Al-I’tiqâd

Asal kata Al-I’tiqâd atau akidah adalah ‘aqada. Secara kebahasaan (bahasa Arab), bermakna ikatan di antara dua ujung atau dua pihak, disebut juga transaksi atau saling berhubungan. Makna ikatan ini, jika di antara sesama manusia –secara etika– memiliki tuntutan saling membantu (ta’âwun). Tetapi jika di antara manusia dengan Tuhannya, manusia yang terikat dengan penuh ketundukan kepada Tuhan.

Sedangkan Tuhan tidak terikat oleh manusia, hanya Dia yang berjanji dengan pasti benarnya, sebagai Pemberi pahala (Al-Wahhab) dan Pemurah (Ar-Rahman ArRahim) kepada seseorang yang tunduk selalu berbuat baik karena-Nya; atau sebaliknya, sebagai Pemberi sanksi (Asy Syadîd Al-‘Iqâb) dan Pemaksa (Al-Jabbar) kepada seseorang karena durhaka terhadap-Nya.

Dalam Islam, ikatan ini dipastikan ada penjagaan (muhafazhah)-nya, yang disebut al-mu’âhadah (dari kata ‘ahada-‘ahdun). Dalam pernikahan yang biasa dikenal di masyarakat Muslim disebut mîitsâqan ghalizhâ (perjanjian yang berat). Dikatakan demikian, karena akad pernikahan merupakan pintu yang melahirkan sejumlah hukum di kemudian harinya.

Akad nikah itu harus dipegang komitmennya secara benar oleh dua pihak suami-istri, dua keluarga besarnya, dan masyarakat umumnya. Karena itu, berbagai pihak diminta mendo’akan limpahan berkah Allah SwT bagi setiap orang yang melangsungkan akad nikah tersebut.

Sekarang, penjagaan ikatan keluarga sangat dibutuhkan, gangguan berbagai godaan yang sangat dahsyat dan lebih berat lagi dari kondisi jauh sebelumnya. Gangguan atau godaan sekarang ini, sudah masuk dalam klasifikasi ishr (kondisi yang menghimpit sangat berat), sebagaimana do’a dalam Qs Al-Baqarah: 186, wa lâ tahmil ‘alainâ ishran (janganlah Engkau pikulkan atas pundak kami beban yang sangat berat yang kami tidak mampu memikulnya).

Ikatan atau transaksi berikutnya, setelah akad berkeluarga, adalah ikatan kepublikan yang lebih luas wilayahnya, terutama aspek kepemimpinan (al-imâmah atau alimârah atau al-ra’yah), seperti dalam suatu negara.

sangat dahsyat dan lebih berat lagi dari kondisi jauh sebelumnya. Gangguan atau godaan sekarang ini, sudah masuk dalam klasifikasi ishr (kondisi yang menghimpit sangat berat), sebagaimana do’a dalam Qs Al-Baqarah: 186, wa lâ tahmil ‘alainâ ishran (janganlah Engkau pikulkan atas pundak kami beban yang sangat berat yang kami tidak mampu memikulnya).

Ikatan atau transaksi berikutnya, setelah akad berkeluarga, adalah ikatan kepublikan yang lebih luas wilayahnya, terutama aspek kepemimpinan (al-imâmah atau alimârah atau al-ra’yah), seperti dalam suatu negara.

Ayat Dimyati, Dosen UIN Sunan Gunung Jati, Bandung

Sumber: Majalah SM Edisi 3 Tahun 2017

Exit mobile version