YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah – Principal Recipient (PR) TB ‘Aisyiyah kembali menggelar seminar daring bertajuk “Pendekatan Hak Asasi Manusia dan Gender pada Penanggulangan TBC: Adil dan Setara untuk Sembuh!”.
Seminar ini merupakan rangkaian kedua dari upaya pengembangan shelter yang dilakukan oleh PR TBC ‘Aisyiyah. Sebelumnya—pada 2 September 2020 telah dilaksanakan seminar bertajuk “Pendampingan Kelompok Terdampak TBC melalui Rumah Singgah: Bermitra, Berdaya, Berkelanjutan!” secara virtual.
Seminar daring ini dihadiri oleh 127 peserta yang terdiri dari 12 Pimpinan Wilayah ‘Aisyiyah, perwakilan Pimpinan Daerah ‘Aisyiyah dan Pimpinan Cabang ‘Aisyiyah, PELKESI, PERDHAKI, para pengelola program SR dan SSR TBC Care ‘Aisyiyah, Manajer Kasus (pendamping pasien TBC Resisten Obat). Diikuti juga Organisasi Mantan Pasien (OMP), organisasi masyarakat sipil, peneliti, pegiat sosial dan pegiat penanggulangan TBC serta tentunya Kader TBC sebagai garda terdepan upaya pendampingan kasus TBC di komunitas.
Permulaan seminar sudah dipicu dengan narasi yang menarik dari Bunga Pelangi, MKM (Community Development Coordinator PR TBC ‘Aisyiyah) selaku moderator acara.Disampaikan bahwa Indonesia merupakan negara dengan angka penyakit TBC tertinggi ketiga di dunia (2019) yang mana angka pasien laki-laki (52%) lebih banyak dibandingkan pasien perempuan (37%). Hal ini sejalan dengan kondisi pasien TBC di dunia. Melihat fenomena ini, perlu diketahui lebih lanjut tentang penyebab dan dampaknya bagi proses pengobatan dan penanggulangan TBC.
Bahan pemicu tersebut ditanggapi dengan paparan pertama dari Tuti Alawiyah, MSSW, PhD (Program Manager PR TBC ‘Aisyiyah) yang menyampaikan kiprah dan keterlibatan ‘Aisyiyah dalam penanggulangan TBC. Bahwasanya peran komunitas sudah menjadi salah satu mandat dari Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) no 67 tahun 2016 tentang penanggulangan TBC.
Lebih lanjut, narasumber kedua yakni Prof. Alimatul Qibtiyah, S.Ag., M.Si., PhD (Ketua LPPA dan Komisioner Komnas Perempuan) menyampaikan informasi bahwa pendekatan HAM adalah sebuah hal yang mutlak dalam melaksanakan program pengembangan dan penampingan komunitas. Terlebih untuk pemenuhan hak-hak pasien TBC.
Berkenaan dengan perspektif gender, Prof Alim menyampaikan bahwa gender bisa dianggap sebagai sebuah Gerakan yakni untuk menjadikan manusia bisa terbebas dari TBC. Untuk dapat implementasikan hal tersebut dibutuhkan Analisa gender yang melihat bagaimana kebutuhan praktis dan strategis dari perempuan dan laki-laki.
Penting juga kiranya untuk menggunakan Analisa AKPM (Akses, partisipasi, kontrol dan manfaat) dalam Analisa gender. Kedua pendekatan tersebut bisa diterapkan untuk menjadikan shelter (rumah singgah pasien) berperspektif HAM dan gender dalam penanggulangan TBC.
Dengan semakin mengerucutnya pembahasan, moderator menginfokan kembali bahwasanya PR TBC ‘Aisyiyah telah memiliki 12 shelter yang dikembangkan sebagai pusat pelaporan dan rujukan kasus stigma dan diskriminasi.
Pembicara ketiga yakni Nevey Varida Ariani, SH., MH (Majelis Hukum dan HAM PPA & Balitbang Kemhukham RI) menyampaikan informasi terkait pendampingan kasus pelanggaran HAM, diskriminasi dan persoalan gender pada isu kesehatan. Pada paparannya disampaikan bahwa pendamping kelompok terdampak TBC perlu menegakkan prinsip dan strategi dengan cara meningkatkan integritas, keahlian dan energi.
Hal ini diperlukan karena dalam proses pendampingan pasien, tidak hanya memerhatikan kesembuhan pasien tetapi juga terkait dengan penegakkan keadilan. Untuk itu, Pos Bantuan Hukum ‘Aisyiyah siap bersinergi dan saling bekerjasama untuk dapat meringankan beban pasien TBC.
Terdapat 25 Posbakum ‘Aisyiyah yang tersebar di seluruh Indonesia di tingkat PPA serta PWA. “Kedepannya menyambut baik kerjasama untuk mendorong penanganan TBC secara tepat dan efisien” tutur Nevey.
Informasi dan paparan dari pembicara menjadi perhatian bagi peserta seminar yang terlihat dari keaktifan dalam sesi diskusi. Antusiasme peserta dalam sesi diskusi sangat luar biasa, berbagai pertanyaan mendapat tanggapan dan jawaban yang membuat semakin bersemangat.
Dalam kalimat penutup Prof Alim menegaskan masalah TBC tidak dapat dilihat hanya sebagai masalah kesehatan, tetapi masalah TBC harus dapat kita dekati dengan masalah agama, keyakinan, perspektif ke-salingan dan juga perspektif HAM dan kesetaraan gender.
“Sudah saatnya para pihak dari berbagai macam unsur dengan berbagai latar belakang yang berbeda saling bekerjasama dalam penanggulangan TBC. Selamat untuk ‘Aisyiyah yang telah membuat gerakan Indonesia Tanpa TBC yang luar biasa dan bagaimana memperlakukan pasien dengan bermartabat dan adil,” ungkapnya.
Seminar daring ditutup oleh Tuti Alawiyah selaku PM PR TBC ‘Aisyiyah yang menyampaikan bahwa keseriusan dalam penanganan stigma dan diskriminasi kelompok terdampak TBC dengan melakukan dokumentasi pelaporan serta penanganan kasus rujukan.
Hal ini dapat dilakukan dengan berbagai Kerjasama lintas majelis di ‘Aisyiyah, utamanya Kerjasama dengan Majelis Hukum dan HAM melalui Posbakum ‘Aisyiyah, dan juga tentunya kejasama dengan berbagai pihak berkepentingan lainnya. Beliau menutup dengan tagline yang menyemangati pelaksana program penanggulangan TBC ‘Aisyiyah “Kita semua memberi menemani,mendampingi, mengadvokasi, mereka tidak sendiri, bersama kita bisa.”
Seminar daring siang ini menunjukan bahwa Kerjasama Lintas Majelis di dalam ‘Aisyiyah untuk penanggulangan TBC sangat baik untuk terus diterapkan dan dilanjutkan hingga tercapai keberlanjutan program penanggulangan TBC ‘Aisyiyah dalam mendukung Eliminasi TBC di Indonesia. (bunga/rakhma)