Mengawal Siklus 500 Tahun Kedua

Mengawal Siklus 500 Tahun Kedua

Oleh Hajriyanto Y. Thohari

Tidak syak lagi dalam satu dasawarsa terakhir ini terjadi gelombang antusiasme Islam yang sangat besar di Indonesia. Bahkan ada yang mengkonstatir gelombang ini merupakan siklus 500 tahun kedua setelah Islamisasasi Jawa pada masa akhir Majapahit 500 tahun yang lalu. Islamisasi pada waktu itu telah membalik kerajaan Mojopahit yang semula penduduknya mayoritas Hindu-Budha menjadi mayoritas Muslim. Proses perubahan dari mayoritas Hindu menjadi mayoritas Muslim itu menurut perhitungan sejarah berlangsung sedemikian cepatnya sampai-sampai para sejarawan hingga hari ini belum bisa menjelaskannya secara konklusif seperti apa persisnya prosesnya, kecuali sekadar mengatakannya sebagai “berlangsung sedemikian cepatnya” saja.

Kini siklus 500-an tahun itu tampaknya sedang terjadi lagi: proses Islamisasi Nusantara gelombang kedua sedang mengalami pasang. Jika 500 tahun yang lalu gelombang Islamisasi Nusantara sekedar mengubah menjadi Muslim secara formalitas, kini dalam siklus 500-an tahun kedua ini gelombang Islamisasi mengambil bentuk menjadikan penganut Islam yang secara numerikal sudah mayoritas itu menjadi lebih Islami. Ada indikasi yang sangat kuat bahwa umat Islam di Nusantara sedang mengalami transformasi dari kuantitas menuju kualitas, dari mayoritas angka (numerical majority) menuju mayoritas berkeahlian (technical majority). Para penganut Islam ada indikasi yang kuat ingin menjadi lebih Islam lagi dari sebelumnya. 

Lihat saja di mana-mana orang belajar lagi mendalami agamanya secara intensif dan penuh antusiasme lebih dari sebelumnya. Mereka menginginkan guru-guru agama baru, ustadz-ustadz baru, atau ulama-ulama baru, yang berbeda dari guru-guru, ustadz-ustadz atau ulama-ulama lama model sebelumnya. Pasalnya, mereka ingin benar-benar meneladani sunnah Rasulullah SAW, bukan meneladani men of religion yang ada selama ini yang menurut mereka “ambyar”, yang bahkan dalam ghirrah agamanya, benar atau salah, kadang kurang “nendang”.

Mereka ingin belajar Islam dari para guru agama Islam yang baru dan dengan media baru yang lebih diversifikatif: tak peduli melalui sarana dan prasarana yang inkonvensional, seperti media sosial atau online, sekalipun. Pasalnya, mereka tidak puas dengan cara-cara dakwah Islam selama ini. Tak heran jika fitur-fitur media sosial berubah menjadi pesantren-pesantren virtual; guru-guru agama dan ustadz-ustadz yang berdakwah secara konvensional kini dilengkapi dan disempurnakan, untuk tidak mengatakan digantikan, oleh ustadz-ustadz yang tampil lebih “nendang” di medsos atau online.

Siklus kedua Islamisasi ini niscaya akan membentuk corak dan wajah Islam baru yang berbeda dengan Islam di Indonesia selama ini: wajah Islam yang lebih Islami. Wajah Islam yang lebih kaffah: kuat akidah, kuat ibadah, kuat akhlak, lebih percaya diri dalam kemajemukan, toleran, dan bersemangat kemajuan, sebagai modal keruhanian (spiritual capital) dan sosial (social capital) untuk sebuah transformasi menuju masa depan di mana umat Islam yang akan lebih berperan dalam kepemimpinan bangsa dan negara serta membangun peradaban.

Islam Indonesia: a process of becoming

Berbeda dengan dengan di dunia Arab di mana Islam sepertinya sudah “selesai”, Islam di Indonesia masih terus berproses dan bergumul dengan sejarah. Islam di sana sudah menjadi state of being. Islam di sana sudah menjadi identitas kultural bagi orang Arab, apapun agamanya. Lihat saja ketika orang berbicara Arab maka artinya berbicara Islam. Bahkan keduanya disebut dalam satu tarikan napas: al-‘Arabiyah al-Islamiyah (Arab Islam). Sejarah Arab pastilah sejarah Islam. Ketika Philip K. Hitti yang keturunan Arab Kristen itu menulis magnum opus-nya History of The Arab maka isinya tidak lain dan tidak bukan adalah history of Islam.

