Oleh Hajriyanto Y. Thohari
Di hampir semua negara Arab, terutama Mesir dan Arab Levant (Bilad al-Syam, yakni Lebanon, Syria, Jordan dan Palestina), ada makanan yang sangat terkenal namanya Shawarma: sebuah roti panas yang digulung yang di dalamnya diisi dengan daging atau ayam, telur, sayuran, keju, dan lain-lainnya. Shawarma panjangnya kira-kira 15-20 cm dibungkus (digulung) dengan kertas dan dibuka sedikit demi sedikit seiring dengan gigitan.
Orang Arab biasa menghabiskan sebuah shawarma dalam sekali makan, bahkan ada banyak yang tambah satu buah lagi! Sementara kebanyakan pria Indonesia sebuah saja sudah sangat kenyang. Malah ada seorang mahasiswi Indonesia yang sedang belajar di Lebanon, menghabiskan setengahnya saja harus dengan perjuangan! Volume makanan orang Indonesia kecil dan sedikit sekali. Apalagi bila dibandingkan dengan volume makanan orang Arab.
Hampir sama dengan Shawarma adalah Awarma, kandungannya sama hanya saja isinya bukan daging tapi diganti telur (scrambled egg). Di samping itu terkenal juga falafel, makanan yang dibuat dari kacang Arab yang digiling dan dipadatkan dalam bentuk bola-bola kecil, agak pipih, dan kemudian digoreng dengan minyak panas. Falafel biasa dimakan dalam keadaan masih panas dengan dicocolkan ke saus tahini (berwarna putih). Bisa juga dimakan bersama roti pita dan humush. Ada lagi beberapa yang sejenis Itu, untuk mudahnya saya menyebutnya Shawarma saja, di mana semuanya adalah makanan praktis untuk, sebut saja, ganjal perut.
Bagaimana dengan makan besar?
Shawarma memang hanya makanan ganjal perut saja. Sementara kalau untuk makan besar, seperti makan siang (lunch) dan makan malam (dinner), tentu akan lebih besar lagi volumenya. Saya pernah menghadiri undangan makan di rumah kalangan atas dan bawah, kalangan menteri dan restoran besar dan kecil, pengusaha dan karyawan, pengusaha dan syeikh, makanannya nyaris sama, baik volumenya maupun jenis makanannya. Sungguh kuliner Arab tidak kaya: di mana-mana sama, hanya itu-itu saja.
Pertama dihidangkan roti tradisional yang bernama khobez, lafa atau sakhin (kalau panas) beserta hummus, yakni saus kacang dari kedelai, tahini, bawang putih, lentini, garam, minyak zaitun, dan air lemon. Kadang diberi irisan tomat, delima (pomegranate), tortilla, atau kacang panjang atau buncis (chikpea). Cara makannya dengan menyobek roti atau sakhin itu dan menyocolkannya ke hummus lalu memakannya.
Biasanya hidangan awal ini disertai juga dengan salad fattoush, salad atau tabouleh, yang diguyur dengan olive oil. Saya perhatikan di seluruh negara yang mengitari laut mediterania jenis saladnya sama: salad Greek. Fattoush (salad yang dirajang dan lebih masam), dan tabouleh salad dari daun parsley, green onion, tomat, daun pursiane, parsley, radish, letuce, yang diguyur dengan lemon dan olive.
Baca juga Antropologi Nama Orang Arab
Nyaris berbarengan dengan makanan pendahuluan tersebut di atas disajikan juga appetizer berupa soup, biasanya soup lentil yang panas dalam mangkok kecil. Soup ini sebagai pembangkit selera sesuai dengan namanya: appetite atau appetizing. Makanan pembuka ini saja sudah menghabiskan waktu puluhan menit, apalagi biasanya dinikmati sambil ngobrol atau pembicaraan santai. Justru seringkali makan siang (lunch) atau makan malam (dinner) ini hanya sebagai instrumen saja untuk dilakukannya suatu pertemuan untuk membicarakan sesuatu hal, termasuk, mungkin, kencan.
Setelah itu barulah dihidangkan makanan utama (main course) berupa daging kambing, sapi dan atau ayam panas, potato, atau nasi (untuk nasi biasanya harus pesan terlebih dahulu).
