“Assalamu’alaikum warrahmatullahi wa barakatuh.” Mendengar salam tersebut, Kiai Dahlan tergopohgopoh keluar sambil menjawab salam. Dilihat dari pakaiannya, tamunya ini seorang kiai. Dan memang betul tamunya ini seorang kiai dari Magelang yang datang khusus menyambangi madrasah yang dibangun KH Ahmad Dahlan di Jogja.
Kiai itu mendengar bahwa Kiai Dahlan membangun sekolah yang di dalamnya ada bangku dan meja belajar sebagaimana sekolah-sekolah yang didirikan pemerintah Hindia Belanda. Saat itu, Muslim di Indonesia menganggap sekolah-sekolah yang menggunakan meja, kursi dan papan tulis itu adalah sekolah-sekolah yang menganut ideologi orang kafir.
Ia ingin membuktikannya. Benarkah KH. Ahmad Dahlan yang notabene adalah salah satu pemuka Islam saat itu malah mendirikan sebuah sekolah yang dilengkapi dengan fasilitas-fasilitas tersebut. Kenyataan itu menimbulkan kontroversi di tengah masyarakat yang masih memegang prinsip Islam radikal, Islam kuno. Menurutnya, jika benar kabar ini maka KH Ahmad Dahlan adalah kiai kafir lantaran menggunakan sistem yang diterapkan oleh orang Eropa,
“Monggo silahkan masuk Kiai,” Kiai Dahlan mempersilahkan masuk tamunya.
Kiai asal Magelang itupun masuk, melihat mejameja belajar yang ada di ruangan mulai memerahlah mukanya, pertanda kemarahan mulai tumbuh dalam dirinya. “Berarti kabar yang ia terima selama ini benar adanya,” batin Kiai Magelang itu.
Lebih-lebih ketika melihat sebuah biola tergeletak di meja. Berarti betul desas-desus yang selama ini ia terima bahwa KH Ahmad Dahlan gemar bermain biola, yang menurutnya adalah barang-barang orang kafir. Diambilnyalah biola yang ada di atas meja.
“…dan ini! *mengangkat biola yang tergeletak di atas meja*, ini semuanya dibuat oleh orang-orang kafir,” teriaknya sambil marah.
Kiai Dahlan pun tetap tenang mendengar nada kemarahan Kiai Magelang itu.
“Pangapunten, Kiai. Boleh saya bertanya?” kata Kiai Dahlan kepada tamunya.
“Oh, silahkan,” kata Kiai Magelang.
“Kiai… datang dari Magelang ke Kauman ini naik apa? Tanya Kiai Dahlan sambil menambahkan: “Jalan kaki?
“Ha…ha….ha…” tawa Kiai itu terbahak.
“Saya tidak mau menyiksa tubuh saya dari Magelang ke Jogja jalan kaki,” katanya.
“Kalau begitu naik apa, Kiai?” Tanya Kiai Dahlan.
“Ya naik kereta! Wong, saya itu tidak bodoh. Hanya orang yang bodoh saja yang mau ke Jogja dari Magelang… jalan kaki,” katanya.
“Jadi, hanya orang-orang bodoh yang menganggap sekolah ini sekolah kafir,” kata Kiai Dahlan meminjam perkataan tamunya.
Hah…kok bisa? Tanya tamunya.
“Karena kereta api dan perlengkapannya kan dibuat oleh orang kafir,” jelas Kiai Dahlan.
Mendengar jawaban tersebut, tamunya pun terdiam dan langsung minta pamit untuk kembali ke Magelang.
Tidak hanya saat itu saja Kiai Dahlan mendapat tantangan langsung dalam dakwahnya, paling tidak ada dua peristiwa besar yang menghias dalam kehidupannya. Sebelumnya, Kiai Dahlan mendapatkan tantangan ketika meluruskan kiblat langgarnya dan sesudahnya mendapat tantangan ketika ingin meluaskan dakwah Islamnya ke Banyuwangi Jawa Timur.
Mendengar Kiai Dahlan meluruskan kiblat langgarnya, Hoofd Penghulu dan teman-temannya marah. Mereka merasa bahwa Kiai Dahlan sedang berusaha mengubah agama. Akibatnya, mereka memerintahkan orang-orangnya untuk menghancurkan langgar pribadi Kiai Dahlan setelah Kiai Dahlan tidak mau melakukannya sendiri.
Kejadian ini membuat sedih Kiai Dahlan dan memutuskan untuk meninggalkan masyarakat Kauman yang reaksioner saat itu. Pagi hari setelah penghancuran langgarnya, ia bersama isterinya pergi ke stasiun untuk pergi dari Kota Jogja.
Mengetahui tentang perginya Kiai Dahlan beserta isterinya, keluarganya bergegas untuk menyusulnya. Setelah bertemu dibujuknyalah Kiai Dahlan untuk pulang ke Kauman dan tidak meninggalkan Jogja.
“Apa gunanya saya tinggal di sini?” jawab Kiai Dahlan merasa sedih.
“Langgar saya tidak ada lagi,” tambah Kiai Dahlan.
Akhirnya dengan dibujuk terus saudaranya, Kiai Dahlan mengurungkan niatnya untuk pergi dari Jogja. Dengan tegar kembali ia pulang ke Kauman dan tak lama kemudian berdiri kembali langgarnya untuk bisa meneruskan kiprah dakwahnya di Kauman Jogja.
Kiai Dahlan juga tak lupa meluaskan kiprah dakwahnya ke luar Jogja, di antaranya ke Banyuwangi Jawa Timur. Dalam sebuah upaya memperkenalkan Muhammadiyah di Banyuwangi ini, ia mendapatkan penghinaan keras. Sepulang menyiarkan Islam di Banyuwangi, sebuah surat sampai kepada Kiai Dahlan.
“Hai ulama palsu yang busuk! Datanglah kemari sekali lagi, kalau memang benar ajakanmu itu. Kami akan menyambut kedatanganmu dengan belati tajam dan golok besar, biar engkau pulang menjadi bangkai. Bawalah istrimu sekali supaya dapat kami selesaikan pula.” Demikian isi surat tersebut.
Setelah selesai membaca surat itu, KH Ahmad Dahlan bersiap-siap bersama isterinya pergi ke kota Banyuwangi. Keputusan itu menimbulkan kecemasan di kalangan sanak kerabat.
“Kalau orang yang durhaka telah berani bertindak begitu, kenapa kami yang membawa kebenaran dan hendak menyiarkan agama yang haq harus takut kepada mereka? Kami harus berangkat sekarang juga untuk mengajar dan mendidik mereka,” kata Kiai Dahlan dengan tenang kepada kerabatnya yang khawatir itu.
Keberanian ini ternyata membuahkan hasil dan tidak terjadi apapun pada mereka berdua hingga pulang ke Jogja.
Pendi Purwa, sastrawan
Artikel ini pernah dimuat di Majalah SM No 2 Tahun 2018