Demikian juga ketika Albert Hourani yang juga Arab Kristen menulis buku A History of the Arab People (1991) isinya adalah a history of the muslims people. Ketika dia menulis Arabic Thought in the Liberal Age 1798-1939 (1962) maka isinya adalah pemikiran Islam (Islamic thought). Ketika Jurji “George” Zaidan, sastrawan dan novelis Arab Lebanon yang juga Kristen menulis lebih dari 20-an bukunya dan mengungkapkan apa yang dia sebut sebagai masa kegemilangan Arab maka itu persis dengan masa kegemilangan Islam. Keduanya, Arab dan Islam, atau tepatnya kearaban dan keislaman, berhimpitan, berjalin berkelindan, tak terpisahkan (disengagement).

Berbeda halnya dengan di Arab, Islam dan atau sejarah Islam di Indonesia masih terus berproses (in processing) dan bergumul dengan sejarah, alias masih dalam process of becoming. Islam di Indonesia masih dalam masa formasinya yang akan sangat menentukan. Dan fenomena antusiasme ber-Islam di Indonesia, terutama di Jawa yang padat penduduknya, itulah yang akan sangat menetukan kelanjutan dan keberhasilan proses ini. Yang pasti ada empat fakta yang sekaligus menjadi faktor bagi masa depan Islam di Indonesia.

Pertama, dibandingkan dengan di kawasan lain, Islam Indonesia itu masih relatif “baru”. Jangankan dengan Islam di Arab dan Timur Tengah, bahkan dengan Islam di Eropa dan Asia Tengah serta China sekalipun, Islam Indonesia relatif lebih baru. Islam sudah  berkembang bahkan berkuasa di Andalusia, di Eropa Timur (Checnya dan negara-negara bekas Sovyet lainnya, di Kawasan Balkan terutama Bosnia dan Kosovo), Asia Tengah (Turki: ingat zaman Utsmaniyah atau Ottoman), Persia (Iran), dan lain-lainya, di Indonesia pada waktu itu masih pra-Islam. Islam di Indonesia baru mulai berkembang pada Abad 11 dan menjadi mayoritas setelah Abad 15 di akhir masa Mojopahit.

Kedua, Islam di Indonesia merupakan Islam yang paling jauh dengan kawasan pusat Islam (Mekkah dan Madinah). Bayangkan saja umat Islam Indonesia memerlukan setidaknya sembilan sampai sepuluh untuk mencapai pusat Islam. Bandingkan dengan umat Islam di Afrika Utara, Eropa dan apalagi Turki, Iran, Asia Selatan, yang hanya perlu waktu beberapa jam saja untuk mencapai pusat Islam. Demikian juga sebaliknya: dari pusat Islam ke Kawasan-kawasan tersebut.

Walhasil, Islam Indonesia karena jauhnya dari pusat Islam sering diremehkan sebagai Islam pinggiran atau periferal, kalau bukannya malah marginal. Tapi justru karena jauhnya ini Islam Indonesia tidak terkontaminasi konflik-konflik di pusat Islam yang sangat berdimensi global itu. Islam Indonesia luput dari konflik-konflik politik di dunia Arab, dan maksimal hanya mendapatkan resonansi dan reperkuasi yang relatif kecil dan ringan dari kegaduhan politik di dunia Arab yang terjadi sejak lama sampai hari ini.

Ketiga, Islam di Indonesia adalah kawasan dunia Islam yang paling tidak terarabkan. Umat Islam Indonesia adalah satu di antara sedikit bangsa muslim yang tidak berbahasa Arab, bahkan tidak menulis dengan huruf arab (hijaiyah). Bandingkan dengan bangsa Iran, Pakistan, dan Afghanistan, yang meski tidak berbicara dengan bahasa Arab, tetapi setidaknya mereka menulis bahasanya dengan huruf Arab. Demikian juga dalam batas-batas tertentu Turki dan Asia Tengah seperti Uzbekistan, Turkistan, Turkmenistan, yang lebih dekat dengan budaya literasi Arab. Tak ayal lagi hubungan mereka dengan Al-Quran lebih dekat dan lebih intelektual daripada hubungan umat Islam Indonesia dengan Al-Quran yang nota bene, benar atau salah,  masih bersifat ritual, bahkan kadang-kdang mistikal.

