Kata amanah, sebagaimana tercantum dalam Qs An-Nisa: 58, oleh al-Maraghi diartikan sebagai sesuatu yang harus dijaga untuk dikembalikan kepada pemiliknya. Al-Qur’an dan Tafsirnya terbitan Kemenag RI mengartikannya sebagai sesuatu yang dipercayakan kepada seseorang untuk dilaksanakan sebaikbaiknya.
Sementara M Quraish Shihab dalam Tafsir al-Mishbah mengartikannya sebagai sesuatu yang diserahkan kepada pihak lain untuk dipelihara dan dikembalikan bila tiba saatnya atau bila diminta oleh pemiliknya. Ia tidak diberikan kecuali kepada orang-orang yang dinilai oleh pemberinya dapat memelihara dengan baik apa yang diberikannya itu. Lawan kata dari amanah adalah khianat.
Al-Maraghi, selanjutnya, menyatakan bahwa terdapat tiga amanah yang harus ditunaikan oleh manusia, yaitu amanah terhadap Allah SwT, amanah terhadap sesama manusia, dan amanah terhadap diri sendiri. Amanah terhadap Allah SwT ditunjukkan dalam bentuk menunaikan segala perintahNya. Sebab Allah adalah Sang Khaliq (Pencipta) sementara manusia adalah makhluk (yang dicipta).
Sesuatu yang dicipta seharusnya menghamba kepada yang mencipta. Detail penghambaan itu adalah menjalankan perintahNya dan meninggalkan larangan-Nya, yang kemudian disebut ibadah, baik mahdlah maupun ghairu mahdlah, baik yang khusus (khash) maupun umum (‘am). Shalat adalah wujud penghambaan yang paling pokok.
Amanah terhadap diri sendiri ditunaikan dalam bentuk menjaga diri seperti kebersihan dan kesehatan diri. Sementara amanah terhadap sesama makhluk diwujudkan dalam bentuk menjaga harmoni dengan orang lain serta lingkungan sekitarnya. Dengan amanah ini manusia akan membentuk harmoni antara dirinya, Allah, dan alam.
Ketika seseorang gagal menjaga harmoni itu, maka hidup akan terganggu. Oleh karena itu, amanah menjadi bagian penting dalam kehidupan manusia. Itulah sebabnya amanah ini menjadi dasar keimanan seseorang seperti disabdakan oleh Nabi Muhammad saw, “Tidak ada iman bagi yang tidak memiliki amanah”.
Contoh lain amanah terhadap sesama yang harus ditunaikan seorang Muslim, antara lain mengembalikan titipan kepada yang punya dengan tidak kurang suatu apa pun, tidak menipunya, dan memelihara rahasia. Demikian juga dengan yang termasuk dalam sifat amanah adalah sifat adil penguasa terhadap rakyatnya, sifat adil ulama terhadap orang awam, dan sifat adil suami terhadap istrinya (Kemenag RI, al-Qur’an dan Tafsirnya II: 196).
Telah mafhum di kalangan umat Islam bahwa amanah yang berarti “dapat dipercaya” merupakan salah satu sifat wajib Rasulullah Muhammad saw. Dengan demikian, sifat amanah harus menjadi sifat seorang Muslim, di samping sifat-sifat wajib yang lain seperti shiddiq (jujur), tabligh (menyampaikan), dan fathanah (cerdas).
Terlebih lagi bagi warga Muhammadiyah, empat sifat wajib Rasul tersebut harus menjadi landasan akhlaknya, sebagaimana digariskan dalam Pedoman Hidup Islami Warga Muhammadiyah (PHIWM). Setiap warga Muhammadiyah dituntut untuk meneladani perilaku Nabi dalam mempraktikkan akhlak mulia sehingga menjadi uswah hasanah yang diteladani oleh sesama berupa sifat-sifat sidiq, amanah, tabligh, dan fathanah.
Tafsir, Ketua PW Muhammadiyah Jawa Tengah dan dosen Fakultas Ushuluddin dan Humaniora UIN Walisongo Semarang
Sumber: Majalah SM Edisi 3 Tahun 2017