Kiai Dahlan pantang menyerah, menuangkan pemikiran-pemikiran visionernya melalui pendidikan
Oleh : Edi Sugianto
Sebelum Kiai Dahlan resmi mendirikan Muhammadiyah (1912), beliau sudah merintis sekolah “modern” dengan jumlah murid delapan orang (1910). Kala itu, banyak orang menuduhnya “kiai kafir”. Padahal, karena hanya menggunakan media dan metode pembelajaran yang berbeda dengan zamannya. Apapun tantangannya, Kiai Dahlan pantang menyerah, menuangkan pemikiran-pemikiran visionernya melalui pendidikan.
Singkat cerita, lahirlah pendidikan Muhammadiyah yang berkemajuan. Maju bukan sekadar maju, namun maju dengan kualitas, dan kuantitas yang terukur. Di Abad Pertamanya, kiprah Muhammadiyah dalam bidang pendidikan adalah sangat luar biasa. Saat ini, Muhammadiyah memiliki 9.653 lembaga pendidikan. Di antaranya, 4623 TK/TPQ, 2252 SD/MI, 1.111 SMP/Mts, 1291 SMA/SMK/MA, 67 Pondok Pesantren, 71 Sekolah Luar Biasa, dan 171 Perguruan Tinggi Muhammadiyah (PTM). Suatu kontribusi, dan “aset” Indonesia yang fantastis.
Pencapaian Muhammadiyah dalam bidang pendidikan merupakan peluang bagi Indonesia untuk menjadi bangsa yang besar. Sekaligus, menjadi tantangan untuk merawatnya dengan baik. Tak berlebihan bila dikatakan “Merawat Pendidikan Muhammadiyah adalah merawat Indonesia”.
Eksistensi pendidikan Muhammadiyah dalam skala nasional, karena memiliki pondasi dan karakteristik yang khas. Arus perubahan sistem (kurikulum) pendidikan nasional boleh berubah-ubah, “ganti menteri ganti kebijakan” tak berpengaruh banyak terhadap laju “bahtera” pendidikan Muhammadiyah.
Terlepas dari prestasi, dan koreksi terhadap pendidikan Muhammadiyah, muncul pertanyaan besar: bagaimana sebenarnya Kiai Dahlan mendidik kader-kader Muhammadiyah hingga eksis sampai saat ini?
Pertama, mendidik dengan keteladanan Qur’ani. Secara ideologis dan praksis, Kiai Dahlan telah membuktikan perjuangannya dengan “meneladankan” Al-Qur’an kepada umat. Inspirasi dari QS. Al Imran (3): 104 hingga mendirikan Muhammadiyah, teologi al-Ma’un (107) sebagai ruh pemberdayaan umat, dan teologi al-Ashr (103) sebagai etos berkemajuan.
Kiai Dahlan mendidik dengan penuh cinta, bukan didikte penguasa, apalagi dengan kurikulum pendidikan yang tak jelas arah. Beliau mengajarkan QS. al-Ma’un kepada murid-muridnya secara berulang-ulang selama tiga bulan, dan yang lebih dahsyat lagi, QS. al-Ashr diajarkan selama delapan bulan.
Kiai menerapkan prinsip belajar tuntas bukan mengejar kertas. Mengajar tuntas dengan keteladanan yang menetaskan kemajuan nyata pada bangsanya. Pesan Kiai Dahlan: “Dadiyo kyai sing kemajuan, lan aja kesel-kesel anggonmu nyambut gawe kanggo Muhammadiyah”. “Menjadi ulama yang berkemajuan (ulama-intelektual), dan tanpa kenal lelah beramal bagi Muhammadiyah (umat)”.
Etos al-Ma’un dan al-Ashr adalah dua ruh pendidikan Muhammadiyah. Etos pertama mengajak untuk berempati terhadap kaum marginal; dhuafa yang tidak mampu bersekolah. Etos kedua menekankan pentingnya meningkatkan budaya mutu pendidikan berkemajuan.
Bagaimana jika ada sekolah Muhammadiyah yang tidak memiliki etos al-Ma’un, mengabaikan kaum dhuafa, bahkan ikut larut dalam kapitalisme pendidikan? Saya kira, sekolah semacam itu adalah “sekolah Muhammadiyah yang tidak Muhammadiyah”, atau sekolah yang mengaku-ngaku Muhammadiyah. Sederhanya, bercerminlah pada pribadi Kiai Dahlan yang penyantun!
Bagaimana dengan sekolah Muhammadiyah yang belum maju bahkan keadaannya “la yamutu wa la yahya”? Sekolah seperti ini perlu pembinaan yang serius. Pendidikan Muhammadiyah jangan terbuai dengan pencapainnya secara kuantitas tetapi mengabaikan kualitas.