Setelah itu yogurt, buah-buahan. Dan sebagai penutup adalah baklava yang sangat manis, Kanafeh atau Kenife, atau kue manis. dan ditutup dengan teh atau kopi. Baru selesai. Saya kira
Biasanya orang Indonesia baru sampai pendahuluan sudah merasa kenyang. Menu utama (main course) hanya dimakan sedikit saja. Dan makanan penutup hanya dilihat-lihat saja: perut terasa sudah kenyang, tidak lagi menerima masukan. Maka tidak heran jika orang Indonesia makan di restoran atau rumah makan biasanya langsung tembak pesan main course, dan tak lupa nasi. Walhasil, soup, salad, roti, dan hummus dilewati begitu saja. Di samping khawatir tidak termakan juga agar lebih lebih hemat alias irit. Apalagi kantongnya juga pas-pasan Hehehe…
Tak heran jika dibandingkan orang Arab postur orang-orang Indonesia terhitung jauh lebih kecil dan pendek. Laki-laki Arab tinggi dan besar, rambut lebat, berjampang dan berjenggot, dan berbulu lebat di sekujur tubuh. Tangan, kaki, dada mereka berbulu sangat lebat. Sementara perempuan Arab berkulut putih, hidung panjang dan mancung, rambut panjang lebat dan tebal: ada yang hitam, merah, dan pirang. Tinggi laki-laki dan perempuan Arab jauh di atas laki-laki dan perempuan Indonesia.
Ketika bersembahyang di masjid di Lebanon kelihatan betul perbedaan postur orang Arab dan orang Indonesia. Suara mereka juga berat dan keras. Jika mengucapkan “amin” ketika khatib berdoa terdengar suaranya keras, berat, kompak, serempak, dan mantap. Saya jarang melihat jamaah shalat jumat yang tertidur waktu khutbah disampaikan khatib. Saya menangkap kesan mereka sehat dan tegap sepanjang 10-20 menit mendengarkan khutbah dan shalat Jumat. Ada terkesan secara fisik mereka kuat dengan stamina yang tinggi.
Demikian juga dalam jamaah tarawih di bukan Ramadhan. Imam shalat tarwih dari awal malam pertama sampai akhir Ramadhan tidak ada kesan menurun. Stabil sepanjang malam shalat tarawih. Padahal shalat tarwih mereka membaca surat-surat panjang dalam Al-Quran dengan jumlah rakaat yang begitu banyak. Tak heran jika di tarawih malam 27 Tamadhan para Imam sudah mengkhatamkan Al-Quran yang 30 juz itu.
You are what you eat
Saya rasa stamina tubuh yang tinggi itu akibat makan mereka yang volumenya besar yang sudah menjadi kebiasaan anak-anak Arab sejak kecil. Saya rasa kesemuanya itu hasil dari makan mereka yang ukurannya besar dan banyak, sekaligus bermutu tinggi. Tenaga dan energi yang dimiliki manusia berasal dari makanan. Jika makannya banyak dan bermutu maka tenaga dan energinya juga besar dan kuat. Tenaga dan energi adalah hasil dari makan. Makan banyak tenaga banyak, makan sedikit tenaga sedikit. Tentu jika dibarengi dengan kualitas makanan yang diasupnya. Sangat lah kecil kemungkinannya orang yang makannya sedikit akan memiliki tenaga dan stamina yang besar. You are what you eat: Anda adalah apa hang Anda makan.
Baca juga Antropologi Kesenian Orang Arab
Meski you are what you eat tetapi makan (eating) adalah persoalan kebudayaan. Makanan Arab merupakan kebudayaan Arab, makanan orang Barat hasil kebudayaan Barat, makanan orang kutub kebudayaan kutub, makanan prang pantai kebudayaan pantai, makanan petani di pedesaan adalah kebudayaan petani. Menurut orang sekuler yang tidak percaya Tuhan, Alam menyediakan bahan-bahan makanan bagi penduduknya yang tinggal di alamnya itu. Bagi orang yang bertuhan, Tuhan memang menyediakan semua bahan makanan di sekitar orang itu bertempat tinggal. Dan makanan yang paling baik bagi dirinya adalah yang paling dekat dirinya pula.
Dalam konteks dan perspektif ini maka merubah pola dan jenis makan suatu bangsa tidaklah mudah. Tak heran meski telah tinggal lama di luar negeri, orang Indonesia tidak gampang meninggalkan nasi, sayur lodeh, ikan asin, tempe, dan last but not least sambal! Pasalnya, merubah pola dan jenis makanan memang memerlukan strategi kebudayaan. Semua ini dikaji dalam ilmu antropologi makanan, alias The Anthropology of Food and Eating!
Untuk memperkuat SDM tampaknya Indonesia perlu merumuskan antropologi makan (food anthhropology) yang baru. Anthropology of Food yang bukan hanya mengenyangkan, melainkan juga makanan yang menopang pertumbuhan fisik generasi baru yang lebih kuat dan berstamina tinggi. Dominasi makanan karbohidrat terutama nasi yang terlalu banyak perlu dikurangi dan digantikan dengan ikan, daging, dan makanan-makanan lain yang lebih tinggi proteinnya.
Saya yakin jika kita memiliki antropologi makan, antropologi Boga, atau anthropology of food yang baru, meminjam istilah Bapak Antropologi of food, father of food anthropology, Sidney W. mintz, pembangunan sumber daya manusia Indonesia yang unggul akan lebih mudah dicapai. Tentu makanan hanyalah salah satu factor saja bagi peningkatan kualitas sumber daya manusia. Semoga.