Cerpen Meraih Asa di Amerika
LE Purwadisastro
Roni gelisah. Masa masa menunggu untuk mendapatkan kepastian ke mana belajar di Amerika Serikat, merupakan masa pergulatan batin pada dirinya. Secercah sinar mulai mekar, mimpi mimpi selama ini akan menjadi kenyataan. Tetapi mestikah ia tinggalkan anak isteri dalam kondisi jauh dari pas-pasan.
Isterinya, nampak memahami apa yang ia pikirkan. “Kesempatan tidak akan datang dua kali,” kata isterinya. Kuatkan tekad dan penuh semangat untuk berangkat tanpa beban, serahkan semuanya kepada Allah. “Toh, itu semua untuk membangun masa depan kita semua,” sambung isterinya.
Dengan dorongan isterinya, sudah barang tentu pikiran yang penuh keraguan-raguan jauh berkurang. Ayahnya juga memberikan dorongan, “kewajiban berusaha, bagaimana hasilnya Allah yang menentukan.” Sahabat sahabat di kampung, seperti Ahmad, Sobri, Hamdi, dan Tennis, juga memberi tambahan semangat, sudah barang tentu dengan gaya mereka. “Kamu jadi orang ke empat dari kampung ini yang belajar ke luar negeri,” kata mereka. Pertama Mitro yang belajar di Amerika. Kedua Azhar di Kairo Mesir. Ketiga Basith di Australia.
Benar kata isterinya, kesempatan tidak akan datang dua kali. Ia harus tetap berangkat ke Amerika. Perjuangan itu sudah ia rintis sejak mahasiswa, sejak sebelum ia menikah. Bagaimana ia harus belajar bahasa Inggris, karena malu ketika mengucap nama dalam bahasa Inggris dan ditertawakan publik. Bagaimana akhir-akhir ini harus bekerja keras untuk menaklukkan TOEFL sehingga bisa diterima sebagai mahasiswa Amerika.
Bahkan ia sudah mendaftar berulang kali untuk mendapatkan beasiswa. Di antaranya sudah ada yang sampai wawancara untuk mendapatkan jurusan yang cocok. Ia salah memilih jurusan sehingga harus ditolak. Karenanya, untuk saat ini, ia menyerahkan kepada pemberi beasiswa untuk menetapkan jurusan mana ia harus kuliah program master di Amerika.
Saat ini, ia sedang menunggu keputusan itu. Ia sedang senang-senangnya bermain dengan anak pertamanya yang masih kecil. Ini sebetulnya yang juga membuatnya agak berat meninggalkan keluarganya. Ia sering bermain-main dan berjalanjalan di tanah lapang dekat kampungnya. Hampir tiap sore, ia lakukan.
Ocehan anaknya selalu mengiang, bagaimana setiap pulang kerja, anaknya selalu mengajaknya untuk bermain ke tanah lapang itu. Omongannya memang belum jelas tetapi telunjuknya selalu saja mengarah ke tanah lapang sambil merengek-rengek.
“Saya harus tatag,” gumam Roni. Semuanya itu akan ia serahkan kepada isterinya nanti agar anaknya kondusif untuk ditinggalkan. Toh, belum tahu kapan sebetulnya harus berangkat, masih ada waktu untuk mengatur keadaan dan menata hati mempersiapkan diri untuk meninggalkan rumah menuju Amerika guna meraih asa.
Ia terbantu dengan lingkungannya yang Islami, yang kondusif untuk meninggalkan anak dan isterinya. Ia yang juga kader Muhammadiyah juga teringat pesan Kiai Dahlan.
“Muhammadiyah pada masa sekarang ini berbeda dengan Muhammadiyah pada masa mendatang. Karena itu hendaklah warga muda-mudi Muhammadiyah hendaklah terus menjalani dan menempuh pendidikan serta menuntut ilmu pengetahuan (dan teknologi) di mana dan ke mana saja. Menjadilah dokter sesudah itu kembalilah kepada Muhammadiyah. Jadilah master, insinyur, dan (profesional) lalu kembalilah kepada Muhammadiyah sesudah itu.”
Ia berjanji dalam hati, ketika usai belajar di Amerika tidak akan lupa untuk mendarmabaktikan ilmunya untuk kemajuan Persyarikatan Muhammadiyah. Apapun nanti yang dia pelajari di Amerika jika cocok akan ia terapkan juga untuk kemajuan Muhammadiyah, tidak hanya untuk tempat ia mengajar di perguruan tinggi negeri saat ini.
“Ah….berangkat saja belum, perguruan tingginya juga belum pasti sudah ingin berbakti,” gumam Roni, tetapi ia sungguh tetap ingin mendedikasikan ilmunya pada Muhammadiyah.
Ia juga teringat pesan Kiai Dahlan.
“Di masa yang akan datang, anak-anak warga Muhammadiyah tidak hanya akan tersebar di seantero tanah air, tapi akan tersebar ke seluruh dunia. Penyebaran anak-anak muda Muhammadiyah tersebut juga bukan semata-mata karena tugas keilmuan, melainkan juga akibat hubungan perkawinan.”
Ia merasa menjadi salah satu warga Muhammadiyah yang diprediksi Kiai Dahlan menyebar ke seluruh dunia. Karenanya, selain menimba ilmu nantinya juga akan menjaga diri untuk tidak berbuat cela dan bisa menjaga marwah Muhammadiyah.
Hari yang dinantikan datang. Hari itu datang surat dari pemberi beasiswa. Ia diminta segera hadir ke Jakarta untuk diberangkatkan ke Amerika. Perguruan Tinggi yang berada di pinggiran pantai timur Amerika sudah menanti.
Waktu berangkat itu akhirnya tiba. Anak isterinya dari kampung ikut mengantarkannya ke Jakarta. Waktu perpisahan tiba, ia dan isterinya menahan diri untuk tidak meneteskan air matanya. Mereka takut ketika mereka menangis, anaknya yang kecil ikut menangis juga dan itu akan memberatkan hatinya untuk berangkat ke Amerika. Setelah pelukan perpisahan, mereka hanya saling melambai sambil menahan tangis dan Roni berusaha meraih asa di Amerika.
Artikel ini pernah dimuat di Majalah SM No 24 Tahun 2017