Sinar Surya di Pulau Tello
Oleh : Reno Juarno
Muhammadiyah sebagai gerakan dakwah amar makruf nahi mungkar, akan senantiasa memberikan sinar pencerahan keseluruh pelosok tanah air Indonesia dengan penuh semangat berlandaskan Qur’an dan Sunnah. Sebagai ormas yang tergolong besar baik warga dan AUM, tentunya diperlukan pembinaan dan pembimbingan secara khusus dan insten sampai kepada struktural paling bawah sekalipun. Kewajiban dakwah inilah dirasa oleh para pimpinan stekholder Muhammadiyah sehingga sinar surya ini harus sampai ke pelosok-pelosok.
Awal Pengembaraan
Bagi seorang mahasantri pondok Hajjah Nuriyah Shabran UMS, sudah menjadi rahasia umum setelah menyelesaikan pendidikan sarjananya akan mengikuti program keummatan yaitu pengabdian di daerah 3 T (terluar, tertinggal terdepan) sebagai bentuk aktualisasi nyata keluar dari sangkar melalang buana terjun kepada masyarakat selama satu tahun penempatan diberbagai pelosok tanah air Indonesia, tak terkecuali sasaran penempatan lokasi pengadian di kepulauan Nias, Pulau Tello yang langsung menghadap ke samudra Hindia laut lepas tak bertepih.
Awal menerima dan membaca surat tugas bahwa di tempatkan di Nias, ada sesuatu di benak bahwa akan “dibuang kemana”. Sepintas dan refleks tangan ini memainkan jari-jemari menuliskan di om Google “bagaimana sosial, kultural, serta geografis pulau Tello?” penasaran yang makin menjadi setelah membaca keterangan tentang pulau Tello secara geografis hanya kurang lebih 14 km, bak perahu kecil diatas lautan yang tak bertepih terombang ambing dihempasan ombak. Bagi seorang dai yang sudah diberi pembekalan harus siap ditempatkan dimana saja, tidak boleh down/menyerah begitu saja. ungkapan orang bijak “kalah sebelum berperang”.
Al-hasil, hari pemberangkatanpun tiba. Perjalanan ditempuh dengan transportasi udara pesawat rute Solo-Jakarta-Padang, Padang-Pulau Lasondre selama dua hari tanggal 31 Mei-01 Juni 2018. Saat itu tiba di Bandara Internasional Minangkabau Sumatra Barat jam 22.00 WIB, sejenak beristirahat di mushola bandara kamipun berlayar ke pulau kapuk tertidur merebahkan tubuh seharian di perjalanan, karena penerbangan dari Padang menuju Pulau Lasondre keesokkan harinya.
Waktu seakan berputar begitu cepat alarm hp berbunyi menujukkan pukul 03.50 kamipun terbangun dengan ingatan pertanda sahur bulan puasa Ramadhan. Sambil menarik nafas sahur apa yang akan kami makan, disamping tas ransel belum bergerak ada sisa roti/snack serta air minum pemberian pramugari, dengan modal makanan itu kami pun berniat puasa.
Pesawat Padang-Pulau Lasondre dijadwalkan tanggal 01 Juni 2018 jam 7.30 WIB tack off, kamipun menuju pintu masuk bandara. Namun sebelum itu, kami sempat melihat dan berjalan sekitar bandara ada sesuatu yang membuat kami bertasbih “subhanallah” bahwa mahakarya sang pencipta dengan segala keindahannya, begitu elok dipandang didepan gerbang bandara berjejer bukit barisan Padang Pariaman juga matahari menunjukkan keeksostisannya senja di pagi hari berwarna merah merekah.
Akhirnya kami pun masuk dalam bandara untuk melakukan check in pemeriksaan barang-barang bawaan, sewaktu penimbangan barang bawaan kami melebihi kapasitas yang ditentukan oleh pesawat Susi air yaitu hanya 10 kg karena pesawatnya kecil bermuatan maksimal sembilan orang penumpang dan dua pilot, dari solo-jakarta-padang-losendre kami membayar kelebihan barang bawaan total lima ratus ribu rupiah. maklum kita satu tahun membawa pakaian dan perlengkapan seperti buku lumayan banyak.
Tidak lama kemudian kamipun terbang menuju pulau Lasondre, dengan pikiran berkecamuk rasa takut juga menantang sebab pesawat yang kami tumpangi kecil, pesawatpun terbang mengawang-awang di atas laut yang tidak terlalu tinggi dari permukaan laut, sambil mengalihkan rasa takut kami menikmati perjalanan melihat kiri-kanan pemandangan alam pulau-pulau kecil tidak ada penghuni tampak hijau berbaris kelapa yang tumbuh liar dan lautan biru air terbentang luas indah sekali seakan mata tidak mau berkedip agar tidak melewatkan sudut demi sudut keindahan alam ini.