Kedua, mendidik dengan toleransi. Beliau adalah pribadi yang supel, pandai bergaul dengan siapa saja, bahkan lintas agama, etnis, dan budaya. Sehingga, beliau menjadi tokoh umat yang berwawas luas. Tentu, dengan tujuan dakwah Islam amar ma’ruf nahi munkar, yang menjadi ciri khas perjuangan Muhammadiyah, selain sebagai gerakan Islam, dan tajdid (reformasi).
Persahabatan Kiai Dahlan dengan seorang pastur Katolik, van Lith merupakan kisah mesra lintas agama. Kiai Dahlan begitu serius berupaya memperbarui model pendidikan Islam,, sehingga beliau intens berdialog dengan pastor Belanda itu. Dari persahabatannya, kemudian Kiai Dahlan terinspirasi mendirikan Kweekschool Muhammadiyah. Akhirnya, sekolah ini berkembang menjadi Madrasah Muallimin Muhammadiyah, yang menjadi kawah candradimuka bagi kader Muhammadiyah hingga saat ini.
Bagi Kiai Dahlan, toleransi bukan lagi mengenai sikap saling mengenal dan memahami, tetapi telah malampaui itu sebagai “kewajiban” saling tolong-menolong, dan menjamin kehidupan yang berkemajuan antara sesama manusia. Di antaranya, dengan jaminan pendidikan berkemajuan bagi generasi berikutnya. Jadi, Kiai Dahlan telah memahami dan menelandankan kosmopolitanisme jauh sebelum Indonesia merdeka.
Ketiga, mendidik dengan keikhlasan. Keikhlasan Kiai Dahlan dalam mendidik tentu tidak diragukan. Ruang tamu seluas 2,5 m x 6 m yang diwakafkan menjadi sekolah adalah saksi, betapa sang majaddid mencinta pendidikan.
Lalu, Kiai Dahlan meresmikan sekolah itu dengan nama Madrasah Ibtidaiyah Diniyah Islamiyah (1911). Gerakan pendidikan Kiai Dahlan semakin mendapat reaksi keras dari masyarakat Kauman, tetapi beliau hanya merespons dengan senyum perjuangan. Walhasil, setiap bulan muridnya bertambah banyak.
Perjuangan semakin berat, apalagi jika dihadapi seorang diri. Karena itu, demi menjaga eksistensi madrasah yang telah dibangun, Kiai Dahlan dan murid-muridnya mendirikan persyarikatan (organisasi) bernama Muhammadiyah, pada 18 November 1912/ 8 Dzulhijjah 1330. Kini, warisan itu telah melewati satu abad lamanya, dengan gelombang dan badai ujian yang dahsyat.
Saya kira, keikhlasan Kiai Dahlan dalam pendidikan melampaui makna ikhlas itu sendiri. Bahkan menurut Churiyyah (cucu), Kiai Dahlan seringkali melelang aneka isi rumahnya untuk pembangunan sekolah, dan perjungan Islam lainnya. Perjungan seorang pemimpin yang jarang kita temui di era sekarang, bahkan sekalipun oleh pimpinan Muhammadiyah setelahnya.
Keempat, mendidik dengan pembaruan. Melakukan pembaruan dalam pergerakan adalah cara Kiai Dahlan mendidik kader-kader Muhammadiyah.
Memasuki Abad Kedua dari usianya, Muhammadiyah dalam Muktamar ke-47 di Makasar (2015) mengusung tema “Gerakan Pencerahan menuju Indonesia Berkemajuan”. Tema yang mengisyaratkan bahwa Muhammadiyah senantiasa eksis menjadi “pencerah” bagi bangsanya.
Tema Muktamar ke-47 adalah sebagai penguatan dari Muktamar ke-46 tahun 2010 di Yogyakarta, yaitu “Islam Berkemajuan”. Kemudian, Muktamar ke-48 di Surakarta, memilih tema: “Memajukan Indonesia Mencerahkan Semesta”. Semua berharap, hal ini bukan sekadar slogan teologis-paradigmatik, melainkan mewujud dalam berbagai dimensi kehidupan ekonomi, politik, dan kebudayaan; khususnya dalam pendidikan.
Pendidikan Muhammadiyah perlu reorientasi gerakan, tidak cukup hanya memperluas medan dakwah secara fisik; membangun sekolah-sekolah di berbagai daerah. Melainkan harus tampil aktif dalam memecahkan problem-problem kebangsaan yang kompleks, baik nasional atau pun internasional. Terutama dalam masalah peningkatan sumber daya manusia (SDM) Indonesia yang terampil di abad 21.
Akhir kata, saya tutup tulisan singkat ini dengan apa yang pernah dikatakan Mitsuo Nakamura, Profesor Universitas Chiba, Jepang: “Mudah-mudahan Muhammadiyah berkembang terus; memajukan pembangunan, kesejahteraan rakyat, dan perdamaian.” Semoga!
Edi Sugianto, Kandidat Doktor Manajemen Pendidikan Islam, UMJ Jakarta