Salah satu dhawuh mbah Malik kepada kami tentang masa depan bangsa adalah tidak sepatutnya menjadikan Islam sebagai instrumen kekuasaan. Justru sebaliknya. Islam yang menggembirakan, menenangkan, mendamaikan, harus menjadi dasar pijak gerakan politik kebangsaan
Oleh: Hasnan Bachtiar
Waktu itu, kami, generasi muda, diundang untuk datang ke acara yang tidak biasa. Istimewa lah, istilahnya. Acara diskusi, di mana hadir sebagai “pendengar” (bukan narasumber lho) adalah “orang penting” di republik ini.
Kami terpaut usia yang cukup jauh dengan orang tersebut. Tampak rambutnya memutih rata, tubuhnya tinggi besar dan gagah, kulitnya putih bersih. Ketika duduk di kursi tengah di hadapan meja bundar, di mana anak-anak belia berkumpul, wajahnya tampak teduh, murah senyum dan berwibawa.
Tapi yang tak luput dari perhatian saya adalah caranya mengamati orang lain. Mengamati kami. Sepertinya sinar matanya menaruh harapan yang begitu besar kepada generasi muda.
Waktu itu, kami berkumpul dalam konteks membicarakan masa depan Indonesia dan kontribusi Persyarikatan Muhammadiyah (terutama Universitas Muhammadiyah Malang). Saat itu, sedang hangat-hangatnya kontestasi politik elektoral (belum musim Covid-19). Di mana rakyat negeri ini terpecah menjadi dua kelompok: “cebong” dan “kampret” (simbol satir untuk menggambarkan para pendukung calon presiden Jokowi dan Prabowo).
Kami tahu bahwa integrasi Indonesia bisa terancam oleh hasrat politik Machiavellian (melakukan segala cara untuk meraih kekuasaan) yang meluap hebat di seantero negeri. Bahkan tidak jarang, deal-deal politik antara politisi dan pemodal diekspresikan melalui fitnah-fitnah, kampanye hitam dan hoax (berita bohong) yang sangat memprihatinkan. Lebih dari itu, isu keagamaan seringkali dipelintir untuk menjegal lawan politik.
Oleh karena perpecahan politik inilah, ternyata membawa pengaruh yang signifikan pada Muhammadiyah. Alih-alih turut menyelesaikan masalah, justru organisasi Islam modernis tertua di negeri ini ikut terfragmentasi.
Tentu saja, fragmentasi di internal Muhammadiyah ini bukanlah kabar yang menggembirakan. Terlebih bahwa kita menanggung nama besar “kekuatan Islam moderat di tanah air” bersama dengan Nahdlatul Ulama (NU).
“Jadi, apa yang bisa disumbangkan para cendekiawan muda UMM (disingkat CMM), untuk menyelesaikan masalah kebangsaan ini?” Tanyanya dengan nada semangat dan penuh harap.
Banyak pendapat dilontarkan oleh pasukan muda yang sedang berapi-api. Saya sendiri menyatakan diri berkomitmen dengan gagasan Negara Pancasila sebagai negara konsensus semua anak bangsa dan medan kerja keras pembangunan peradaban (dar al-ahd wa al-syahadah). Itu, saya pikir, selaras dengan ide kunci Muhammadiyah yang diproklamirkan di Muktamar Muhammadiyah ke-47 di Makassar 2015 silam.
Tantangan utama pasca reformasi, pasca 11 September 2001 dan konteks kebangkitan populisme Islam di Indonesia, adalah integrasi bangsa. Kita tidak hanya harus bijak dalam menghadapi kontestasi politik rasional (Pemilu), namun juga tegas ketika berjuang melawan konservatisasi dan radikalisasi keagamaan. Islam bukanlah agama yang berwajah muram durja.
Mirip seperti seorang pendekar yang sedang melatih jurus-jurus silat para muridnya. Ia, sosok tua itu, memperhatikan betul setiap fondasi, kuda-kuda, gerakan tubuh dan energi yang terpancar dari tenaga dalam murid-muridnya. Ia “niteni” secara seksama, apakah ide pokok dan argumentasi yang diajukan benar-benar berdasar.
Tubuhnya bersandar di kursi, kedua tangannya memegang sandaran dan sorot matanya memandang ke atas (ke sudut ruangan). Tanda khas orang yang sedang mengupayakan refleksi. Tak lama kemudian, ia bertutur, “Sebenarnya di tangan Muhammadiyah, agama itu harus menjadi hal yang mencerahkan peradaban. Islam itu agama pencerahan. Tanwir. Karena itu, mestinya membuat kaum Muslim berbahagia.”
Ia melanjutkan, “Dalam beragama, tidak sepatutnya menjadikan Islam sebagai instrumen kekuasaan. Justru sebaliknya. Islam yang menggembirakan, menenangkan, mendamaikan, harus menjadi dasar pijak gerakan politik kebangsaan.”
baca juga: Malik Fadjar, Munir, dan Perjuangan Yang Masih Panjang
Ia menghadapkan wajahnya ke kami, anak-anak muda, lantas tersenyum. Ia menyatakan, “Sudah sepatutnya, para dosen di UMM ini tidak hanya menjadi akademisi yang profesional. Mereka juga perlu menjadi aktivis pergerakan. Terutama, pergerakan yang menggerakkan Islam yang mencerahkan.”
“Mengapa yang saya kumpulkan adalah anak-anak muda? Karena di tangan mereka-lah sebenarnya masa depan bangsa ini berada. Siapa saja yang mau mengabdikan diri untuk memperjuangkan masa depan, itulah mereka yang sejatinya membawa risalah kenabian. Itulah para aktivis Muhammadiyah (pengikut Nabi Muhammad) yang sejati” Tambahnya.
Saya bergumam dalam hati, “Jadi ini sosok Mbah Malik yang tersohor itu. Bukan main. Benar-benar memiliki kesaktian yang hebat. Patutlah ia pernah menjadi menteri beberapa periode. Dan selama itu pula, ia membawa perubahan yang berarti untuk kemajuan bangsa.”
baca juga: Haedar Nashir: Muhammadiyah Kehilangan Prof Malik Fadjar
Pada saat malam tiba, wajah dan nasehat Mbah Malik masih melekat erat dalam alam pikiran saya. Tentu saya merasa resah harus menanggung amanah yang sedemikian berat: Menjadi aktivis pergerakan Islam yang menggembirakan.
Sontak saat itu, saya tidak bisa tidur nyenyak. Bahkan dalam mimpi pun saya masih merasa bahwa, “Dhawuh Mbah Malik” mengenai masa depan bangsa Indonesia, masih kita diskusikan dengan penuh semangat dan harapan.
Saya tidak tahu pasti apakah keresahan ini juga menjangkiti para sahabat dan kawan-kawan saya yang lain. Tapi yang jelas, saya merasa, tidak punya pilihan lain kecuali menjalankan Dhawuh Mbah Malik tersebut. Ini misi penting! Dan memilih jalan ini, menurut hemat saya, karena semata-mata hal itu baik dan mampu membawa kebaikan bagi sesama.[]
Hasnan Bachtiar, dosen Universitas Muhammadiyah Malang