Keempat, Islam Indonesia tidak pernah menjadi bagian dari kekhalifahan Islam sejak awal mula sejarah kekhalifahan sejak masa kekhalifahan Rasyidun sampai kekhalifahan Turki Utsmani (Ottoman) yang berkuasa selama berabad-abad itu. Memang ada informasi bahwa Kesultanan Aceh dan Mataram Islam pernah mendapatkan surat pengakuan dari Ottoman, tetapi tidak ada informasi historis bahwa kesultanan dan kasunanan tersebut menjadi bagian Ottoman secara politik dan teritorial. Artinya, secara kedaulatan dan kewilayahan keduanya memang terpisah sama sekali. 

Justru menjadi peluang

Kebaruan, kejauhan, ke-tidak-arab-an, dan ke-tidak-bagi-an tersebut di atas, benar atau salah, menimbulkan perasaan “berbeda” dan sedikit “kurang” dalam diri sanubari umat Islam Indonesia. Perasaan kolektif ini, betapa pun mungkin tidak benar, tetapi justru menjadi pendorong dan energi bagi umat Islam Indonesia untuk berusaha menjadi lebih Islami daripada sebelumnya. Inilah pangkal utama optimisme kita berkenaan dengan terjadinya gelombang antusiasme berislam akhir-akhir ini: Islam di Indonesi mempunyai potensi untuk berkembang menjadi lebih segar dan otentik.

Semua pihak sebaiknya menyikapi siklus sejarah Islamisasi 500-an tahun kedua ini secara lebih obyektif dan tidak konfrontatif. Di satu sisi, umat Islam dan para mujahid dakwah Islam, harus bersikap lebih cerdas, arif, matang dan dewasa dalam taktik dan strategi. Dan di sisi lain, bagi kalangan lainnya tidak perlu ada sikap-sikap phobia terhadap Islam. Semua pihak mesti menyadari bahwa fenomena menuju siklus kedua ini adalah kehendak sejarah (Islam) sebagai agama kebenaran dan rahmat seru sekalian alam. Tak seorang pun, bahkan tak ada satu kelompok pun, yang akan mampu menghalanginya, apalagi menghadang kehendak sejarah ini.

Memang sebagaimana yang terjadi di manapun dan kapan pun, selalu saja perkembangan Islam menghadapi orang-orang yang mencoba membendungnya. Sejak masa Nabi laju perkembangan Islam selalu ada yang memusuhi dan mencoba menghadang. Tetapi selama itu pula Islam, meski kadang tertunda, pada akhirnya selalu saja Islam memenangkan pergumulan sejarah. Pada setiap episode sejarah Islam selalu saja ada golongan yang tidak rela atas perkembangan risalah Islam.

Di Arab, di Timur Tengah, di Eropa Selatan, di Asia Tengah, di Asia Selatan, dan di manapun juga, dalam setiap episode sejarah Islam selalu saja ada golongan yang tidak rela, lilo dan legawa: mereka terus muncul dan bermunculan. Mereka inilah yang sekarang menamakan dan mengolok-olok gelombang antusiasme Islam di Indonesia ini sebagai gejala “mabuk agama”. Mereka adalah kelompok orang-orang yang tidak senang dengan antusiasme umat Islam terhadap agamanya sendiri. Dan mereka menjuluki umat Islam yang sedang bersemangat berislam itu dengan penuh sinisme sebagai “orang-orang yang mabuk agama”. 

Tidak apa mereka mengatakan apa saja. Bukankah mereka itu pada sejatinya adalah dan hanyalah orang-orang kebal agama saja. Kebal dalam arti bebal dan tidak berhati nurani. Sebab, seperti firman Allah, “Allah telah memasang pateri di hati, pendengaran dan mata mereka dengan sehelai tabir” (Q.S. Al-Baqarah: 7). Tabir itulah yang menjadikan hati mereka kebal terhadap kebenaran wahyu Islam, dan hati mereka menjadi bebal. Dan orang bebal pastilah akan binasa. “Katakan, jika kebenaran tiba maka kebatilan segera binasa. Sungguh, kebathilan akan selalu binasa (Q.S: Al-Isra’: 81). Islam sebagai rahmatan lil ‘alamien akan unggul dan tak terungguli. Wallahu a’lam.

Hajriyanto Y. Thohari, Ketua PP Muhammadiyah

Exit mobile version