M Muchlas Abror
Pada masa revolusi fisik, Muhammad Wardan turut berjuang untuk mempertahankan kemerdekaan. Ia masuk dan aktif di Angkatan Perang Sabil (APS) yang dibentuk oleh ulama Muhammadiyah yang diketuai oleh KRH Hadjid. Ia dapat tugas sebagai anggota di markas ulama yang tugas utamanya memberi nasehat, fatwa, dan pengarahan.
Setelah perjuangan fisik mereda, ia kembali lagi kepada hobbinya semula, sebagai guru. Tahun 1950 – 1962, menjadi guru Madrasah Menengah Tinggi (MMT). Pernah pula menjadi guru SGHA (1951–1952), PGAN (1954 – 1956), dan Sekolah Persiapan PTAIN. Semuanya di Yogyakarta. Terakhir menjadi dosen pada Akademi Tabligh Muhammadiyah yang kemudian menjadi FIAD (1966 – 1974) dan sekarang menjadi Jurusan Dakwah FAI UMY.
Menjadi Penghulu Kraton Yogyakarta
Kiai Wardan, yang akrab disapa Pak Wardan, selagi hayat pernah menjadi Penghulu Kraton Yogyakarta. Jadi, ia seperti napak tilas dan mewarisi apa yang telah dialami oleh ayahnya, ialah Kiai Muhammad Sangidu. Dikatakan demikian, sebab ayahnya juga pernah menjadi Penghulu Kraton Yogyakarta, sebagaimana telah disebutkan. Ia, yang waktu itu jabatannya masih Ketib Anom, ditetapkan dan diangkat oleh Sri Sultan menggantikan Kiai Kholil Kamaludiningrat, Penghulu sebelumnya yang meninggal tahun 1914.
Kiai Muhammad Sangidu dengan gelar Kanjeng Kiai Penghulu Haji (KKPH) Muhammad Kamaludiningrat cukup lama menjadi Penghulu Kraton Yogyakarta (1914-1940). Ia disegani dan dihormati serta berwibawa.
Karena kepemimpinannya terbuka, punya keberanian, dan bijak sehingga besar pengaruhnya.Dan ia memberi kemudahan bagi Muhammadiyah untuk bergerak. Berbeda dengan Penghulu sebelumnya.
Kiai Kholil Kamaludiningrat justru merintangi dan mempersulit Muhammadiyah. Satu di antaranya, ia memerintahkan sejumlah orang untuk merobohkan surau/langgar KH Ahmad Dahlan rata dengan tanah. Dengan alasan karena arah kiblatnya serong, tidak lurus ke barat, sebagaimana masjid pada umumnya. Padahal surau peninggalan ayahnya itu baru saja selesai direnovasi Kiai Dahlan, demikian panggilan akrabnya. Apalagi waktu itu awal Ramadhan telah datang.
KKPH Muhammad Kamaludiningrat adalah salah seorang pendukung utama KH Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah. Bahkan, ia pun menjadi anggota Muhammadiyah. Karena besar andil perjuangannya sampai KH Ahmad Dahlan memberikan kehormatan kepadanya ditulis nomor satu dalam buku induk Anggota Muhammadiyah.
Adanya kesamaan paham antara dirinya dengan pendiri Muhammadiyah, maka ia membuka pintu masuk Dalem Pengulon bagi Muhammadiyah melakukan aktivitas kegiatannya. Kalau KH Ahmad Dahlan menghadapi kesulitan, maka ia pun tidak tinggal diam. Ia turut berikhtiar mencarikan jalan keluar. Sebuah contoh, suatu tahun tanggal 1 Syawal, hasil hisab perhitungan KH Ahmad Dahlan mendahului satu hari atau berbeda dengan hasil perhitungan Aboge yang dipakai Kraton.
Padahal tiap tanggal 1 Syawwal, Kraton mengadakan Grebeg Syawal. Drs. H. Ahmad Adaby Darban, SU dalam bukunya “Sejarah Kauman Menguak Identitas Kampung Muhammadiyah” menulis “KH Ahmad Dahlan dengan diantar oleh Kiyai Pengulu H Muhammad Kamaludiningrat menghadap Sultan Hamengku Buwono VII pada malam harinya untuk menyampaikan maksud mengadakan shalat Idul Fitri sehari sebelum Grebeg. Maksud tersebut diterima Sultan, tetapi untuk Grebeg Syawal dilaksanakan seperti biasa, memakai perhitungan Aboge”. Demikianlah penyelesaiaan yang bijak dari kedua belah pihak dalam menghadapi masalah.
Setelah KKPH Muhammad Kamaludiningrat wafat pada tahun 1940, Kraton menetapkan Muhammad Nuh sebagai penggantinya menjadi Penghulu Kraton. Gelarnya Kanjeng Kiai Penghulu Muhammad Nuh Kamaludiningrat. Beberapa tahun kemudian, ia diberhentikan dengan terhormat dari jabatannya oleh Sri Sultan. Berikutnya, Sri Sultan Hamengku Buwono IX, tanggal 28 Januari 1956, mengangkat Muhammad Wardan sebagai Penghulu Kraton Yogyakarta.
Karena Penghulu yang digantikan masih hidup, maka berpengaruh pada pemberian gelar nama kepada Muhammad Wardan. Tidak lagi menggunakan Kamaludiningrat melainkan Diponingat. Sehingga nama dan gelarnya disatukan menjadi Kanjeng Kiai Penghulu Muhammad Wardan Diponingrat. Sejak itu, ia menjadi orang nomor dua sesudah Sri Sultan di lingkungan Kraton Yogyakarta dalam hal urusan keagamaan. Ia menjadi Penghulu Kraton selama 35 tahun (1956 – 1991). Bersambung
Sumber: Majalah SM Edisi 18 Tahun 2016