Zaman ini disebut era digital, yakni suatu fase modern tahap lanjut yang ditandai oleh dunia berteknologiinformasi serba-digital. Hubungan sosial manusia tidak lagi bertumpu pada interaksi sosial konvensional yang bersifat langsung tetapi melalui media elektro-magnetik yang serba-canggih seperti internet, handphone, televisi digital, radio digital, dan berbagai alat komunikasi-informasi virtual lainnya yang mudah dan supercepat. Komunikasi melalui twitter, facebook, whatsApp, instagram, dan media digital lain telah menjadi habitat sehari-hari insan zaman now
Dunia digital atau virtual telah menciptakan “masyarakat virtual” (virtual community) sebagai corak masyarakat baru yang berkarakter Gesselschaft atau patembayan. Yakni kelompok sosial yang anggota-anggotanya berhubungan dengan dasar kepentingan, rasional, dan relasi sosial ala masyarakat kota. Melalui media sosial misalnya, manusia berhubungan di medan maya dalam hubungan impersonal atau melalui alat komunikasi tertentu sehingga kehilangan rasa dan jiwa, yang tampil laksana “mesin” yang berkomunikasi.
Dunia virtual tersebut tetap merupakan realitas sosial yang niscaya dan nyata. Kenyataan yang dibangun memang buatan tetapi setiap orang berkomunikasi secara nyata. Namun seringkali dunia maya itu mengecoh dan menyibukkan manusia dalam dominasi mesin informasi yang membuat pemakainya kehikangan sentuhan kemanusiaannya yang alami. Orang tenggelam dalam dunia medsos nyaris 24 jam. Misalkan orang sudah merasa bekerja nyata melalui medsos, padahal hanya aktif berujar-kata tanpa henti dalam sejuta retorika hingga terninabobo dalam realitas buatan itu.
Dunia dan masyarakat virtual sangatlah kompleks melebihi kompleksitas dunia manusia di era sebelumnya. Dalam dunia virtual berlaku juga perebutan kepentingan antar manusia yang sering lebih garang dan mungkin buas dalam hukum Plautus yang dipopulerkan Thomas Hobbes tentang homo homini lopus, bahwa manusia saling memangsa bagai srigala bagi lainnya. Dimulai dari perebutan kata-kata dan tafsir, berlanjut dalam mobilisasi kepentingan berdasarkan aktor dan orientasi dirinya. Politik melalui media sosial dan jaringan virtual tidak kalah keras dengan dunia sosial di masyarakat secara langsung, meskipun kekerasannya bersifat verbal. Dunia medsos bertumbuh menjadi ideologi dan hegemoni baru dalam relasi sosial masyarakat.
Berbeda dengan masyarakat lama yang bersifat Gemeinschaft (paguyuban) sebagai kelompok sosial yang anggota-anggotanya berhubungan secara erat dengan nalar dominan tradisional, komunal, dan afektual. Masyarakat lama ini masih tetap harus dipertahankan sebagai basis masyarakat yang berpijak pada kebudayaan dan lingkungannya yang membumi. Banyak kearifan sosial-budaya dan moral-spiritual yang dapat dipelihara sekaligus direaktualisasi atau ditransformasi ke dalam sistem masyarakat baru yang bercorak virtual-digital itu.
Di Indonesia integrasi masyarakat paguyuban dan patembayan dapat dijadikan model pengembangan dan dakwah Islam menuju masyarakat utama (al-mujtama al-fadhilah) yang berkemajuan sebagai aktualisasi masyarakat Islam yang sebenar-benarnya dalam kehidupan dunia modern yang ekslusif dan majemuk. Karenanya Muhammadiyah dan komponen bangsa yang lainnya penting untuk menjaga keseimbangan antara mengokohkan karakter masyarakat Indonesia yang paguyuban dengan mengembangkan masyarakat patembayan secara seksama dalam fondasi nilai dasar agama, Pancasila, dan nilai luhur kebudayaan menuju kualitas bangsa Indonesia yang berkeadaban mulia sekaligus berkemajuan utama! Hns
Sumber: Majalah SM Edisi 14 Tahun 2018