Perjalanan kami tempuh satu jam tiga puluh menit dengan keyakinan yang kuat alhamdulillah kami sampai selamat sampai tujuan landing di bandara pulau Lasondre. Jam saat itu pukul 09. 15 menit, tampak seorang lelaki tinggi berbadan besar memakai topi memanggil kami didepan pintu keluar bandara, beliau menyapa dan salam memperkenalkan dirinya sebagai sekretaris PCM Pulau Tello yang menjemput kami adalah Pak Suhaidi panggilan kesehariannya marga Koto asli orang minang. Dengan ramah tamahnya mengajak mengobrol sambil berjalan kami menuju pelabuhan, hati kecil bertanya “lah ini kita mau kemana ya, memang ini belum sampai di lokasi?”.
Dari bandara ke pelabuhan tidak terlalu jauh kami diarahkan memasuki perahu mesin, sambil tersenyum mengkerut kening “owalah belum sampai di lokasi pengabdian”. Kira-kira 20 menit lagi kami menyebrang melewati laut untuk sampai di Pulau Tello, Allahuakbar pekikku dalam hati pengalaman pertama bersentuhan lansung dengan air laut yang dalamnya kebawah tidak terpekirakan dan ombak laut menemani laju perahu.
Sembari menikmati perjalanan kami terperangah mendengarkan dan melihat masyarakat berbicara bahasa dan logat setempat dalam percakapan itu pendengaranku merekam seorang perempuan sepertinya menelpon keluarganya “ambo alah dakek di pelabuhan ka tello da, jampuik yo da” kurang lebih seperti itulah. Pemandangan saat diatas udara belum berhenti sampai disitu, kini lebih dekat menyaksikan kekayan laut lengkap dengan ikan-ikan yang bermain berenang disekitar perahu warna-warna kulit yang ia miliki “subhanallah” ucap lisan ini, sehingga pulau Tello dan sekitarnya kerap menjadi destinasi wisata alam yang harus dikunjungi hal ini terbukti baik dalam dari dalam dan luar negeri para penggiat traveling berwisata pantai di pulau Tello dan sekitarnya
Tiba dilokasi, jauh dari penglihatan semakin dekat pelabuhan pulau Tello, akhirnya sampai juga bersandar perahu yang kami tumpangi. Tidak jauh dari pelabuhan kami diantar menuju rumah warga yang akan kami tempati selama satu satu tahun pengabdian.
Selayang Pandang Tentang Pulau Tello
Bagi seorang yang tinggal dipesisir laut suara lantang dan keras menjadi ciri khas mereka dalam berkomunikasi. Pulau Tello adalah salah satu pulau kecil yang masuk dalam kategori daerah 3 T. Luas daratan Pulau Tello seluas 14 Km2.
Berdasarkan data kependudukan Pemerintah Kecamatan Pulau-Pulau Batu Tahun 2017, Kecamatan Pulau-Pulau Batu terdiri dari 21 Desa dan 1 Kelurahan, yaitu : Kelurahan Pasar Pulau Tello, Desa Hili Otalua, Onaya, Bawo Dobara, Bawo Amahelato, Bawo Omasio, Loboi, Hili Amaodula, Baruyu Lasara, Sebuasi, Sifitu Ewali, Rapa-Rapa Melayu, Sinauru, Siofa Ewali, Ora Hili, Simaluaya, Silima Ewali, Sisara Ewali, Sidua Ewali, Koto, Lasondre, dan desa Balogia. Sedangkan untuk jumlah penduduk di kecamatan Pulau-Pulau Batu pada tahun 2017 adalah 8.519 jiwa.
Daerah dengan jumlah penduduk terbanyak adalah Kelurahan Pasar Pulau Tello sebanyak 1.384 jiwa. Sedangkan daerah yang paling sedikit jumlah penduduknya adalah Desa Rapa-Rapa Melayu sebanyak 79 jiwa.
Dari segi pemeluk agama, Pulau Tello didominasi oleh pemeluk agama Kristen Katolik dan Protestan kemudian diikuti agama Islam diurutan ketiga. Dari 22 Desa tersebut yang mayoritas penduduknya beragama Islam hanya 5 Desa yaitu Kelurahan Pasar Pulau Tello, Desa Simaluaya, Desa Sinauru, Desa Sirapa-Rapa Melayu dan Desa Koto. Yang unik di Pulau Tello adalah berkumpulnya berbagai macam Suku. Karena menurut beberapa sumber dahulu Pulau Tello adalah Pulau kosong yang tidak berpenghuni.
