Cerpen Mustofa W Hasyim
Hidup yang bermakna adalah hidup tanpa musuh, karena musuh terakhir manusia adalah dirinya sendiri, telah dapat dikalahkan. Begitu biasanya orang-orang yang beruntung.
”Aku pernah menjadi manusia yang beruntung seperti itu,” kata Daffa, perempuan cantik keturunan Palestina.
”Kapan itu?” tanya Dave, pemuda Yahudi bertampang keras tetapi suaranya lembut.
”Ketika orang tuaku di desa masih menanam gandum dan berkebun anggur.”
”Aku juga pernah beruntung ketika kecil hidup bersama keluarga yang punya kebun zaitun dan di halaman rumah banyak tumbuh pohon buah paling lezat, delima.”
Daffa dan Dave duduk berhadapan, di kantin sebuah rumah sakit yang dibangun megah di kota Beirut. Keduanya adalah dokter. Daffa adalah dokter bedah dan Dave dokter ahli penyakit syaraf. Di depan mereka ada dua cangkir berisi kopi panas yang harum dari tanah Aceh. Dari kopi Aceh ini Dave tertarik untuk mempelajari budaya dan sejarah Aceh. Ini yang membuatnya mempelajari dan mencintai Islam.
”Surga masa kecilku itu hilang ketika ada perang yang membuat orangtuaku mengungsi ke Amerika. Di tengah hidup yang keras sebagai pemilik restoran khas masakan Arab, orangtuaku mengarahkan agar aku kuliah di Fakultas Kedokteran. Ayah dan ibuku bilang, Nak jadilah dokter untuk menghilangkan penderitaan orang-orang yang sakit. Tahulah Nak, menyembuhkan itu lebih mulia ketimbang melukai. Begitu kata mereka.”
”Orang tuamu berhati mulia. Dan kisahku berbeda,” tutur Dave.
”Apa bedanya?,” tanya Daffa.
”Keluargaku memutuskan pindah ke daerah pemukiman baru yang dibangun oleh pemerintah Israel di tanah milik bangsa Palestina. Karena semua orang Yahudi yang ada di Israel selalu merasa terancam, dua kakakku belajar beladiri keras dan menjadi instruktur. Dua kakakku yang lain menjadi tentara. Sedang aku si anak bungsu kemudian diminta ibu untuk kuliah kedokteran. Tidak di Israel, tetapi aku kuliah di Amerika Serikat. Di sana aku ikut pamanku. Yang menyedihkan, ketika wisuda aku hampir tidak mengenal ayah ibuku karena mereka menjadi tua terlalu cepat. Sebab hidup sehari-hari selalu merasa terancam. Terancam oleh serangan roket yang diluncurkan di wilayah Palestina.”
Daffa menatap mata Dave, lalu tersenyum kecil.
’”Mengapa kau tersenyum?” tanya Dave tidak mengerti.
”Ada pengalaman menarik waktu di Amerika. Tetanggaku orang Indonesia yang membuka rumah makan khas sana. Dia punya rumah yang halaman belakangnya agak luas. Kalau sore, seminggu tiga kali dia melatih pencak silat anak-anak sekitar. Aku pun ikut belajar pencak silat sampai aku kuliah. Lumayan lama.”
”Hei, kau belajar pencak silat, beladiri mematikan dari Indonesia itu?”
Daffa tertawa. Katanya kemudian,”Kau pasti terlalu banyak menonton film keras itu. Jangan salah paham, semua beladiri dari dunia timur itu puncaknya adalah ilmu menolong orang lain. Ilmu pengobatan dan herbal. Jadi seorang disebut pendekar sejati adalah ketika dia sudah memiliki ilmu menyembuhkan luka, menyambung patah tulang, ilmu mengobati panyakit manusia. Dan aku sudah pernah belajar ilmu pengobatan timur yang sekarang kupadukan dengan ilmu kedokteran modern.”
”Aku pernah diajari kakakku yang instruktur itu, ilmu untuk melukai dan melumpuhkan orang sampai kemudian aku muak dan bosan setiap hari diajari memusuhi orang. Aku minta belajar ilmu kedokteran di Amerika itu salah satu alasannya adalah menjauhi kakak-kakakku itu. Di sana aku justru belajar Taichi yang lembut. Lalu aku ketemu kopi Aceh ini. Lalu aku ketemu denganmu”
”Nah, kalau begitu kita berdua cocok. Korban dari masyarakat yang teluka oleh perang kemudian menjadi dokter agar korban perang itu bisa diselamatkan. Bagaimana kalau kita meminta tugas untuk bersama-sama ke Yerussalem. Kita cari rumah sakit atau poliklinik palang merah dan kita bisa merawat orang yang menjadi korban kekerasan di sana.”
Dave pucat.
”Kita berdua ke sana? Kakakku yang komandan tentara itu bisa-bisa menyewa sniper untuk menembak kepalaku jika aku ketahuan akrab dengan gadis Palestina. Dan setelah sniper itu menembakku, dia pun tidak segansegan akan menembakmu.”
”Kau takut? Aku tidak.”
”Kenapa?”
”Karena aku percaya pada kekuatan cinta. Cinta lebih kuat dibanding kekuatan angkara dan kebencian apa pun. Saya yakin, dunia akan berpihak kepada kita kalau kita benar-benar menjalani jalan cinta, termasuk cinta kepada sesama manusia yang menderita di sana. Bagaimana?”
Dave ragu sebentar. Ia ingat, ayah ibunya masih memiliki sedikit cinta kepada sesama manusia. Merekalah yang setuju dan mendorong keinginannya menjadi dokter. Mereka juga memberi kesempatan pada dirinya untuk mempelajari agama apa pun termasuk Islam, yang kemudian dia sadari kalau agama ini bisa membuat pemeluknya berhati lembut, seperti Daffa yang kini duduk di depannya.
”Untuk menghormati ayah dan ibuku, aku bersedia. Demikian juga untuk menghormati ayah dan ibumu. Bahkan akupun bersedia menikah denganmu di depan ayah ibumu di Amerka. Menikah menurut agama Islam yang memancarkan kasih sayang sejati ini.”
”Sungguh?”
”Sejak kapan aku berbohong? Setelah kita menikah di Amerika secara Islam kau akan kubawa ke hadapan orangtuaku di pemukiman itu. Mereka pasti menghormati keputusanku.”
”Kakak-kakakkmu bagaimana?”
”Mereka harus menghormati keputusanku. Kalau kemudian waktu kita bertugas di rumah sakit palang merah disana ada di antara kakakku yang menyewa sniper, aku tidak peduli lagi. Peluru sniper itu akan kalah oleh cinta kita. ” kata Dave mengandung tekad kuat.
Demikianlah, kabut cinta ternyata bisa dikalahkan oleh cinta itu sendiri. Cinta seorang gadis bernama Daffa yang artinya pembela cinta, kepada Dave yang artinya lelaki yang berhak dicintai. Dengan cinta, Daffa dan Dave menjadi mantap untuk menolong mereka yang menderita akibat kekejaman pasukan Israel di Yerussalem. Tentara yang punya hobi mematahkan kaki anak-anak muda Palestina.
Mustofa W Hasyim, sastrawan yang menulis cerpen, puisi, novel. Tinggal di Yogyakarta
Artikel ini pernah dimuat di Majalah SM No 1 Tahun 2018