Oleh: Nur Ngazizah,S.Si.M.Pd.
Problematika keluarga tidak akan pernah berhenti, seiring dengan kondisi dan situasi yang ada. Kondisi pandemi covid 19 ini juga membawa pengaruh tersendiri. Baik pengaruh terhadap ketahanan keluarga, Pendidikan, ekonomi, kesehatan dan sosial kemasyarakat. Sebagai keluarga pastinya semuanya ingin anggota keluarganya adalah menjadi orang orang yang taat kepada Allah, anak anak yang shalih dan shalihah serta istri yang shalihah. Setiap keluarga Muslim senantiasa mengharapkan anggota keluarganya, khususnya istri dan anak-anaknya, menjadi qurrata a’yun. Sebab, anggota keluarga yang memiliki sifat qurrata a’yun akan mampu memberikan warna dan rasa tersendiri bagi anggota keluarga yang lain. Keberadaan anggota yang menjadi qurrata a’yun akan membuahkan ketentraman bagi keluarga yang lain. Dalam surat Al Furqan ayat 74, Allah berfirman
{وَالَّذِينَ يَقُولُونَ رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ}
Dan orang-orang yang berkata, “Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami istri-istri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami). (Al-Furqan: 74)
Mereka adalah orang-orang yang memohon kepada Allah agar dikeluarkan dari sulbi mereka keturunan yang taat kepada Allah dan menyembahNya semata, tanpa mempersekutukan-Nya.
Ibnu Abbas mengatakan bahwa mereka ingin memperoleh keturunan yang selalu mengerjakan ketaatan kepada Allah sehingga hati mereka menjadi sejuk melihat keturunannya dalam keadaan demikian, baik di dunia maupun di akhirat. Al-Hasan Al-Basri pernah ditanya tentang makna ayat ini. Ia menjawab, “Makna yang dimaksud ialah bila Allah memperlihatkan kepada seorang hamba yang muslim istri, saudara, dan kerabatnya yang taat-taat kepada Allah. Demi Allah, tiada sesuatu pun yang lebih menyejukkan hati seorang muslim daripada bila ia melihat anak, cucu, saudara, dan kerabatnya yang taat-taat kepada Allah Swt.”
Firman Allah Swt.:
{وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا}
dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa. (Al-Furqan: 74)
Ibnu Abbas, Al-Hasan As-Saddi, Qatadah, dan Ar-Rabi’ ibnu Anas mengatakan bahwa yang dimaksud ialah para pemimpin yang mengikuti kami dalam kebaikan. Selain mereka mengatakan, yang dimaksud ialah para pemberi petunjuk yang mendapat petunjuk dan para penyeru kebaikan; mereka menginginkan agar ibadah mereka berhubungan dengan ibadah generasi penerus mereka, yaitu anak cucu mereka. Mereka juga menginginkan agar hidayah yang telah mereka peroleh menurun kepada selain mereka dengan membawa manfaat, yang demikian itu lebih banyak pahalanya dan lebih baik akibatnya. Karena itulah disebutkan di dalam Sahih Muslim melalui hadis Abu Hurairah r.a. yang telah mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
“إِذَا مَاتَ ابْنُ آدَمَ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثٍ: وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ، أَوْ عَلَمٍ يَنْتَفِعُ بِهِ مَنْ بَعْدَهُ، أَوْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ”
Apabila anak Adam meninggal dunia, terputuslah amalnya kecuali tiga perkara, yaitu anak saleh yang mendoakan (orang tua)nya, atau ilmu yang bermanfaat sesudah dia tiada, atau sedekah jariyah.
Yang menjadi pertanyaan adalah, Apa yang dimaksud qurrata a’yun, apa ciri cirinya dan bagaimana mewujudkan generasi qurrata a’yun itu. Kita akan membahas satu persatu
Secara mendasar, istilah Qurrata a’yun memiliki dua makna;
- kata qurra bermakna tsabat, ketenangan dan keteguhan. Artinya, istri dan anak yang memiliki sifat qurrata a’yun adalah meraka yang memberikan ketenangan dan keteguhan. Jadi, harapan orang, mereka kelak mereka menjadi wasilah untuk meraih ketenangan jiwa.
- kata qurra memiliki makna yang kedua adalah dingin dan sejuk. Sehingga, makna qurrata a’yun adalah air mata yang menyejukkan dan sebagai pendingin pandangan mata/hati. Ia memiliki makna air mata kesejukan. Sebab, air mata yang dingin dan sejuk yang mengalir dari mata seseorang menunjukkan kesenangan dan kegembiraan
Sedangkan karakter qurrata a’yun yang diidam idamkan oleh keluarga muslim adalah sebagai berikut:
- anggota keluarga yang kita lihat taat dan beribadah hanya kepada Allah Ta’ala. Artinya, anggota keluarga seperti itulah yang mampu menyejukkan dan memberikan ketenangan dalam jiwa kita. Luar bisa, kabahagiaan yang akan menyapa seseorang menyaksikan anak dan istrinya rajin shalat, membaca Al-Quran, bersedekah, dan rutin melaksanakan ibadah dan ketaatan yang lainnya.
