YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah – Principal Recipient (PR) TB ‘Aisyiyah melaksanakan Seminar Daring bertajuk “Pendampingan Kelompok Terdampak TBC melalui Rumah Singgah: Bermitra, Berdaya, Berkelanjutan!”.
Seminar dihadiri oleh 152 peserta yang terdiri dari 12 Pimpinan Wilayah ‘Aisyiyah (PWA), para pengelola program TBC Care tingkat provinsi dan kabupaten/kota, manajer kasus (pendamping untuk pasien TBC resisten obat), organisasi mitra yakni PELKESI dan PERDHAKI, 14 organisasi mantan pasien dari berbagai propisi, organisasi masyarakat sipil serta peserta umum dari kalangan pegiat sosial.
Medical Specialist PR TBC ‘Aisyiyah drg Rahmi Aulina Agam, MSc menyampaikan seminar dan rangkaian pelatihan pengembangan shelter ini dapat bermanfaat dalam hal memberikan edukasi dan mematahkan stigma mengenai TBC. Bukan hanya untuk pasien dan keluarganya, namun juga banyak komponen masyarakat lainnya.
Authorized Signatory PR TB ‘Aisyiyah Dr. Rohimi Zamzam SH, Psi, MPd, Psikolog menegaskan tentang komitmen organisasi untuk menjadi sistem sumber yang aman untuk pasien TBC, khususnya TBC RO melalui penyediaan dan pengembangan shelter.
“Seperti KH. Ahmad Dahlan harus bersungguh-sungguh hati dan tetap tegak pendirian. Intinya walaupun kondisinya membuat was-was, tapi kita juga Faiza Azamta Fatawakkal ‘Alallah. Innallaha Yuhibbul Mutawakkileen yang kita kuatkan. Peserta mari kita Bersatu, untuk penderita TBC yang akan kita bantu,” ungkap Rohimi.
Acara dibuka Ketua Dewan Pembina PR TB ‘Aisyiyah Dra Siti Aisyah, M.Ag. ‘Aisyiyah turut berkiprah dalam mengusung Perempuan Berkemajuan serta bagaimana ‘Aisyiyah berkomitmen dalam penanggulangan TBC.
‘ Aisyiyah adalah Ibu Negri karena ikut mendirikan negri sebagai salah satu perwakilan perempuan di BPUPKI juga penggagas Kongres Perempuan 1928 bersama organisasi perempuan lainnya jadi “Ketika negeri sedang sakit maka Ibu tidak akan bisa tidur, begitu juga dengan ‘Aisyiyah dalam penanggulangan TBC dan Melawan COVID-19,” katanya.
Sekretaris Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah Dr. Tri Hastuti Nur Rochimah, M.Si memberikan berbagai Teknik dan strategi untuk pemberdayaan ekonomi dan membangun jejaring. Setidaknya ada 5 strategi yang penting untuk diperhatikan.
Yakni penguatan kelembagaan, kepemimpinan, pemberdayaan ekonomi itu sendiri, advokasi dan membangun jaringan, serta melakukan monitoring dan evaluasi serta pembelajaran dari tahapan pemerbedayaan itu sendiri. Secara spesifik, Tri menyampaikan bagaimana analisis gender dalam pemebrdayaan yang melihatnya dari kebutuhan praktis dan strategis.
Terkait pemberdayaan ekonomi untuk pasien atau orang terdampak TBC yang keberlanjutan Tri menegaskan “Pemberdayaan ekonomi diawali dengan pemetaan kebutuhan dan potensi pasien atau keluarga pasien berbasis komunitas. Pemberdayaan ekonomi ini bisa dengan model pendampingan kelompok maupun individu.”
