Seringkali, kebahagiaan hadir secara sederhana, lewat hal-hal kecil yang kadang tidak kita perhatikan. Maka jangan lupakan untuk bahagia
Oleh: Ki H Ashad Kusuma Djaya
Layangkan khayal kita untuk kembali ke masa SD, SMP, atau SMU. Mari kita buat pertanyaan paling mendasar dari gempita perjalanan itu: kenapa kita harus bersekolah? Sejak jam enam pagi kita harus sudah mandi agar tidak terlambat masuk sekolah. Itu tentu tak terlalu berat, setidaknya dibandingkan seorang kawan yang harus berangkat jam 04.00 lalu menenempuh perjalanan ke sekolahnya yang berjarak puluhan kilometer, dan hanya bisa dengan…. jalan kaki. Lantas, belajar di “penjara” itu sampai jam 14.00, baru bisa pulang. Dan itu benar-benar kita lakukan tiap hari, tak henti-henti.
Hanya sesekali, kita melakukan pemberontakan kecil-kecilan dengan tindakan membolos. Hanya saja, pada awalnya perlu sebuah keberanian besar untuk melakukan hal itu. Terasa ada ketakutan bila kita tidak mengikuti “peribadatan” bernama sekolah itu. Karena apa? Apa yang kita takutkan? Dan untuk apa kita melakukan itu semua?
Pertanyaan sejenis dengan yang di atas bisa anda ajukan jika anda mau melihat eksostisme pagi hari di daerah-daerah pinggiran kota. Dulu, sewaktu masih bujangan, sehabis subuh saya sering duduk-duduk di sebuah warung pinggir jalan Bantul. Ketika duduk di sana agak lama, maka di sekitar pukul 06.00-07.45 kami mendapatkan pemandangan yang begitu menakjubkan. Ratusan sepeda dan sepeda motor para pekerja berjajar-jajar menuju satu arah, yaitu ke ….. utara.
Mereka bergerak dalam barisan rapi layaknya karnaval harian. Tiada pengatur gerak, tidak ada pula pemimpin barisannya. Tempat bekerja merekalah sesungguhnya yang menyamakan langkah. Dari geliat Bantul yang sudah meng-kota dan puluhan dusun-dusun yang terus bersalin wajah, para pekerja itu mengayuhkan pedal sepeda atau memacu laju motornya menikmati matahari pagi-nya Jogja.
Sore harinya, karnaval itu berjalan dengan arah yang berbalik. Dengan wajah-wajah yang lelah, ribuan pekerja kembali ke Bantul dengan sepeda dan sepeda motor mereka. Berjajar-jajar, kendaraan melaju ke selatan. Menjemput canda dan tangisan anak-anak mereka. Sudah selayaknya kita memuji keindahan itu.
Anak-anak sekolah dan para pekerja yang hilir mudik mengumandangkan perjalanan indah dalam waktu-waktu tertentu, merekalah sesungguhnya urat nadi kehidupan modern ini. Sekolah dan kerja adalah ritus yang menopang kebudayaan developmentalis. Di mana dalam kebudayaan itu, manusia-manusia yang menjalaninya memiliki impian tentang kebahagiaan.
Ribuan literatur kebudayaan berserak melahirkan peribadatan industrial. Dari serangkaian buku pelajaran orang-orang mengenal kosa kata pengangguran, putus sekolah, sampah masyarakat dan sebagainya. Semua itu bisa dipetakan dalam satu garis besar ide: Mereka yang taat menjalani ritus-ritus modernitas percaya bahwa kebahagiaan akan mereka dapatkan. Sementara mereka yang ingkar ditandai dengan keengganan menjalani ritus-ritus itu dipercaya oleh masyarakat akan mendapatkan kesengsaraan.
Kebahagiaan bagi para pekerja adalah kelimpahruahan materi, setidaknya tidak kekurangan. Mereka yang tidak menjalani ritus kerja, akan dipandang sebagai manusia yang “ingkar”, karenanya masyarakat menyumpahinya dengan ancaman neraka kesengsaraan hidup di kemudian hari. Dalam kebudayaan industrial, imajinasi kebahagiaan dicirikan sebagai manusia yang memiliki biaya konsumsi tinggi. Dan tujuan itulah sesungguhnya yang ingin diraih para penganut “agama” industrial dalam bersekolah.
Bagi pelaku ritus sekolah, kebahagiaan bagi mereka adalah tempat kerja yang basah di kemudian hari dengan istri cantik/suami tampan bak bidadari-bidadari jannah. Mereka berharap dengan bekerja dapat menjadi satu bagian dari masyarakat yang selalu dapat memenuhi segala keinginannya, yang dalam bahasa W.W. Rostow adalah masyarakat dengan biaya konsumsi tinggi. Sekolah seakan mengajarkan cara bahagia hanya bisa didapat dengan memperbesar kemampuan dalam berbelanja.
Saya pun ingat cerita lama tentang kisah Ki Ati Segoro. Suatu ketika Ki Atisegoro asyik memancing ikan dan sampai tengah hari tak seekor ikan pun diperolehnya. Lewat Koh Wawan, seorang wisatawan yang sedang berlibur menikmati keindahan danau itu, yang langsung berkata, ”Alangkah bodohnya orang ini, lewatkan waktu yang berharga untuk sesuatu yang tak pasti.”
Mendengar gumaman itu Ki Atisegoro tersenyum dan berkata pelan, “Memang aku tampak bodoh, memberikan kesempatan berkomentar orang yang pintar menghargai waktu tapi tolol menghargai orang lain!”
Mendengar itu, Koh Wawan buru-buru minta maaf, “Maaf Pak Tua, saya tidak bermaksud menghina anda!”
Ki Atisegoro pun menjawab, “Tidak apa-apa, Tuan. Ini khan saya sedang mancing satu-dua ikan saja untuk makan malam keluarga kami.”
“Lho, kenapa cuma satu-dua ikan, Pak? Di danau ini banyak ikan. Kalau Anda mau menggunakan jaring, tidak hanya satu atau dua yang bisa Anda tangkap. Jika Anda mau, saya bisa memberi kredit tanpa bunga untuk membeli jaring”
“Untuk apa tuan?”
“Untuk menangkap lebih banyak ikan, Pak. Diantara tangkapan itu, ambil satu-dua ekor ikan untuk disantap keluarga. Sisanya Anda bisa jual dan hasil penjualan ikan itu bisa untuk mengangsur hutang untuk membeli jaring itu.”
“Lalu, jika sudah punya jaring?”
“Jika sudah punya jaring maka Anda bisa menabung, dan Anda pasti punya banyak uang,” kata Koh Wawan.
“Apa yang bisa saya lakukan bila saya memiliki banyak uang?” tanya Ki Atisegoro.
“Pak, jika punya banyak uang maka Anda setiap tahun bisa berlibur dan bersantai seperti saya sekarang ini, Anda juga bisa memancing sepuasnya.”
“Lho, bukankan hal itu yang setiap hari saya lakukan tuan, kenapa harus menunggu setahun untuk bisa bersantai dan memancing?” kata Ki Atisegoro.
Dengan kisah tadi saya tidak ingin mengajari orang untuk menolak sekolah. Saya hanya ingin menunjukkan betapa banyak orang yang lupa cara bahagia dengan apa yang ada padanya. Padahal bahagia itu sesungguhnya sederhana. Selama bisa menikmati apa yang dijalani, bisa memberi manfaat pada sekitarnya, dan bisa mengambil pelajaran dari seluruh yang dialami, maka jangan lupa bahagia.
Ki H Ashad Kusuma Djaya, Wakil Ketua PDM Kota Yogyakarta