- mereka yang mampu mencegah kita agar tidak terjerumus ke dalam kemaksiatan dan dosa. Artinya, keberadaan anak dan istri yang mampu memberikan motivasi kepada kita untuk lebih taat beribadah kepada Allah. Sehingga, pandangan mata kita akan menjadi gembira dan senang saat memandang mereka
- anak dan istri yang menjadi qurrata a’yun adalah anak shalih dan istri yang shalihah. Artinya, anak shalih yang mampu memberikan manfaat bagi orang tuanya, baik saat di dunia ini maupun kelak ketika di alam akhirat. Juga, istri yang shalihah adalah penyejuk pandangan bagi suaminya. Karena, istri shalihah akan mampu memberikan ketenangan dan kebahagiaan saat bersama di rumah maupun saat ditinggal dirumah untuk suatu keperluan.
Untuk mewujudkan keluarga yang qurrata a’yun tentu tidak mudah, diperlukan ikhtiar maksimal dan doa seperti dalam surat Al Furqan di atas. Keistiqomahan, keihklasan dan rasa tawakal ketika berdoa itu menjadi bagian penting. Sedangkan ikhtiar yang bias dilakukan adalah:
Ummu Madrasatun
“Al -Ummu madrasah Al-ula (Ibu adalah sekolah pertama bagi anak-anaknya) bila engkau persiapkan dengan baik maka engkau telah mempersiapkan bangsa yang baik dan kuat”. Ibu berperan besar dalam pembentukan watak, karakter dan kepribadian anak-anaknya. Ia adalah sekolah pertama dan utama sebelum si kecil mengenyam pendidikan di manapun. Sehingga ibu adalah peletak dasar Pendidikan sejak anak berada di kandungan. Apa yangdilakukan ibu akan sangat berpengaruh pada anak. Sehingga ibu yang yang terdidik dengn baik, akan mampu mendidik putra putrinya dengan baik pula. Keteladanan, kejujuran dan semua yang dilakukan oleh ibu akan ditiru oleh putra putrinya, karena anak adalah peniru yang ulung. Maka mengembalikan kembali fungsi ibu, sebagai ibu ideologis bukan hanya ibu biologis adalah menjadi kewajiban semua keluarga muslim. Ibu meletakkan Pendidikan tentang aqidah,ibadah, akhlaqdan juga muamalah kepada putra putrinya sesuai tahap perkembangan usianya.
Kerjasama Orang Tua dalam Mendidik Anak
Rasulullah saw bersabda: “Seorang istri adalah pemimpin di rumah suaminya, dan dia bertanggung jawab terhadap anak-anaknya”. (HR. Bukhari dan Muslim).
Dalam pandangan Islam, tidak hanya seorang suami yang berperan sebagai pemimpin, namun seorang istripun menjadi pemimpin dalam urusan rumah tangga suaminya. Lalu bagaimanakah kerjasama ayah dan ibu dalam dunia pengasuhan? Kerjasama akan terbangun jika sebuah keluarga memiliki kesamaan visi serta memahami misi yang perlu dilakukan sehingga merekapun dapat memahami hendak kemana nahkoda keluarga akan dibawa, serta anak-anak yang seperti apa yang ingin mereka hasilkan.
Maka merumuskan tujuan pengasuhan menjadi langkah awal dalam membangun kerjasama para ayah dan ibu. Setelah tujuan pengasuhan disepakati, pembagian peran dan tugas dalam mencapai tujuan tersebut adalah unsur pembentuk utama dalam sebuah kerjasama. Tidak berhenti pada pembagian tugas saja tetapi dibutuhkan sinergi yang baik antara keduanya, sehingga akan muncul saling pengertian dan juga melakukan kewajiban sesui dengan pembagian tugas yang disepakati. Suami punya peranan besar dalam Pendidikan anak ini, tidak hanya sebagai perencana tetapi juga pelaksana dan monitoring terhadap pelaksanaan Pendidikan. Seperti yang dilakukan oleh Rasululullah SAW.
Perhatikan bagaimana Rasulullah saw ikut serta dalam memberikan tarbiyah (pendidikan) kepada anak tirinya (anak kandung Ummu Salamah). Diriwayatkan dari Umar bin Abi Salamah, beliau berkata: “Ketika kecil dulu aku berada di pangkuan Rasulullah saw. Tiba-tiba tanganku tanpa sadar mengambil (makanan) di sebuah piring besar. Beliau berkata kepadaku: “Hai anakku, ucapkanlah nama Allah, makanlah dengan tangan kananmu, dan makanlah makanan yang dekat darimu”. Setelah itu akupun terbiasa melakukan apa yang diajarkan Rasulullah saw. (HR. Bukhari).