Konon yang pertama kali menemukan adalah para pelaut dari Suku Bugis beragama Islam dari Makassar. Sebagai salah satu buktinya adalah sejarah nama Desa Simaluaya. Desa Simaluaya pada mulanya adalah sebuah perkampungan kecil yang dihuni oleh beberapa keluarga saja, dimana awal pertama namanya adalah maruaya. Maruaya berasal dari bahasa Bugis yang artinya malu kepada Ayah. Ini berawal dari kedatangan sekelompok orang dari suku Bugis yang berlayar meninggalkan daerahnya dengan tujuan ingin merubah nasib dan kehidupannya menjadi lebih baik.
Hal ini disebabkan karena ditempat asal mereka termasuk orang-orang yang tidak berhasil dan tidak dapat hidup mandiri untuk bisa membahagiakan dan membanggakan orangtuanya, sehingga sampailah mereka didaratan Pulau Tello dan berdiam dibeberapa tempat yang dirasa bisa melanjutkan kehidupannya. Karena sudah ada perkampungan, maka mulailah berdatangan orang-orang dari suku lain seperti suku minang (dari Padang), suku melayu, suku Batak dan suku Nias. Sehingga terbinalah hubungan kekeluargaan diantaranya melalui perkawinan antara suku, sehingga terbentuklah sebuah kampung yang dipimpin oleh kepala kampung. Setelah kemerdekaan Indonesia tahun 1945, kampung Maruaya resmi menjadi sebuah desa yang diberi nama Desa Simaluaya dan kepala kampung berubah menjadi kepala desa sampai sekarang.
Kehidupan antar ummat beragama di pulau Tello terbilang kondusif, toleransi menjadi suatu yang hidup ditengah-tengah masyarakat dan hidup berdampingan berinteraksi sebagaimana pada umumnya. Antisipasi sebagai langkah preventif yang dilakukan oleh tokoh-tokoh agama di pulau Tello agar kiranya materi dakwah tidak terlalu memperuncing masalah/isu-isu sensitifisme antar agama. Alat-alat kelengkapan dan instrumen rumah ibadah bebas merdeka bergemah lantang di menara masjid seperti suara adzan lima waktu, peringatan hari besar Islam tabligh akbar, dan lain sebagainya.
Di pulau Tello alat transportasi menggunakan sepeda motor dan perahu, untuk mobil kendaran pribadi kerap tidak ada jikapun ada hanya mobil logistik pengankut bahan pangan, sandang, dan papan dari pulau daratan sumatera. Akses ke kota kabupaten harus menyebrangi lautan dengan kapal penumpang sekaligus pengankut logistik berjam-jam ditengah laut hal ini jika lagi musim hujan mengakibatkan badai kencang sehingga kapal tidak bisa beroperasi dengan baik, lebih-lebih masyarakat secara umum kepulauan yang berprofesi sebagai nelayan tidak bisa menangkap ikan.
Dengan jarak dan cuaca yang tidak menentu tersebut membuat masyarakat yang hidup di pulau-pulau sulit berpergian dan mendapatkan informasi keluar masuk pulau lainnya. Belum lagi teknologi berupa sinyal dan internet sangat terbatas baik kapasitas juga sarana prasananya. Di pulau Tello sendiri akses sinyal dan internet hanya berkisar pada pusat kecataman, apalagi di pulau, lain hal ini menimbulkan permasalahan pola komunikasi haru tatap muka diantara masyarakat juga sekolah-sekolah yang secara peraturan menteri diharuskan ujian berbasis komputer yang terhubung ke internet, sehingga sebagian sekolah bergabung ujian ke pulau Tello dan ada juga masih menggunakan kertas dan pensil karena situasi dan kodisi yang tidak mendukung.
Corak pekerjaan di pulau Tello sebagaimana pada umumnya bervariatif mulai berdagang wiraswasta, sebagai abdi negara (PNS), dan yang paling dominan menjadi nelayan penangkap ikan secara tradisional. Struktur tanah yang bebatuan dan penuh pasir mempengaruhi tanaman juga bercocok tanam masyarakat, tanaman yang menjadi makanan pokok seperti padi, jagung tidak tumbuh subur ahhasil sektor pertanian di pulau Tello tidak menjanjikan, hal ini mengakibatkan harga yang tinggi (mahal) seperti sayur-mayur, buah-buahan, makan pokok impor semua dari daratan pulau Sumatera. Dengan demikian, pendapatan masyarakat setempat tergolong menengah kebawah sehingga pembangunan sumber daya manusia di pulau Tello dan sekitarnya masih minim, indikatornya banyak anak-anak putus sekolah bahkan tidak melanjutkan sekolah karena faktor ekonomi, para sarjana dari berbagai bidang masih bisa dihitung oleh jari.
