Khilafah di Mata Buya Hamka: Islam Adalah Esensi Nilai, Bukan Sistem Politik

JAKARTA, Suara Muhammadiyah – Pada Jumat, 28 Agustus 2020, Pusat Studi Buya Hamka (PSBH) Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka (Uhamka) Jakarta menyelenggarakan webinar bertajuk “Khilafah di Mata Buya Hamka: Boleh atau Terlarang”. Acara tersebut dibuka langsung oleh Dr. Bunyamin selaku Wakil Rektor IV Uhamka. Pembicara yang turut hadir diantaranya, Budayawan Ridwan Saidi, Pakar Hukum Tata Negara Feri Amsari, dan Wakil Dekan IV Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Uhamka Izza Rahman yang  juga merupakan Pakar Tafsir.

Izza  Rahman menyampaikan, dalam wacana keagamaan, istilah khilafah terbagi dalam lima kategori. Pada konsep teologis yang tergambar dalam Tafsir Hamka QS. Al-Baqarah ayat 30 mengenai term khilafah terbagi menjadi dua bagian. Pertama, khilafah yang merujuk pada pengganti makhluk sebelumnya. Menggantikan peran makhluk-makhluk sebelumnya yang sudah musnah dan terpinggirkan peranannya di dunia. Kedua, sebagai pengganti dar Allah. Agar manusia dapat memegang amanah mengelola bumi dan seisinya.

Hamka tidak menegaskan makna yang paling benar. Dia terbuka atas kedua tafsiran tersebut dan membenarkan keduanya. Di dalam Quran juga memberikan pengertian lain mengenai khilafah sebagai pengganti Nabi yang memimpin dan membimbing umat, yaitu khilafah dalam arti kepemimpinan.

Lalu, khilafah sebagai realitas historis. Kenyataan menunjukkan bahwa sistem pemerintahan pasca kenabian tidak tunggal, mulai dari khulafaurrasyidin hingga Turki Usmani. Sistemnya  berbeda dan tidak sepenuhnya sama.

Dari sisi cara pergantian “Khailfah” zaman khulafaurrasydidin juga berbeda, Abu Bakar, Umar, Usman, dan juga Ali keempatnya “terpilih” dengan cara yang berbeda. Belum lagi dari sisi yang lain.

Dalam tafsirnya, Hamka tidak membicarakan mengenai boleh tidaknya konsep khilafah sebagai wacana dan konsep politik. Hamka hanya membahas konsep negara dan syuro.
Negara menurut Hamka adalah negara modern yang  berlandaskan nilai-nilai Islam. Hamka mengidealkan Islam sebagai dasar negara. Namun bukan konsep Islam yang berhaluan esktrem, melainkan Islam yang memayungi semua perbedaan termasuk perbedaan keyakinan.

Menurut Izza, Hamka menyatakan bahwa sejarah tidak menghadirkan negara ideal yang digambarkannya. “Sehingga kita tidak bisa merujuk pada histori Islam yang ada. Tidak juga bisa merujuk pada kitab” fiqih klasik yang ada. Karena  term demokrasi tidak dikenal para ulama klasik. Tetapi sesungguhnya demokrasi punya akar dalam Islam. Kita harus kembali pada Quran dan Sunnah Rasul,” ujar Izza.

Nabi Muhammad tidak pernah menentukan bentuk pemerintahan tertentu. Istilah dan nama  amirul mukminin atau khalifah juga merupakan term setelah kenabian. Khilafah bukanlah bentuk yang ditentukan oleh Nabi Muhammad. Hamka memandang  urusan kenegaraan masuk kedalam muamalah. Oleh karenanya, negara merupakan ikatan janji antar warga negara untuk kepentingan bersama. Dalam hal muamalah, negara juga memerlukan hiasan budi dan akhlak dalam menjaga kehidupan sesama anak bangsa.

Budayawan Ridwan Saidi memulai uraiannya mengenai Zona Ekonomi nusantara. Kemudian tentang Raden Fatah yang diangkat oleh Kerajaan Ottoman sebagai khalifah di tanah Jawa. Bahkan hingga saat ini Khalifah ing tanah Jawa masih dipertahankan oleh kesultanan Yogyakarta.

Sejarawan asli Betawi tersebut berpesan, kita harus merekontruksi kembali sejarah yang telah ditulis berabad-abad lalu. Ia mengkritisi bahwa kebanyakan sejarah yang ditulis tersebut merupakan hasil dari lamunan.

“Hubungan nusantara dengan Kesultanan Turki Utsmani tidak bisa dikesampingkan. Karena banyak istilah jabatan kerajaan yang diadopsi dari istilah Turki. Menurutnya, istilah khilafah janganlah dilarang sebegitu rupa sehingga terjadi persekusi oleh satu kelompok kepada kelompok yang lainnya. Karena istilah tersebut ada dalam kitab suci yang juga mempunyai data sejarah. Tidak perlulah istilah atau ide tersebut dihukumi dengan kekerasan,” ujar Budayawan yang akrab disapa Babe itu.

Feri Amsari melihat proses pembentukan konstitusi negara ketika dasar negara diperdebatkan di majelis konstituante, Hamka termasuk tokoh yang berpidato mengenai dasar negara Indonesia. Hamka beserta tokoh Islam lainnya, lebih banyak menekankan kepada esensi nilai Islam terutama mengenai kemanusian untuk dihadirkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Hamka menekankan esensi nilai Islam lebih dikedepankan dibandingkan bentuk formal negara Islam. Menurut Feri, semenjak terbentuknya BPUPKI telah muncul istilah khilafah dalam diskursus kebangsaan kita. Tetapi istilah dan konsep tersebut tidak pernah disepakati oleh tokoh pendiri bangsa. “Namun dari itu kita bisa mengambil pelajaran, bahwa semua boleh berpendapat dan memikirkan konsep atau ide terbaik untuk bangsa. Hal yang tidak diperbolehkan adalah memaksakan ide tersebut dihadirkan dan diterapkan,” ungkapnya.

Feri menyatakan bahwa istilah khilafah seringkali dimunculkan kembali untuk menimbulkan pergolakan yang dimanfaatkan kelompok tertentu untuk menarik simpati umat Islam. Kelompok tersebut lebih condong mengajak umat kepada pemberlakuan Islam sebagai politik praktis dari pada fokus mempraktekkan dan memberlakukan nilai Islam dalam kehidupan sehari-hari dan juga kehidupan berbangsa dan bernegara. (diko)

Exit mobile version