Lebih lanjut, pada paparan kedua disampaikan oleh Bunga Pelangi, MKM (Community Development Coordinator) terkait Hasil Needs Assessment Pengembangan Shelter PR TBC ‘Aisyiyah. Diinformasikan bahwa telah terdapat 12 Shelter di 14 wilayah kerja TBC Care ‘Aisyiyah dengan berbagai tantangan yang ditemui saat memilih shelter serta bagaimana pengelolaannya selama ini. Setidaknya akan dilakukan pengembangan shelter dinilai dari 4 aspek yakni aspek edukasi, psikososial, penegakan hak asasi manusia dan kesetaraan gender, serta pemberdayaan ekonomi.
Sesi selanjutnya dipaparkan tentang pengalaman dan praktek baik antara ‘Aisyiyah dengan Yayasan Arsitektur Hijau Nusantara (YAHINTARA) dalam mengembangkan shelter. Seperti diketahui bersama bahwa salah satu lokasi Community TBC Care ‘Aisyiyah pada Round NFM, yakni Kabupaten Garut, masih berkelanjutan dan ikhtiar dalam menjalankan program penanggulangan TBC. Melalui Majelis Kesehatan Pimpinan Daerah ‘Aisyiyah Garut, telah dilaksanakan kolaborasi penthahelix dengan organisasi masyarakat sipil, para ahli dan tentunya pihak pemerintah.
Bapak Ruli Oktavian (Ketua YAHINTARA) menyampaikan berbagai terobosannya dalam program rumah sehat, serta mengedukasi komunitas di Garut, Jawa Barat. Yahintara, (sebagai organisasi professional – kumpulan para arsitek) berkomitmen untuk menjalankan peran dengan mencoba memberikan kontribusi pada masalah hunian dan lingkungan sebagai Langkah preventive dalam eliminasi penyakit TBC. Secara khusus, Bapak Ruli menyampaikan “Kolaborasi dan sinkronisasi kegiatan dengan berbagai komunitas sangat diperlukan, memahami kelebihan dan kekurangan masing-masing. Insya Allah selalu dalam lindungan Allah SWT.”
Perwakilan dari PDA Garut, yakni dr Sakinah Ginna (Ketua Majelis Kesehatan PDA Garut) turut serta untuk memberikan informasi pengalaman baik kolaborasi pentahelix dan bagaimana komitmen PDA dalam tetap khusnul khotimah melaksanakan program penanggulangan TBC. Rumah singgah yang ada di Desa Sukamentri, Kecamatan Garut Kota merupakan wujud kepedulian terhadap pasien TBC (Baik TBC Sensitif Obat maupun RO) yang kurang mampu dan rumahnya tidak layak huni untuk diinapkan sementara (2 minggu-2bulan) di awal pengobatan.
Harapannya adalah dapat memutus rantai penularan dari TBC. Tidak hanya itu, rumah singgah TBC juga dicanangkan untuk menjadi pusat kegiatan mendukung eliminasi TBC, Desa Siaga TBC dan tentunya sebagaimana marwah organisasi ‘Aisyiyah –menjadikannya Desa Sehat Qoryah Thoyyibah ‘Aisyiyah (DSQTA). Dalam penutupan paparannya, dr Ginna juga mengutip pesan dari Ninik Annisa, MA (pada peresmian shelter): “Dengan ikhlas berkolaborasi, insya Allah Jaya”.
Acara seminar daring ini ditutup dengan sambutan dari Ibu Tuti Alawiyah, MSSW, PhD (Program Manager PR TBC ‘Aisyiyah) yang memberikan arahan untuk replikasi dan adaptasi praktik baik dari pengalaman kolaborasi lintas sektor, serta mempersiapkan strategi berkelanjutan dari penanggulangan TBC melalui upaya pemberdayaan.
Beberapa Manajer Kasus TBC RO perwakilan Sumatra dan Jawa yang menjadi peserta seminar menyampaikan “Dari seluruh seminar yang saya pernah ikuti tentang TBC, baru kali ini mengetahui pembelajaran baru terkait desain rumah yang sehat. Dari kolaborasi pentahelix, khususnya Yahintara tersebut menunjukkan bahwa kesehatan adalah tanggung jawab bersama, bukan hanya dari profesi kesehatan. Ini penting.” (Bunga/Rakhma)