Malik Fadjar dan Golok Munir
Oleh Hamid Basyaib
Munir Said Thalib merasa musuh-musuh Islam mengintai di delapan penjuru angin, maka dia harus selalu waspada dan siaga. Ke mana pun ia pergi, di tasnya selalu tersedia sebilah golok tajam. Menurut kabar yang tak henti-hentinya ia dengar dari Pak Sayyid Qutb, Ustad Abul A’la Al Maududi dan juga Dr. Ali Syariati, musuh-musuh Islam tidak akan diam sebelum umat Muslim terkapar kalah, dan agama Islam hancur-lebur sampai tidak akan ada lagi seorang pun yang menganutnya di muka bumi ini. Musuh-musuh itu akan menyeret umat Islam hingga ke lobang biawak.
Di awal 1980an ucapan-ucapan tokoh-tokoh Mesir, Pakistan dan Iran itu beredar luas di kalangan aktifis mahasiswa serius seperti Munir dalam bentuk buku dan selebaran. Munir dkk dengan mudah menarik kesejajaran antara kondisi di negeri masing-masing tokoh itu dengan situasi di negerinya sendiri.
Apa yang terjadi di Mesir dan lain-lain itu, pikir Munir, tentu terjadi pula di Indonesia. Gerakan penghancur Islam pasti berskala global, didukung oleh semua kekuatan Barat. Sudah pasti pemimpinnya adalah Amerika, yang diberi julukan tepat oleh Khomeini dari Iran: Setan Besar — meski sang imam rupanya lupa bahwa tupoksi setan bukanlah merusak, apalagi menghancurkan, melainkan sekadar menggoda.
Kabar tentang aktifis Munir membawa golok ke mana-mana sampai juga ke telinga Abdul Malik Fadjar, yang saat itu rektor Univesitas Muhammadiyah Malang. Maka suatu siang, ketika mereka berjumpa, Malik mengkonfirmasi soal golok itu. Lalu ia bertanya retoris: “Jadi, siapa sebetulnya yang mau Saudara bacok dengan golok itu?”
Munir, mahasiswa FH Universitas Brawijaya yang memegang kredensial kejuangan ganda, sebagai anggota Pemuda Al Irsyad dan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), memberi jawaban yang tak meyakinkan. Ia tidak mampu merumuskan definisi yang jelas tentang musuh-musuh Islam yang ia yakini bertebaran di mana-mana itu.
Ia tak tahu persis apa sesungguhnya yang dilakukan pihak-pihak yang distempel “musuh Islam” itu, dan benarkah mereka memang mau menghancurkan Islam, dan untuk keperluan apa. Yang ia tahu hanyalah bahwa ia dan saudara-saudara Muslimnya harus selalu waspada dan siaga. Tentu berikut golok di tas kuliah.
Lalu Pak Malik mengajak Munir berdiskusi; mengingatkan bahwa umat Islam memang tertinggal di banyak bidang. Pemuda-pemuda seperti Munir selayaknya tergerak untuk turut berjuang mengejar ketertinggalan itu.
“Tapi Saudara sebagai mahasiswa, sebagai intelektual, tidak sepantasnya memperjuangkan hal itu dengan membawa golok ke mana-mana,” kata guru yang lugas itu. “Berjuang itu dengan ilmu pengetahuan yang Saudara pelajari dengan tekun. Kok bawa-bawa golok? Siapa sebetulnya yang mau Saudara bacok?”
Munir tergagap, meringis dan malu. Sejak itu ia mulai merenungkan kembali semua tindakan dan pikiran yang membuatnya merasa wajib menyiapkan golok yang siap dihunus setiap saat. And the rest is history. Munir dengan cepat bertransformasi menjadi aktifis pejuang kemanusiaan yang hebat, menjadi salah satu yang paling mengagumkan dalam sejarah Indonesia.
Menjadi salah satu pemicu terkuat gerakan Reformasi 1998, Munir kemudian berakhir tragis, lebih dari enam tahun setelah Reformasi. Sejumlah pengecut yang tak bermalu dan bermartabat membubuhi racun sianida pada piring mi goreng yang dipesannya di atas pesawat menuju Amsterdam, ketika ia sedang berikhtiar melanjutkan sekolah di Negeri Belanda — seakan memenuhi janji yang tak sempat diucapkannya kepada Pak Guru Malik.