Aktivitas Dakwah di Pulau Tello
Sebagaimana tugasnya seorang dai Muhammadiyah yang diutus oleh LDK membantu PCM dalam berdakwah memberikan pemahaman terhadap generasi-generasi muda dalam berIslam, bahkan diharapkan memberikan nuansa yang berbeda perilaku keagamaan dalam bermasyarakat. Sebagaimana orang yang baru datang disuatu tempat kamipun perlu beradaptasi dengan dan masyarakat.
Ditempat pengabdian ini kami difokuskan mengelolah MDA dan menjadi tenaga pengajar di MIS Muhammadiyah, serta membantu sekolah-sekolah Islam lainnya. PCM Pulau Tello Kec. Pulau-Pulau Tello sendiri memiliki amal usaha MIS Muhammdiyah dan masjid sebagai tempat ibadah yang terbuka untuk semua kalangan Islam, kemudian aktivitas dakwah adanya pengajian keliling setiap malam ahad yang diisi oleh Dai LDK yang ditempatkan disini dan ustad lainnya.
Sebagai tugas pokok mereka yaitu membantu aktivitas dakwah PCM selain itu kami ditugaskan menjadi tenaga pengajar di Madrasah yang ada di pulau Tello yaitu MIS Muhammadiyah, MTs Darul Muta’limin, Madrasah Aliyah Bahrul Ulum. Alhamdulillah seiring berjalannya waktu diantara kami dipercaya untuk memangku amanat sebagai kepala sekolah dan wakil kepala sekolah.
Selain itu kamipun secara kontinu berdakwah lewat instansi menjalankan program-program seperti membaca Al-Qur’an dan tahsin sebelum belajar dipagi hari, ceramah setelah sholat dzuhur berjamaah, tahfidzul Qur’an juz 30, kegiatan ekstrakulikuler berupa Tapak Suci di Madrasah Aliyah Bahrul Ulum dan juga Madrasah Ibtidaiyah Swasta milik Muhammadiyah, serta turut membantu kegiatan-kegiatan yang ada di sekolah. Pengajian pemuda Al-kahfi setiap malam Jum’at yang diawali dengan membaca surat Al-kahfi secara bergilir dan ceramah agama tanya jawab masalah-masalah ibadah amaliyah, pengajian dengan misi utama memakmurkan masjid-masjid sholat Isya berjamaah yang ada di pulau Tello secara bergilir.
Adapun untuk masalah tantangan atau hambatan dakwah akan selalu ada namun sebisa mungkin kami akan mengatasinya dan berusaha mencari solusinya. Antara lain yang kami temui dilapangan:
- Pemahaman kuat sebagian masyarakat dengan tradisi yang sudah turun menurun terutama dalam masalah praktek Ibadah, sehingga para pendakwah dari luar daerah yang pemahamannya sedikit berbeda dengan mereka sulit diterima. Berupa pemahaman agama dan praktek keagamaan amalayiah ibadah yang berbeda dari pemahaman keagamaan menurut Muhammadiyah, namun kami berusaha tidak prontal menolak begitu saja, pelan-pelan mencoba untuk berbaur dan memberikan pemahaman lewat generasi muda-mudanya khususnya yang ikut pengajian Ar-Rahman. Bahkan tak jarang praktek yang berkaitan dengan takhayul, bi’ah, khurufat terjadi.
- Kurangnya kesadaran sebagian orangtua di pulau Tello untuk menyekolahkan anaknya di sekolah agama atau pengajian-pengajian al-Quran.
- Karena kondisi umat Islam yang lebih sedikit dari pemeluk agama lain (Minoritas)
- Kemudian dari pada itu, logat cara berbicara masyarakat setempat turut mempengaruhi dalam membaca melafazkan bunyi dari Al-Qur’an yang tidak sesuai dengan makharijul huruf dan kaidah-kaidah yang berlaku.
- Selain itu juga dalam hal latihan silat kami membutuhkan fasilitas yang mendukungan seperti body protector, samsak, dan lain-lain, dimana tidak ada dana yang cukup untuk membeli itu semua, al-hasil dengan keterbatasan tersebut kami menggunakan batang pisang sebagai alat yang dipukul.
- Memilah-memilah materi dakwah agar tidak terjadi gesekan antar umat bergama dan antar ormas Islam lainnya.