi itu baik. Tapi tanpa diskusi tidak akan tumbuh daya kritis dan ruh “merubah” dunia. Hidupkan tradisi diskusi, lalu lengkapilah dengan budaya membaca dan menulis. Pesan itu penting bukan hanya untuk anak muda, tapi juga untuk mereka yang menangkap spirit hijrah. Agar ruh merubah dunia tetap bergelora dalam jiwa: “dari kegelapan menuju cahaya— minazhzhulumaati illan nuur —habis gelap terbitlah terang.”
Ki H Ashad Kusuma Djaya, Wakil Ketua PDM Kota Yogyakarta