Munir pastilah hanya salah satu orang yang diinspirasi oleh Malik Fadjar, yang kemudian menjadi Menteri Agama (di era Presiden Habibie) dan Menteri Pendidikan Nasional (di kabinet Presiden Megawati). Semua orang yang mengenalnya bersaksi bahwa Malik adalah pendidik sejati; ia mendapat gelar master dalam ilmu pendidikan dari Universitas Negeri Florida, Amerika Serikat. “Selama sepuluh tahun bekerja sama di Pengurus Pusat Muhammadiyah, saya banyak belajar dari beliau,” kata Dr. Rizal Sukma, mantan duta besar RI di Inggris.
Terhadap perserikatan itu, Malik seolah mengamalkan harfiah petuah pendirinya, KH Achmad Dahlan: hidup-hidupilah Muhammadiyah, jangan engkau mencari penghidupan di Muhammadiyah. Dalam ungkapan Dr. Sukidi Mulyadi, pakar kajian agama yang baru menyelesaikan studi di Universitas Harvard: “Pak Malik memberikan segalanya untuk Muhammadiyah. Beliau tidak pernah mencari penghidupan di sana.”
Saya sendiri tak sempat dekat dengan tokoh yang memikat ini, meski mengenalnya sejak 1987 di Jogja, kampung halamannya. Kesan saya: Pak Malik adalah orang jujur yang selalu bersikap apa adanya. Ia tak pernah berbasa-basi dengan memamerkan kerendah-hatian palsu. Ia bicara dengan ringkas, padat. Lugas dan langsung ke pokok masalah — ciri yang menonjol pada orang yang tak menyimpan agenda terselubung. Dengan sikap dasar itu, ia menjalani hidup dengan ringan.
Ia seorang visioner sosial yang selalu berusaha keras memberikan yang terbaik, di mana pun ia ditugaskan. Di mana pun Malik bekerja, ia tak pernah menganggap perlu pencitraan diri. Larger than life — ungkapan ini agaknya cocok dilekatkan padanya. Ia memang sudah lama selesai dengan diri pribadi.
Urusan selanjutnya yang selalu menjadi obsesinya: bagaimana terus mengaitkan diri dengan ideal-ideal sosial yang lebih besar daripada dirinya sendiri; bagaimana membuat hidupnya bermanfaat optimal bagi sebanyak mungkin orang. Dan ia memulainya dengan menjadi guru agama di desa terpencil di Nusa Tenggara Barat, selulus dari sekolah menengah.
Malik sukses memimpin UMM, yang kampusnya ia bangun konon dengan meniru model Universitas Cornel, sehingga di tahun 1980an itu ia menjadi buah bibir di lingkungan Muhammadiyah, bahkan sampai merangkap menjadi rektor Universitas Muhammadiyah Surakarta. Perangkapan ini tak berpreseden, dan sesudah era Malik, ketaklaziman ini tidak pernah terjadi lagi.
Dengan visi pendidikan dan sosial yang kuat dan ambisius itu, tampaknya cita-cita personalnya sendiri sederhana, sekaligus mewah: ingin menjalani hidup sebaik-baiknya, sewajar-wajarnya. Ia mewah karena langka. Kalaupun ada yang mungkin layak ia sesali, mungkin hanya satu: ia tak mampu menularkan sikap bersahaja itu kepada banyak pemimpin lain, dari generasinya maupun generasi-generasi di bawahnya.
Tapi ia tentu tak perlu menyesali apa yang bukan kesalahannya. Itu tak akan mengurangi arti hidupnya yang penuh sepanjang 81 tahun.
Abdul Malik Fadjar, yang keikhlasannya menonjol justeru karena ia tak pernah sedikit pun memberi kesan itu tentang dirinya, menutup mata di Jakarta, 7 September 2020; tanggal yang sama dengan kematian Munir, enam belas tahun silam.