Meniru Cara Nabi Mendidik Anak
Ibnu Abbas RA berkata, bahwa Rasulullah saw bersabda, “Ajarlah, permudahlah, dan jangan persulit! Gembirakanlah dan jangan takut-takuti! Jika salah seorang dari kalian marah hendaklah berdiam diri! “ (HR. Ahmad dan Bukhori)
Berdasarkan hadits tersebut maka ada beberapa prinsip Pendidikan yang bias kita lakukan yaitu :
Ajarlah
Memberikan pembelajaran kepada anak, dimulai dari yang paling dasar, yaitu tauhid,ibadah, akhlaq dan muamalah. Pembelajaran adalah membutuhkan kesabaran dan juga metode yang menyenangkan, sehingga mudah dipahami oleh anak
Permudahlah dan jangan dipersulit
Berilah keteladanan dalam keseharian sehingga anak bias meniru dengan mudah kebaikan kebaikan yang bisadilakukan, sesuaikan dengan tahap usia perkembangannya sehingga tidak memberikan beban yang menyulitkan bagi anak
Gembirakanlah dan jangan ditakut takuti
Berikan penghargaan atas prestasi prestasi ibadahnya, akhlaqnya, mengajinya, sekolahnya dan lain lain, jangan pelit untuk memuji anak. Sebaliknya jika mereka melakukan kesalahan, maka prinsipnya adalah berkata dengan lemah lembut, maafkanlah mereka, mohonkan ampun, bermusyawarah, dan bertawakkal kepada Allah.
Jika kita marah. Maka berdiam dirilah
Kemarahan orangtua kepada anak adalah wajar atau manusiawi, terkait dengan kesalahan prinsip pada anak, tetapi bukan dengan dilampiaskan yang tidak terkendali, karena itu justru akan mengacaukan proses Pendidikan anak. Hendaklah kita menahan diri dan berintrospeksi sebab dari kesalahan anak, karena yang pertama harus disalahkan ketika anak melakukan kesalahan adalah kita sebagai orang tua, jangan jangan bersumber dari kita.
Kemudian juga adalah hal hal lain yang perlu dilakukan oleh orang tua yaitu
Keteladanan
Keteladanan orang tua merupakan modal penting dalam mendidik anak, karena orang tualah yang paling banyak diikuti oleh anak-anaknya, dan mereka pulalah yang memberi pengaruh kuat terhadap jiwa anak, oleh karena itulah maka Rasulullah mengatakan “Maka kedua orang tuanyalah yang membuatnya menjadi yahudi, nasrani atau majusi”. Orang tua dituntut agar menjalankan segala perintah Allah swt dan sunah Rasul-Nya
Keadilan
orang tua perlu bersikap adil dan tidak pilih kasih, cerita dalam Al Qur’an tentang saudara-saudara Yusuf cukuplah menjadi pelajaran agar setiap orang tua bersikap adil terhadap anak-anaknya. Ketidakadilan dan sikap pilih kasih orang tua terhadap anak-anak akan menimbulkan rasa permusuhan, kedengkian, kecemburuan, kemarahan bahkan berujung kepada pemutusan persaudaraan dalam jiwa anak karena merasa dirinya disisihkan
“Bersikaplah adil di antara anak-anak kalian dalam pemberian sebagaimana kalian suka berlaku adil di antara kalian dalam kebaikan dan kelembutan.” (HR. Ibnu Abid Dunya)
Doa terbaik dari orang tua
Doa akan menghangatkan kasih sayang dan memantapkan cinta orang tua kepada anak-anaknya.Rasulullah bersabda,“Janganlah kamu berdoa buruk ke atas dirimu, janganlah kamu berdoa buruk atas anak-anakmu, janganlah kamu berdoa buruk ke atas pelayanmu dan janganlah kamu berdoa buruk ke atas harta-hartamu! Jangan sampai kamu (berdoa begitu) bertepatan dengan waktu (dimana) Allah (akan mengabulkan doa), lalu tutun di dalamnya pemberian (yang kamu minta) sehingga doamu itu benar-benar terkabul.” (HR. Abu Dawud)
Orang tuapun harus mempersiapkan diri dalam membantu anak agar berbakti dan taat kepada Allah swt.
Rasulullah bersabda, “Bantulah anak-anakmu agar berbakti! Barangsiapa yang mau melakukannya, ia dapat mengeluarkan sikap kedurhakaan dari diri anaknya.”(HR. Thabrani) Berdasarkan ini, jelas orang tua bertanggung jawab untuk mempersiapkan anaknya menjadi anak yang baik. Bahkan mereka mampu menyingkirkan kedurhakaan dari jiwa anak-anak mereka dengan cara hikmah, nasihat yang baik, dan kesabaran
Berdasarkan uraian di atas, maka sebagai keluarga muslim tentunya ingin mewujudkan generasi yang qurrata a’yun, istri dan anak anak yang menjadi penyejuk mata dan penenang jiwa. Kehadirannya membawa kedekatan kepada Allah, menjauhi maksiat dan selalu mendukung orang orang di sekelingnya untuk terus berbuat kebaikan. Sinergi yang baik serta keteladan dan keadilan orang tua dalam pemdidikan menjadi factor penentu keberhasilan tercetaknya generasi ini, dan terus berdoa serta bertawakal kepada Allah adalah sebuah keniscayaan.
Albirru manittaqaa
Fastabiqul khairaat
Nasrumminallah wa fathun qariib
Nur Ngazizah,S.Si.M.Pd, Dosen PGSD Universitas Muhammadiyah Purworejo